Surat Terbuka dari Mega Menjelang Eksekusi Kelompok Amrozy


KEJAKSAAN telah memutuskan eksekusi untuk tiga terpidana mati kasus pengeboman Bom Bali Oktober 2002, Amrozy, Imam Samudera dan Muklas alias Ali Gufron, akan dilakukan di LP Nusakambangan, awal bulan November 2008.  202 orang –164 orang asing dan 38 orang Indonesia– tewas dalam kejadian itu.

Berikut ini adalah surat terbuka yang ditulis oleh Pemimpin Redaksi Situs Berita Katakami.com, MEGA SIMARMATA. Dalam surat terbuka ini Mega memaparkan hal lain yang juga penting untuk diketahui dan diperbincangkan publik di balik serangkaian peristiwa yang akan berujung pada eksekusi Amrozy Cs awal November ini.

Foto-foto dalam surat terbuka ini saya tambahkan, diambil dari berbagai sumber tanpa bermaksud plagiasi.

Selamat membaca..!

MENJELANG pelaksanaan eksekusi Amrozi Cs, satu hal yang sangat mendasar dari permasalahan terorisme di Indonesia ini adalah kewajiban bagi seluruh aparat penegak hukum melaksanakan dan menegakkan hukum secara murni dan konsekuen.

Fakta yang ditutupi selama ini terkait penanganan terorisme (khususnya Bom Bali I) sudah saatnya dibuka kembali dan diangkat ke permukaan.

Komisaris Jenderal Gories Mere saat ini menjabat rangkap yaitu sebagai Kalakhar BNN dan masih saja terus memimpin Tim Anti Teror Polri. Sudah saatnya ia dicopot dari jabatan apapun di Polri sebab tidak pantas menduduki jabatan strategis. Gories Mere harus mempertanggung-jawabkan semua tindakannya, yaitu mengapa pelaku utama kasus Bom Bali I justru “dilindungi”?

Kesalahan utama dari Gories Mere ialah, ia diduga telah dengan sengaja “membebaskan” TERORIS keji bernama Ali Imron. Mengapa Amrozi & Muklas dihukum mati, sementara pelaku utama dari peledakan Bom Bali I yaitu Ali Imron bisa bebas dari ancaman hukuman mati?

Tanggal 17 Oktober 2008 yang lalu, Fauzan Al Anshari, salah seorang kerabat dekat dari Ustadz Abu Bakar Baasyir berkunjung ke LP Nusa Kambangan untuk membesuk ketiga terpidana mati kasus Bom Bali I, yaitu Amrozi, Muklas dan Imam Samudra.

Salah satu topik yang dibicarakan adalah ketidak-mengertian Muklas dan Amrozi tentang “bebasnya” Ali Imron (adik bungsu mereka) dari jerat hukum. Amrozi mempertanyakan nasibnya, mengapa bobot kesalahan dirinya yang bertugas membawa 1 ton karbit yang menjadi bahan baku bom yang diledakkan di Bali justru dijatuhi hukuman mati?

Sementara Ali Imron yang bertugas merakit bom dengan daya ledak sangat tinggi (very high explosive) dan terjun langsung alias terlibat dalam peledakan di Sari Club tanggal 12 Oktober 2002 bisa mendapatkan hukuman “hanya” pidana kurungan penjara seumur hidup.

Dimana letak kebenaran dan keadilan dalam upaya penegakan hukum di negara ini kalau pelaku utama dari semua kasus terorisme bisa “disulap” untuk seakan-akan menjadi pahlawan kesiangan yang bertobat?

Dan walaupun sudah dijatuhi hukuman, tidak satu menitpun pernah dilewatkan oleh Ali Imron di penjara. Sementara semua teroris lain harus meringkuk didalam tahanan, bahkan kedua kakak kandungnya akan segera ditembak mati pada awal bulan November 2008 yad.

