BEGITU melihat tanda-tanda kekalahan dirinya semakin nyata di depan mata serta tidak dapat dielakkan, John McCain bertindak cepat.
Di depan ribuan pendukungnya di Arizona, malam hari 4 November 2008, dia mengaku kalah.
Dengan jiwa besar McCain mengucapkan selamat kepada Barack Obama yang terpilih sebagai presiden ke-44 negeri adidaya itu. Bukan itu saja, McCain juga berjanji akan mendukung pemerintahan Obama. Dia pun mengajak para pemilihnya untuk sama-sama mendukung pria kelahiran Hawaii itu. Ketika para pendukungnya mencemooh Obama, McCain memenenangkan mereka.
Pemilihan presiden Amerika mengajarkan betapa prinsip kejujuran dan sportifitas dalam demokrasi dipegang tinggi. Mestinya, politisi Indonesia meniru hal ini, kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Muladi yang sedang berkunjung ke Hawaii, hari Minggu waktu Hawaii (16/11) atau Senin waktu Indonesia (17/11).
Muladi membandingkan sportifitas yang tampak dalam proses pemilihan di Amerika itu dengan apa yang terjadi di tanah air.
Bukan hanya McCain yang memperlihatkan sikap sportif. Hillary Clinton yang sebelumnya merupakan pesaing utama Obama dalam putaran primary election Partai Demokrat juga cepat mengaku kalah. Ketika itu Hillary dan Obama terlibat pertarungan yang begitu sengit. Banyak pengamat politik memprediksi ketegangan antara Hillary Clinton dan Barack Obama telah membelah Partai Demokrat. Ini jelas berbahaya karena partai berlambang keledai itu bisa dikalahkan dengan mudah oleh Partai Republik yang relatif lebih solid.
Untuk menghindarkan kekacauan di tubuh Partai Demokrat itulah, Hillary dengan cepat mengambil inisiatif menyampaikan pengakuan kalah terlebih dahulu. Dia juga ikut meng-endorse Obama dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat bulan Agustus lalu. Hillary juga tidak ngambek saat dirinya tidak dipilih Obama sebagai calon wakil presiden. Sebaliknya, dia dan suaminya bekas presiden Bill Clinton aktif berkampanye untuk Obama dan Joe Biden.
Sportifitas seperti yang diperlihatkan para politisi Amerika ini, keluh Muladi, nyaris tidak kita temui di tanah air.
“Kalau di Indonesia, banyak orang yang kalah dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) mengajukan tuntutan ke pengadilan atau ke Mahkamah Konstitusi. Ada juga yang mengajak orang berdemonstrasi lalu membakar rumah,” sindir Muladi yang juga salah seorang ketua DPP Partai Golkar.
Dalam kunjungan ke Hawaii atas undangan US Pacific Command dan Asia-Pacific Center for Security Studies (APCSS), Muladi didampingi Sekretaris Utama Lemhanas Ardi Patadinata dan Sekretaris Dewan Pengarah Lemhanas Albert Ingkiriwang serta seorang pejabat Departemen Luar Negeri Sicilia Rusdiharini. Sebelum menggelar pertemuan resmi dengan pihak US Pacom dan APCSS hari Senin waktu Hawaii atau Selasa waktu Indonesia (18/11), Muladi menyempatkan diri bertemu dengan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Hawaii.
Pertemuan yang digelar Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (Permias) cabang Hawaii ini dilakukan di kampus University of Hawaii at Manoa (UHM). Profesor Alice Dewey, salah seorang kerabat keluarga Obama di Hawaii, juga tampak di antara hadirin.
Muladi lebih jauh menyoroti persoalan besar yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia: hilangnya jiwa kepemimpinan yang dapat diteladani dari para elit.
“Para pemimpin kita saat ini mendapat kritik yang cukup keras. Banyak diantara mereka, baik di lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif yang ditangkap dalam kasus korupsi. Ini semua terjadi karena kaderisasi kepemimpinan Indonesia melemah,” kata bekas menteri kehakiman di era Soeharto dan bekas menteri sekretaris negara di era Habibie itu.
Di Amerika, indeks kepemimpinan terukur jelas, lanjutnya lagi. Seseorang dipilih sebagai pemimpin karena track record yang jelas serta latar belakang yang dapat dipercaya. Antara lain, punya visi yang dapat diteladani, berasal dari keluarga yang baik, juga religius.
Dia juga menyoroti fenomena pemimpin karbitan ala Indonesia. Banyak artis, misalnya, yang secara serampangan tanpa modal sosial yang kuat, sebaliknya hanya mengandalkan popularitas, ingin mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dan kepala daerah. Bekas hakim agung itu menegaskan dirinya tidak anti pada artis yang memilih masuk partai politik. Tetapi, dia berharap, partai politik harus mau memilih artis mana yang layak direkruit sebagai calon anggota legislatif atau calon kepala daerah.
“Jangan asal artis, asal bisa nyanyi dangdut, apalagi agak porno-porno, lantas dipilih. Ini tidak mendidik,” masih kata Muladi.
Terakhir dia berharap partai politik Indonesia dapat menjadi lembaga yang melakukan pendidikan politik secara sungguh-sungguh sehingga masyarakat tidak hanya menjadi objek pasif dalam proses politik.
“Orang Indonesia masih menganggap pemilihan umum sebagai hiburan. Datang ke TPS pakai baju baru, ada yang cari pacar. Harusnya masyarakat kita peduli pada program partai dan kandidat, mengikuti track record mereka, serta tidak hanya memilih karena perasaan melodramatik,” demikian Muladi.

bener banget. Demokrasi kita sendiri babak belur, nggak tau mau kemana. Apa perlu dibangun sistem seperti china saja? atau russia?