Pernyataan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tentang Kriminalisasi Tiga Media atas Kasus Pencemaran Nama Eddy Baskoro Yudhoyono:
“Gunakan Hak Jawab, dan Jangan Kriminalkan Wartawan”
Pada hari Selasa, 7 April 2009, kepolisian Dearah Jawa Timur dan Metro Jaya memeriksa para jurnalis terkait dugaan pencemaran nama anak Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Eddy Baskoro Yudhoyono.
Pemeriksaan ini berkaitan dengan pemberitaan mengenai pembelian suara oleh calon anggota legislatif Partai Demokrat, Eddy Baskoro Yudhoyono.
Dalam berita itu, Jakarta Globe, Okezone.com dan Harian Bangsa di Ponorogo, Jawa Timur, menulis bahwa Ibas –panggilan Eddy Baskoro Yudhoyono– membagi-bagikan uang Rp. 10.000,- kepada masyarakat di daerah pemilihannya di Ponorogo, Jawa Timur.
Berita itu dikutip dari pernyataan Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jawa Timur, Arif Supriyadi. Sementara menurut versi Edhie Baskoro, yang bersangkutan tak pernah ke Ponorogo dan tak pernah membagikan uang seperti yang dituduhkan atas dirinya itu.
Karena pemberitaan itu, ketiga media dijerat dengan pasal pencemaran nama baik seperti diatur pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan pasal 27 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan melanggar larangan pemberitaan kampanye di masa tenang sebagaimana diatur pasal 89 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Para jurnalis media tersebut terancam oleh pasal-pasal itu dan mereka dapat dijatuhi hukuman paling berat 6 tahun penjara.
AJI Indonesia menilai tindakan menjerat tiga media itu telah melanggar prosedur penanganan perkara pers. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang mengatur agar setiap orang yang dirugikan oleh pemberitaan menggunakan Hak Jawab sesuai pasal 5 UU Pers. Selain itu, Dewan Pers sudah membuat Pedoman Hak Jawab, dimana mereka yang dirugikan oleh pemberitaan, wajib menempuh Hak Jawab sebelum membawa kasusnya ke jalur peradilan.
Pedoman itu mengatakan bahwa apabila masih timbul sengketa setelah Hak Jawab dilayani, mereka dapat mengadu ke Dewan Pers. Dewan Pers akan membantu mediasi kedua pihak. Apabila mediasi tidak mencapai mufakat, maka Dewan Pers akan memeriksa tulisan jurnalis yang bersangkutan dan mengeluarkan Surat Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi. Apabila Dewan Pers menilai tulisan tersebut melanggar hukum, maka kasusnya baru bisa diselesaikan lewat jalur peradilan.
Karena Eddy Baskoro Yudhoyono, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan oleh ketiga media tersebut, belum menempuh Hak Jawab ataupun mengadukan ke Dewan Pers, menurut kami kepolisian tidak boleh memeriksa perkara ini. Apabila polisi tetap memeriksa perkara ini, sama artinya polisi melecehkan UU No. 40 tahun 1999 dan Dewan Pers.
Untuk itu, AJI Indonesia meminta agar Eddy Baskoro Yudhoyono menggunakan Hak Jawab terlebih dahulu. Dalam Hak Jawab tersebut, yang bersangkutan bisa menyampaikan fakta-fakta tandingan terhadap pemberitaan tiga media itu.
Apabila Eddy Baskoro Yudhoyono tidak puas dengan layanan Hak Jawab, yang bersangkutan bisa mengadu ke Dewan Pers. Kepada Dewan Pers yang bersangkutan dapat meminta agar Dewan Pers memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik jurnalis oleh media yang menulis berita tersebut.
AJI Indonesia juga meminta agar polisi menghentikan kasus ini dan mengembalikan penanganan kasus sesuai UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Sebab, polisi harus menghormati UU No. 40 tahun 1999 dan Dewan Pers. AJI Indonesia juga meminta agar Eddy Baskoro Yudhoyono mencabut aduannya ke polisi.
AJI Indonesia juga perlu mengingatkan, kriminalisasi pemberitaan merupakan bentuk tekanan terhadap kebebasan pers. Oleh karena itu, AJI Indonesia meminta agar Eddy Baskoro Yudhoyono menghormati kebebasan pers dengan menyelesaikan masalah ini sesuai UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan menghargai keberadaan Dewan Pers.
Jakarta, 6 April 2009
Nezar Patria (Ketua)
Margiyono (Koordinator Divisi Advokasi)

Guh, kalau Eddy Baskoro mau nuntut, seharusnya yg dituntut Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jawa Timur, Arif Supriyadi ya. Jurnalis kan hanya mengutip.
benar bod.
ceritanya kan begini: ada orang yang melaporkan dugaan kecurangan ke panwaslu. laporan itu diproses, dan panwaslu mengatakan dugaan itu tidak terbukti. ya mestinya sudah, selesai disitu. gak bisa dibelokkan jadi kasus baru.
anggota masyarakat kan punya hak yang dilindungi UU untuk melaporkan segara dugaan kecurangan. kalau karena menggunakan haknya itu (yang dilindungi UU) dia malah jadi kena, ya siapa yang berani melaporkan dugaan2 seperti itu. iya gak.
ada pasal 50 KUHP yang sebetulnya melindungi itu. sementara orang mengatakan pasal itu, yang memberikan perlindungan hukum kepada pihak2 yang menjalankan tugas, hanya berlaku untuk aparat negara. sementara pakar hukum lainnya mengatakan pasal itu berlaku untuk semua orang selagi ada UU khusus yang mengatur hal itu, misalnya UU pers atau UU lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu.
misalnya: bila seseorang didakwa polisi dan jaksa melakukan pencurian, dan ternyata dalam persidangan di pengadilan negeri sampai mahkamah agung dakwaan itu tidak terbukti, maka si mantan terdakwa tidak bisa melaporkan polisi dan jaksa atas tindakan mencemarkan nama baik. sebab, polisi dan jaksa diasumsikan dalam kapasitas menjalankan tugas yang dilindungi UU.
kasus si ibas ini juga mestinya dilihat dari sudut pandang seperti itu.
ih, basi banget deh.
btw, bagaimana jakarta?
gak semudah itu bung!
@muthofaroh
ya, memang tak semudah itu.
mahalo sudah mampir. 🙂
saya melihatnya di sini, di negara kita, seolah-olah kita masyarakat paling suci, masyarakat paling terhormat, padahal kita bisa baca sejarah, bagaimana bangsa ini bergelut dengan pertumpahan darah, sifat egois. dan dalam kasus ini, pencemaran nama baik hanyalah menunjukkan sifat keegoan. Logikanya, jika kita sudah menunjukkan kinerja kita selagi hidup, maka disitulah kita dinilai sebagai manusia. Maka menjadi manusia yang bijak dalam negara sangatlah langka dan sulit, mengkritik sedikit sudah dilayangkan ke pengadilan. Di pengadilan yang bergelut dengan pasal-pasal buatan manusia, menjadi mudah dipolitirisasi demi kepentingan kelompok atau golongan.
wah…. nih kasus bisa buat rujukan tugas Etika dan Aspek Hukum Komunikasiku…
thank’s yah,,,