Perbuatan biadab membunuh ratusan orang lewat kasus Bom Bali I praktis tidak berdampak hukum apapun kepada teroris keji ini. Padahal ia yang merakit bom itu. Sekali lagi bom yang sangat dasyat kekuatannya meledak di Sari Club itu adalah hasil ciptaan Ali Imron. Dari tangan Ali Imron inilah tercipta bom berdaya ledak tinggi. Secara nyata, tampak jelas keterlibatannya yang sangat amat besar. Tapi mengapa ia tidak dihukum mati? Ada apa di balik semua itu?

Taruhlah seandainya ia bisa dihindarkan dari hukuman mati hanya karena mau bekerjasama dengan polisi misalnya (dalam membongkar kasus Bom Bali I), apakah itu adil dan pantas?

Rasanya tindakan pilih kasih dan tawar-menawar hukum ini benar-benar tidak adil dan sangat amat tidak pantas sekali.

Saya mengajak anda semua untuk membaca kembali salah satu berita yang dimuat di Harian KOMPAS pada tanggal 6 September 2004. Memang, pada waktu itu, semua media massa di Indonesia mengecam keras tindakan Gories Mere yang seenaknya saja bisa ngopi dengan teroris keji Ali Imron di kafe terkenal.

Jakarta, Kompas – Keberadaan penyidik antiteror Detasemen 88 Kepolisian RI Brigadir Jenderal (Pol) Gories Mere bersama terpidana bom Bali, Ali Imron, di kafetaria Starbucks, Jakarta, harus tetap dikritisi dari berbagai sisi.

Sebab, kelayakan tempat maupun sumber dana pertemuan itu tidak pantas jika dikaitkan dengan upaya pengembangan penyidikan. Pernyataan itu diungkapkan dua kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana dan Adrianus Meliala, pada waktu dan tempat yang terpisah, akhir pekan lalu.

Menurut Erlangga, dalam dunia studi Ilmu Kriminologi, tempat pertemuan terpidana dan polisi penyidik teror di sebuah kafe dapat menimbulkan pemaknaan tertentu.

“Kalau kita melihat Starbucks, itu sudah pasti tidak ada kepatutannya. Pertanyaan lainnya, mengapa seorang terpidana harus dibawa dalam tempo lama dan berada di tempat jauh dari tempatnya ditahan? Kalau menurut saya, ini bisa menimbulkan persepsi bahwa ada kaitan-kaitan khusus antara polisi dengan gerakan-gerakan teror yang ada,” ujarnya.

Indikasi adanya kaitan antara polisi dan gerakan teror itu, lanjut Erlangga, salah satunya karena hingga saat ini belum ada aktor intelektual teror bom Indonesia yang ditangkap.

“Selama ini yang ditangkap baru aktor-aktor di lapangan. Padahal, elite politik yang potensial merencanakan teror dapat memainkan aktor dari polisi untuk melaksanakan teror itu. Jadi, mutlak harus ada penjelasan dari Gories tentang esensi pertemuan itu jika tidak ingin muncul prasangka yang tidak perlu,” katanya.

Sementara Adrianus berpendapat, polisi selalu menyatakan bahwa dana untuk penyelidikan dan penyidikannya, terbatas. Akan tetapi, dalam kegiatan polisi antiteror, masyarakat melihat bukti sepertinya dananya unlimited (tak terbatas).

“Lihat saja, kalau mengorek keterangan Ali Imron, polisi bisa mengajak yang bersangkutan ke Starbucks, plus beberapa orang lainnya, apa bukan karena unlimited. Kalau banyaknya dana polisi itu didapat dari notok (baca: memeras-Red) orang, lalu artinya apa?” tandasnya

Jasa apapun yang dianggap oleh polisi telah diberikan Ali Imron kepada polisi, tidak bisa disetir dan dikendalikan oleh seorang Gories Mere bahwa jasa itu langsung menghapuskan unsur perbuatan melawan hukumnya. Ilmu kepolisian yang paling tinggi tingkatannya di muka bumi ini pun, tidak akan pernah diizinkan dan dibiarkan untuk melakukan semua keistimewaan yang sangat luar biasa hebatnya untuk seorang teroris yang keji. Sekali lagi, Ali Imron adalah teroris yang paling keji. Dia pelaku utama, tetapi justru dia yang bebas merdeka.

