
Selasa, 4 Agustus 2009. Hari itu Gus Dur merayakan ulang tahunnya yang ke-69. Tak ada pesta. Keluarga mantan presiden Indonesia ini hanya memotong tumpeng dan menggelar pengajian yang dihadiri seratusan anak yatim piatu. Berbagai doa dipanjatkan, terutama untuk kesehatan Gus Dur yang kini mulai sering sakit-sakitan.
Malam hari, bersama Adhie Massardi, mantan jurubicara kepresidenan, saya tiba di kediaman Gus Dur di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Pengajian sudah berakhir. Hanya ada beberapa tamu yang duduk lesehan di sayap kanan ruang tamu dan sedang berbicara dengan Yenny Wahid, putri sulung Gus Dur.
Di sayap kiri, Gus Dur sedang berbaring di lantai yang telah dialasi plywood setebal dua inch dan karpet. Sebuah bantal menyangga kepalanya dan sebuah bantal lainnya menahan tubuh Gus Dur yang malam itu mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam agar tetap nyaman.
Saya membawakan biografi Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama, “Dreams from My Fathers”, yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia sebagai hadiah ulang tahun. Gus Dur meminta saya membawakan buku itu saat saya menjenguknya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo beberapa minggu sebelumnya.
Selain biografi Obama, sebetulnya Gus Dur juga minta dibawakan buku karya Ibunda Obama, Stanley Ann Dunham, yang lebih dahulu diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun sayang, sampai malam mengunjungi Gus Dur di Ciganjur, saya tak menemukan buku Ibunda Obama yang diangkat dari disertasinya di Universitas Hawaii dan diterbitkan dengan judul “Pendekar Besi Nusantara”.
Gus Dur mengagumi Obama. Menurut Gus Dur, dia sudah sejak lama mengikuti perjalanan karier politik Obama dan memperkirakan kelak Obama akan memimpin Amerika.
Saat menerima biografi Obama itu, Gus Dur tersenyum. Sambil tetap berbaring ia memegang buku itu dan membolak-balik halamannya. “Simpan buku ini di kantor,” kata Gus Dur kepada Aris Junaidi yang duduk di sebelahnya.
Kondisi Gus Dur memang berbeda dari terakhir kali saya mengunjunginya di RSCM. Malam itu di Ciganjur, wajah Gus Dur terlihat lebih gemuk akibat pengumpulan cairan. Dalam dunia kedokteran hal ini disebut oedem. Ini adalah gejala fisik yang biasa terjadi pada pasien yang sedang menjalani cuci darah atau hemodialisa akibat gagal ginjal. Biasanya setelah cuci darah, cairan yang mengumpul akan berkurang dan bentuk wajah akan kembali normal. Hal ini akan terjadi berulang kali.
Artikulasi Gus Dur malam itu pun terdengar berbeda dari sebelumnya. Tak mudah buat saya untuk menangkap kata-kata Gus Dur. Kata-kata awal yang diucapkannya masih terdengar jelas. Namun kata-kata setelah itu akan sulit untuk ditangkap dan terdengar seperti bubbling, yang biasa keluar dari mulut anak-anak yang baru belajar bicara. Tetapi saya tak berani berspekulasi tentang suara Gus Dur. Mungkin karena malam itu dia sudah terlalu lelah. Maklum, kami mengunjunginya sekitar pukul 10 malam. Belum lagi tamu-tamu terus mengalir mengunjungi Gus Dur.
Gus Dur juga bercerita tentang kunjungan vice-president elect Boediono siang harinya. Kata Gus Dur, Boediono datang untuk mengucapkan selamat ulang tahun tanpa membicarakan hal-hal yang berbau politik. Pembicaraan kami dengan Gus Dur juga sampai ke kabar kematian Mbah Surip di pagi hari sebelumnya, dan kabar WS Rendra yang saat itu sedang sakit dan baru menjalani cuci darah.
Namun yang jelas, di tengah sakitnya, Gus Dur tetaplah Gus Dur yang saya kenal. Dia masih bisa tersenyum dan tertawa menyambut kisah lucu yang diceritakan. Apalagi bila kisah lucu itu berbau politik. Salah satu kisah lucu yang memancing senyum Gus Dur adalah tentang ring back tone telepon genggam seorang ketua umum partai politik yang menggunakan lagu dukungan untuk seorang kandidat presiden.
Meski fisik tdk mendukung tp semangat gus dur utk mengikuti perubahan dunia melalui buku2 sungguh luar biasa.