DITULIS untuk menyambut 28 Oktober, karya Ponco Sri Widodo berujudul Duh, Bahasa Indonesia ini saya kutip dari milis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan dimuat atas ijin si penulis. Selamat membaca.
SETIAP menjelang tanggal 28 Oktober, saya selalu teringat kondisi Bahasa Indonesia yang cukup memprihatinkan. Prihatin, karena (sepertinya) tidak ada yang peduli terhadap perkembangan bahasa, terutam terhadap serapan asing. Sekarang sulit dibedakan bahasa lisan dengan tulisan.
Dalam percakapan sehari-hari, saya sering menjumpai kata-kata seperti ini: sokbreker, sopdring, sopkopi (soft copy), fesyen, eksen, cek en ricek, piksel, kongratulesen, kroscek, fred ciken, resor, mal, miskol, mane londring, carjer, dicas, friser, dll masih banyak sekali.
Tadinya saya masih maklum, karena kata-kata itu hanya diucapkan. Tapi, sekarang menjadi agak gelisah karena, kata-kata itu menjadi kata-kata baku dalam penulisan oleh koran atau majalah, meski tidak seluruh media.
Padahal sebenarnya, kata-kata itu berasal dari bahasa asing yang diindonesiakan. Saya melihat, pengindonesiaan istilah asing oleh media massa, mirip sekali dengan bahasa sms atau bahasa sopir truk yang sering kita lihat di dinding bagian belakang.
Belum lagi cara penulisan yang antara satu koran dengan koran yang lain berbeda-beda. Ada koran yang menulis Bantar Gebang ada pula yang menulis Bantargebang, ada yang menulis Pasar Minggu, banyak pula koran yang menulis Pasarminggu, ada yang menulis Lenteng Agung tidak sedikit yang menulis Lentengagung. Terminal Kampung Rambutan ditulis Terminal Kampungrambutan.
Di Amerika, kata Los Angeles, New York, San Francisco, sejak zaman George Washitngton sampai zaman George W. Bush, kata-kata itu tidak berubah menjadi Losangeles, Newyork, Sanfrancisco, meski menteri pendidikan nasional di sana berganti-ganti.
Demikian juga untuk nama-nama tempat seperti Tel Aviv, Mount Isa, Hong Kong, Buenos Aires, Rio De Janeiro, dll tidak berubah meskipun pakar bahasa atau kepala pusat pembinaan bahasa di negara-negara itu juga berganti-ganti.
Ada kesan, di Indonesia, nama-nama daerah yang terdiri dari 2 kata atau lebih, sekarang harus digabung menjadi satu. Kebayoran Lama menjadi Kebayoranlama, Kebon Jeruk menjadi Kebonjeruk.
Ini berandai-andai, jika Kebonjeruk pecah menjadi dua: Kebonjeruk Udik dan Kebonjeruk Modern, apakah, kalau usaha penggabungan itu berhasil, harus ditulis Kebonjerukudik? Jika Kebonjerukudik berkembang menjadi kota baru bernama Bumi Kebonjerukudik Damai, lalu harus mengikuti kaidah itu, apakah akan ditulis Bumikebonjerukudikdamai?
Maka, jika usaha penyeragamana penulisan tempat itu berhasil, suatu saat akan ada judul koran,”Warga Bumikebonjerukudikdamai Tawuran dengan Bumikebonjerukmodernasri.” Wah…
Di sini, di “negeri seribu istilah”, bagi pejebat baru, urusan kata pun menjadi hal yang sangat penting untuk dibahas/diutak-atik (biar pejabat baru dianggap punya ide baru). Dulu ada istilah SMA, lalu diganti SMU, sekarang kembali lagi ke SMA. Dulu ada istilah Sipenmaru lalu UMPTN, sekarang SMPTN, tahun depan apa ya?
Dulu ada departemen pendidikan dan kebudayaan, diganti departemen pendidikan nasional. Dulu ada departeman kehakiman, sekarang ada departemen hukum dan HAM (dephukham, depkumham), ada pula menteri koordinator politik, hukum dan keamanan (polhukam). Jadi, hukum di dephukham dengan hukum di polhukam, apa bedanya ya?
Ada pula nama jalan yang ditulis Jl. Jend. A. Yani, ada pula Jl. A.Yani. Jl. Ir. Sukarno/Soekarno, ada yang menuliskan Jl. Sukarno/Soekarno. Jadi, sulit dibedakan mana A. Yani yang jenderal, dan mana A. Yani yang tukang sate, mana Sukarno yang mantan presiden dan Sukarno yang dukun cabul.