Sebagai bangsa yang punya harga diri, martabat dan kehormatan, coba bayangkan betapa malunya kita kepada semua bangsa di dunia. Densus 88 Anti Teror Mabes Polri “menikmati” semua bantuan dari negara-negara asing untuk penanganan terorisme. Australia dan Amerika Serikat, adalah dua negara donor yang paling murah hati. Berbagai bentuk bantuan dan pelatihan diberikan untuk kepentingan penanganan terorisme.

Dan betapa kasihannya AS dalam konteks ini, mereka tidak menyadari bahwa dibalik kemurahan hati dan kebaikan mereka yang hebat kepada Gories Mere sebenarnya sangat anti klimaks

Mari kita buat semacam ilustrasi untuk menggambarkan betapa tidak adilnya keputusan itu.

Jika untuk mengungkapkan serangan 11 September yang diduga kuat dilakukan oleh Osama Bin Laden, apakah mungkin pimpinan Dinas Intelijen Amerika (CIA) atau semua polisi terhebat dari Biro Investigasi Federal (FBI) melakukan “perundingan” kepada Osama Bin Laden bahwa jika ia mau bekerjasama dengan aparat keamanan AS (khususnya dengan Tim Anti Teror) maka Osama akan dibebaskan dari segala ancaman hukuman apapun.

Bisakah dibayangkan jika Osama duduk-duduk ngopi di sebuah cafe atau resto mewah bersama Direktur CIA atau FBI, telpon-telponan dan sms-an, akrab dan sangat “bersaudara” dalam setiap lakon mereka?

Saya ingin terus menanyakan ini, bisakah semua itu terjadi bila Osama Bin Laden mau bekerjasama dengan CIA dan FBI? Mungkinkah Osama dibebaskan dari semua dakwaan hukum jika ia mau “nyanyi” dan memberitahukan siapa saja pengurus dalam struktur organiasi Al Qaeda dan dimana semuanya bersembunyi?

“Kegilaan” AS untuk menginvasi Afghanistan adalah untuk perang terhadap terorisme dan menggilas para Taliban yang disinyalir menjadi tempat persembunyian Osama Bin Laden. Perang terhadap teror dan berkelimpahannya bantuan AS kepada setiap negara yang mau secara gigih memerangi terorisme, adalah “ilmu ampuh” untuk melampiaskan dendam dan kemarahan yang sangat hebat pada Osama Bin Laden dan semua jaringan terorisme.

Mari kita bertanya ramai-ramai kepada AS, apakah mereka mau dan berani menghilangkan dakwaan terhadap diri Osama Bin Laden jika teroris nomor satu di dunia itu mau bekerjasama dengan polisi untuk membuka dan memberitahukan semua rahasia dapur dari organisasi teroris yang di-black list oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) itu?

Saya tidak yakin, AS mau melakukan itu.

Tapi kasihannya, AS sendiri tidak menyadari bahwa perwira tinggi yang mereka anggap layak menerima semua bantuan, pelatihan, pemberian dan keakraban dengan Gories Mere justru patut diduga “melindungi” otak pelaku alias pelaku utama kasus peledakan bom paling keji di Indonesia yaitu Bom Bali I.

Sehingga rakyat Indonesia selama bertahun-tahun ini seakan telah dibohongi secara luar biasa. Kita semua dipaksa untuk menelan bulat-bulat pemandangan yang tidak sehat dan tidak adil. Kita semua seakan telah “disihir” bahwa teroris yang keji itu adalah Amrozi, Imam Samudra dan Ali Ghufron alias Muklas. Padahal sangat jauh perbedaan mengenai bobot kesalahan mereka.

Bagaimana mungkin, seseeorang yang mendapat stigma buruk sebagai teroris dengan bobot kesalahannya hanya membawakan 1 ton karbit bahan pembuat bom justru dihukum mati. Sedangkan, teroris sesungguhnya yang merakit bom itu sendiri, justru dijatuhi pidana kurungan seumur hidup dan tidak perlu menjalani hukumannya?

Setelah palu diketukkan oleh sang hakim, vonis pidana kurungan itu justru diabaikan dan diakali agar tidak perlu Mas Ale (panggingan Ali Imron) nyungsep di LP Krobokan. Ia dan Mubaroq, terpidana teroris yang sama-sama bernasib baik “dipinjam” Polri dari LP Krobokan untuk membantu Gories Mere dan Tim Anti Teror membongkar jaringan terorisme.

Saya ajak Anda mengingat kembali kejadian pada saat Lebaran 2007.

Perdana Menteri John Howard sangat marah dan menyatakan terbuka kepada media massa bahwa Australia dan keluarga korban Bom Bali I mengecam keras tindakan Brigjen Surya Dharma yang mengajak Ali Imron dan Mubaroq makan bersama dirumah Surya Dharma di kawasan Lebak Bulus. Pada saat itu, Surya Dharma mengundang juga dua wartawan dari kantor media asing. Mereka menuliskan pertemuan itu medianya yaitu Kantor Berita Associated Press (AP).

Setelah tulisan itu dimuat, PM Howard marah besar dan menyebut tindakan Surya Dharma ABSOLUTELY DISGUISTING atau SANGAT MEMALUKAN. Mengundang dua orang terpidana teroris ke rumah pribadi untuk makan bersama, dianggap telah melukai perasaan keluarga korban Bom Bali I. Sebab, kedua terpidana itu harusnya berada didalam kurungan penjara.

Setelah media massa memberitakan kemarahan Pemerintah Australia, barulah Mabes Polri “panik”. Dari situlah baru ketahuan bahwa Ali Imron dan Mubaroq memang tidak pernah berada di dalam tahanan penjara pihak Kepolisian. Setelah media massa memberitakan kemarahan Pemerintah Australia Oktober 2007, saya mengetahui secara persis bagaimana sulitnya Kabareskrim BHD menghubungi Gories dan Surya. Keduanya tidak mau menjawab telepon dari BHD. Untuk bisa mengetahui duduk persoalannya, BHD terpaksa meminta laporan dari perwira menengah dengan pangkat Kombes untuk menceritakan duduk persoalannya.

Saya sih malu membayangkan ketimpangan hukum ini. Bagaimana mungkin, Indonesia bisa mendiamkan saja “ulah” dari Gories Mere ini.

Sebentar lagi kita akan mendengar kabar bahwa ketiga terpidana mati Bom Bali I itu akan “tewas” diberondong peluru tajam di lokasi pelaksanaan eksekusi. Sementara Mas Ale, bisa jadi sedang ongkang-ongkang kaki menikmati kemewahan hidupnya hasil menjual diri agar teroris lainnya mampu, sementara khusus untuk dirinya dan Mubaroq bebas merdeka.

Tahun 2007 lalu, saya pernah mendapatkan sebuah SMS yang diforward oleh Gories Mere dari nomor telepon selulernya sendiri (08119959**). Diduga SMS yang diforward itu, beasal dari Ali Imron. Saya dikecam oleh teroris ini karena terus secara lantang mengkritik kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum. Terpidana teroris ini, seharusnya menjalani hukumannya di LP Krobokan. Bukan hidup mewah seenaknya di ibukota ini. SMS itu sangat rasis karena berbau SARA sebab isinya mengutip ayat Injil.