Untuk kata-kata yang huruf awalnya, K,P,T,S, harus lebur jika mendapat awalan me. Misalnya kikis menjadi mengikis, pukul menjadi memukul, tutup menjadi menutup, sedot menjadi menyedot. Tapi agak janggal untuk satu kata yakni kata punya.
Meskipun mendapat awalan me, tidak berubah menjadi memunyai, tetapi mempunyai. Padahal, seharusnya, kalau mau seragam, harus ditulis memunyai. Tampaknya ini akan menjadi PR dalam kongres bahasa di tahun berikutnya untuk menyepakati kata memunyai.
Penempatan tanda titik untuk nama orang yang disingkat, juga banyak yang belum paham. Di dada satpol PP, Satpam, Polisi atau tentara, sering kita jumpai penempatan titik yang salah. Misalnya Bambang Sutrisno ditulis Bambang. S, lalu Jusuf Kalebout ditulis Jusuf. K, Purnomo Agung ditulis Purnomo. A
Di punggung Bambang Pamungkas ditulis Bambang. P, Chandra Wijaya ditulis Chandra. W, Markis Kido ditulis Markis. S, Pia Zebaidah ditulis Pia. Z (Pia titik Z). Mungkin saya agak berlebihan jika mengatakan “Bagaimana bangsa ini mau maju, meletakkan titik saja tidak becus!”
Demikian juga untuk media televisi. Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dr Dendy Sugono menilai pemakaian bahasa Indonesia dalam dunia pertelevisian di tanah air kini kian memprihatinkan.
“Banyak di antara mereka (stasiun televisi, Red) menggunakan istilah bahasa asing dalam mata acaranya. Bahkan, siaran yang ditayangkan cenderung tidak taat asas dan aturan bahasa Indonesia yang baku,” katanya.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka televisi tidak lagi menjadi media pembelajaran bahasa Indonesia bagi masyarakat, tetapi sebaliknya ikut meminggirkan bahasa nasional ini. Dendy memberi contoh tentang tayangan sinetron dan pembawa acara hiburan di televisi swasta nasional, yang cenderung menggunakan bahasa Jakarta.
Hal itu berarti lokalitas ibukota menjadi acuan bagi pemakaian bahasa di Tanah Air. “Kami sudah mendatangi sejumlah stasiun televisi swasta nasional guna melakukan penjajakan terkait penggunaan bahasa Indonesia. Namun upaya tersebut masih sebatas peninjauan, karena kami tidak memiliki dasar hukum untuk menertibkan,” katanya.
Pihaknya juga sudah menyampaikan kepada pemilik stasiun televisi swasta nasional mengenai mata acara yang memiliki kelemahan mendasar dalam penggunaan bahasa Indonesia. Jika bahasa Indonesia yang dicitrakan televisi buruk, maka secara persuasif masyarakat juga diajak untuk berbahasa yang buruk pula. Tugas untuk menjaga dan menghargai bahasa nasional bukan hanya tugas pemerintah semata, tetapi juga pihak swasta, termasuk media massa yang memiliki andil besar terhadap perkembangan bahasa.
“Kita memerlukan adanya gerakan dan kesadaran semua pihak untuk melestarikan bahasa Indonesia,” ujar Dendy.
Seorang pakar bahasa pernah mengatakan bahasa bersifat dinamis dan tergantung kesepakatan. Pertanyaannya siapa yang menyepakati dan kapan itu dilakukan.
Koran NONSTOP menyebut BH dengan penutup tetek, orang PKS lebih senang menggunakan kata ane ketimbang saya, peminta sumbangan di jalan raya lebih senang menggunakan kalimat “Afwan, perjalanan Antum, terganggu” ketimbang “Maaf, perjalanan Anda, terganggu”.
Bahasa-bahasa di stiker sepeda motor juga mengundang “kebencian” dan bahkan menyuburkan kekerasan. Lihat saja, banyak tulisan yang tidak sengaja kita baca seperti:
Nyerempet gua kepret. Nyalip gua clurit. Nyenggol pale lu benjol. Nyeruduk gua gebuk. Gua bangga jadi FBR. Hari gini oper gigi, capek deh. Kalo cuma oper gigi, nenek gua juga bisa. Yang Mau Nereka, Silakan Duluan. Motor aing kumaha aing. Ape lu liat-liat.

wa, kok bisa sama ya kepusingan kita
hehe
ginilah indonesia
terlalu banyak cengkunek
peraturan yg dibuat kebanyakan gak disepakati massa
tu pun entah sampe berapa lama diubah2 lagi
entahapaapa