Teroris ini mengutip kata-kata Yesus sewaktu di kayu salib yang mengatakan, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”.

Saya dianggap “lupa ingatan” jika mengkritik keswenang-wenangan dalam penegakan hukum bahwa terpidana teroris itu tidak menjalani hukumannya di penjara. Insiden SMS itu, langsung saya laporkan kepada jajaran Polhukkam (termasuk kepada Kepala Badan Intelijen Negara Sjamsir Siregar.

Lalu atas saran “Opung” Sjamsir, tindakan Gories Mere ini saya laporkan ke Kapolri. Itu sebabnya saya pun memberitahukannya kepada Kapolri Jenderal Sutanto.

Luar biasa, bagaimana mungkin seorang terpidana teroris bisa menggunakan HP dan seenak jidatya melecehkan seorang jurnalis dengan SMS berbau SARA.

Untuk penegakan hukum dalam perang melawan terorisme di negara manapun, tidak boleh apa alasan apapun untuk mengaburkan dan menguburkan fakta-fakta hukum. Kita harus menggunakan akal sehat untuk melihat permasalahan ini secara jernih.

Walau saya harus diteror terus menerus sampai saat ini karena bersuara lantang mengkritik berbagai pelanggaran dan penyimpangan dalam penanganan teror di Indonesia, saya tidak akan merasa takut atau mundur walau hanya selangkah. Berbagai pengrusakan terhadap jaringan media saya, termasuk pengrusakan melalui kecanggihan teknologi terhadap software notebook, modem, semua HP dan nomor-nomor telepon saya, tidak akan membuat saya surut untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Perang melawan teror jangan hanya basa basi.

Menciptakan rasa takut di tengah masyarakat dengan isu terorisme, atau menteror jurnalis yang lantang mengkritik berbagai pelanggaran penanganan teror di Indonesia, adalah justru menjadi bagian dari aksi teror itu sendiri.

Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana kalau Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat, Australia, Vatikan, atau negara manapun di dunia ini, jika mereka tahu bahwa ada jurnalis di Indonesia diteror karena lantang menyuarakan kebenaran dan keadilan terkait penanganan terorisme di Indonesia?

Bagaimana kalau mereka tahu bahwa ada seorang jurnalis di Indonesia yang mendapat kiriman SMS dari seorang terpidana teroris?

Saya terus ditanya oleh banyak orang sejak aktif menuliskan banyak hal mengenai penanganan terorisme di situs ini (katakami.com), mengapa saya diteror? Jawabannya bisa jadi berupa pertanyaan baru dari pihak pelaku teror, mengapa sok berani mengkritik “kami” yang sangat hebat ini dalam menangani “teror”?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa penanganan terorisme di Indonesia ini bukan cuma kosmetik atau akal-akalan dari Tim Anti Teror Polri. Diatur dan dibentuk sesuai mau dari Komjen Gories Mere yang menangani terorisme sejak kasus Bom Bali I. Sudah cukup selama ini kebenaran itu dipermainkan dan dikendalikan sesuai dengan kemauan Gories.

Ini semua membuat potret penegakan hukum kita (dalam hal perang dan pemberantasan terorisme) sangat bopeng dan carut marut.

Pelaku utama dari Bom Bali I terkesan kuat benar-benar “dilindungi” dan “dibebaskan” dari ancaman hukuman mati hanya menjual dirinya agar tidak bernasib sama dengan kedua kakak kandungnya sendiri yang sebenarnya sama-sama berprofesi sebagai teroris. Walaupun Ali Imron, dianggap “berjasa” kepada Gories Mere tetapi perbuatan melawan hukum yang melekat pada diri teroris biadab ini harus tetap mendapatkan hukuman yang setimpal.

Dimana letak keadilan jika Amrozi yang hanya bertugas membawa 1 ton karbit untuk menjadi bahan peledak bom dijatuhi hukuman mati, sementara orang yang sangat ahli merakit dan menjadi pembuat bom yang meledak di Sari Club itu, justru bebas dari hukuman mati?

Tahun lalu, semua media massa memberitakan hebatnya kehidupan Ali Imron karena dibiayai hidup dan berpindah-pindah dari apartemen yang satu ke aparatemen yang lain, dan dari hotel yang satu ke hotel yang lain. Ia juga laksana pejabat-pejabat tinggi negara yang sudah sukses menyelesaikan masa tugasnya di negara ini yaitu dengan mengeluarkan buku otobiografi.

Pembuatan buku itu kabarnya “lagi-lagi” dibiayai oleh Gories Mere.

Bangsa Indonesia telah dibohongi oleh Gories Mere sejak awal kasus Bom Bali I diungkap dan dibongkar. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang bisa menyulap dan membuang fakta hukum yang terjadi sebenarnya? Memangnya siapa Gories Mere itu, sampai bisa berkuasa mutlak untuk menentukan bahwa teroris kelas kakap semacam Ali Imron dapat dihilangkan unsur perbuatan melawan hukumnya dalam kasus Bom Bali I?

Majelis hakim sebenarnya sudah menyatakan bahwa adik bungsu Muklas dan Amrozi ini bersalah dan dihukum penjara seumur hidup. Tapi tetap saja, figur Gories Mere yang menyelamatkan Ali Imron. Masalah penanganan terorisme ini, seakan menjadi wewenang dan wilayah kekuasaan mutlak yang absolut dari Gories Mere. Luar biasa, inilah jenis arogansi yang paling mengerikan di muka bumi ini.

Kita malu kepada dunia internasional. Kita mengaku sebagai negara yang paling hebat di dunia dalam penanganan terorisme. Jualan kecap nomor satu bahwa sudah 400 orang ditangkap untuk kasus terorisme. Padahal pelaku utama dari Bom Bali I ditenteng kesana-kemari dan akhirnya seakan langsung merasakan “bebas murni” dari semua hukuman.

Ali Imron bukanlah pahlawan atau jenis manusia yang layak dikasihani. Dia adalah pelaku utama kasus Bom Bali I!

Sebab dari tanganyalah dirakit dan dibuat bom sangat mematikan yang meledak di Sari Club Bali tangga 12 Oktober 2002. Inilah perakit bom yang sangat hebat kelasnya. Untuk ukuran terorisme, Ali Imron pasti dimungkinkan masuk dalam kategori “cum claude” jika hendak menempuh ujian akhir versi teroris. Sekali membuat bom, sudah langsung mati 202 orang. Setelah mati begitu banyak korban yang tak bersalah dan divonis bersalah oleh hakim, eh Mas Ale bisa bebas dari segala hukumannya.

Padahal, di negara hukum seperti Indonesia, yang memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang bersalah atau tidak adalah majelis hakim. Bukan Gories.

Apakah kita sebagai sebuah bangsa bisa mendiamkan cara-cara kotor seperti ini?

Kalau saja saya punya kesempatan untuk bertanya, maka saya ingin bertanya kepada Jaksa (non aktif) Urip Tri Gunawan yang saat ini ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua Depok. Mengapa dulu ia tidak menuntut agar Ali Imron dihukum mati padahal Ali Imron adalah Pelaku Utama dari Bom Bali I?

Urip, adalah Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus Bom Bali I. Dimana letak kejelian Tim JPU pada waktu itu, sehingga terkesan mau dan bisa “main mata” dengan Kepolisian agar khusus untuk Ali Imron tuntutannya JANGAN HUKUMAN MATI.

Bertahun-tahun lamanya, bangsa Indonesia telah dibohongi oleh Gories Mere dan Tim Anti Teror yang sengaja mengaburkan dan menguburkan fakta tentang hasil penanganan terorisme terkait kasus Bom Bali I.

Kejahatan adalah kejahatan. Terorisme adalah terorisme. Dan terorisme adalah musuh dari semua bangsa di dunia. Jangan karena Ali Imron menjual dirinya kepada Tim Anti Teror Polri maka perbuatan melawan hukumnya dianggap tak ada. Kematian 202 orang korban Bom Bali I adalah atas perbuatan Ali Imron! Dimana tanggung jawabnya di muka hukum kalau kesalahan dan dosa yang sebegitu kotor, justru mendadak menjadi “putih bersih” hanya karena teroris keji ini menjual diri agar kakak-kakaknya ditangkap (Muklas dan Amrozi, red).

Gories Mere, sudah saatnya dianggap sebagai masa lalu dalam penanganan terorisme.

Gaya kepemimpinan Sutanto yang membiarkan orang yang itu-itu saja menguasai “lahan atau komiditi” penanganan terorisme, bercokol tanpa bisa digoyahkan. Selama Sutanto menjabat sebagai Kapolri (38 bulan) Gories seakan mencapai masa keemasannya. Bukan karena berhasil menewaskan dr. Azahari ataupun menangkap Zarkasih & Abu Dujana. Tetapi karena ia menempatkan Tim Anti Teror Polri sebagai anak emas Tri Brata 1.

Sutanto menyembunyikan semua indikasi pelanggaran hukum Gories Mere.

Pada saat Tim Anti Teror Polri menangkap Amir Jamaah Islamyah (Zarkasih) dan Panglima Sayap Militer Jamaah Islamyah (Abu Dujana) tanggal 9 Juni 2007, ternyata penangkapan itu dilaporkan terlebih dahulu oleh oknum petinggi Tim Anti Teror Polri kepada Pihak Australia.

Keesokan harinya, Perdana Menteri John Howard langsung mermberikan ucapan selamat atas keberhasilan Polri menangkap teroris.

Kabarnya, Presiden SBY sangat marah atas kelancangan Tim Anti Teror Polri melaporkan terlebih dahulu kepada pemerintah asing daripada pemerintah sendiri. Presiden SBY dan rakyat Indonesia baru tahu soal penangkapan itu tanggal 13 Juni 2007. Membocorkan hal ini sama dengan membocorkan rahasia negara. Dan sanksi yang mesti dijatuhkan adalah sanksi tegas. Wajar kalau dikabarkan Presiden SBY sangat marah dan tersinggung. Tak sepantasnya ada oknum yang menjilat kepada bangsa lain. Tindakan membocorkan rahasia negara kepada negara lain bukan cuma sebatas menjilat tapi merupakan pelanggaran berat.

Indikasi pelanggaran Gories Mere yang lainnya adalah ia melakukan presentrasi liar di sebuah redaksi surat kabar pada Juli 2007. Ketika itu, Gories Mere dengan seenaknya berbicara memfitnah dan menjelekkan banyak pihak di hadapan wartawan-wartawan senior. Ia menyebut sebuah Polda “goblok dan memang bodoh”. Ini disebutkannya dalam kaitan penanganan kasus bom malam Natal, saat polisi Jawa Barat menelpon Hambali lewat telepon seluler dan diminta untuk menunggu sejenak (karena polisi mau menangkapnya).

Dalam rekaman presentasi itu, Gories juga menuding sebuah instansi menjadi dalang dari semua peledakan bom. Ia bisa dengan seenaknya menyebutkan nama dua jenderal dan menuduh mereka punya kaitan dengan Al Jamaah Al Islamyah. Gories Mere tidak menyadari bahwa presentasi liar itu direkam. Didalam presentasi inilah Brigjen Surya Dharma mengucapkan kalimat yang sangat arogan:

“Di Indonesia ini, yang mampu menangkap teroris hanya saya dan Pak Gories. Yang lain tidak akan bisa. Jadi kalau kami mogok karena dizolimi, ya dizolimi, lihat saja. akan kami “doakan” di Indonesia banyak PELEDAKAN BOM!”

Luar biasa, bagaimana mungkin dari mulut seorang perwira tinggi bisa keluar kata-kata kotor seperti itu. Sutanto sudah mendengar langsung tetapi mendiamkan bahkan merahasiannya kepada Presiden dan rakyat Indonesia. Sebab, dua kaset rekaman itu sudah diserahkan kepada Kapolri Sutanto dan Bambang Hendarso Danuri (Kabareskrim). Dan yang menyerahkan adalah saya.

Bahkan, seorang Jenderal yang difitnah oleh Gories Mere punya keterkaitan dengan Jamaah Islamyah, langsung menelepon dan menegur Gories secara keras. Kepada Jenderal ini, saya perdengarkan rekaman presentasi liar Gories Mere. Wajah sang Jenderal terlihat sangat geram ketika mendengar sendiri suara Gories bisa dengan “cerdasnya” memfitnah.

Jenderal tersebut menelepon Gories pada malam harinya. Gories tak berkutik saat “dimaki” oleh Jenderal tersebut karena seenaknya saja memfitnah dihadapan wartawan-wartawan senior. Untung tidak ada yang memuat presentasi itu. Sebab kalau sampai dimuat, maka itu adalah pembunuhan karakter yang sangat hebat kepada Jenderal tadi.

Ketika itu, Gories Mere mengamuk kepada saya dan mengirimkan SMS yang sangat emosional yang berisi, “Saya sudah berbicara dengan Pak W… Hentikan semua laporan paranoidmu !”

Tetapi saya tidak kalah cerdik, saya jawab SMS itu dengan mengatakan, “Ada apa? Saya tidak mengerti maksud Anda.”

Tetapi, baik Sutanto ataupun BHD, tidak ada satupun yang berani atau mau menindak Gories dan Surya Dharma secara tegas karena presentasi liar tadi. Padahal mereka sudah mendengarnya secara langsung. Dan mereka lupa, walaupun ibaratnya kura-kura dalam perahu alias pura-pura tidak tahu, rekaman kaset presentasi itu sudah diberikan dan didengarkan oleh menteri senior di Kabinet.

Ada beberapa saksi dan orang lain yang memegang serta sudah mendengarkan langsung rekaman itu. Sehingga, motto dari situs ini “Jurnalisme Yang Layak Dipercaya” bukanlah basa basi atau isapan jempol. Faktor kepercayaan akan kami tempatkan diatas segalanya dalam menyampaikan semua pemberitaan di situs ini.

Hantaman berikutnya untuk Sutanto pada tahun 2007, datang kembali dari Gories Mere. Pada pertengahan bulan Agustus 2007, Gories Mere dan sejumlah anggota Polri mengadakan pertemuan dan makan bersama dengan seorang pengusaha di Hotel Grand Hyatt Jakarta.

Rombongan Gories yang berjumlah 9 orang dibayari makan oleh pengusaha yang sedang mempunyai kasus di Polri. Bagaimana mungkin ada aparat penegak hukum bisa makan bersama dan dibayari oleh orang yang berperkara di Kepolisian?

Bahkan, yang ikut makan saat itu adalah isteri dari Surya Darma karena memang Surya Darma ikut serta dalam pertemuan tersebut. Mengadakan pertemuan, makan bersama dan dibayari pula oleh orang yang berperkara atau punya kasus di Mabes Polri, apakah itu etis dilakukan oleh seorang Wakabareskrim Polri (pada saat itu jabatan Gories Mere masih sebagai Wakabareskrim)? Sementara kasus yang diperkarakan itu berada dibawah kewenangan Bareskrim Polri. Pengusaha yang membayari rombongan Gories Mere makan ini menceritakan pada saya bahwa biaya makan mereka saat itu hampir mencapai Rp 1 juta.

Pengusaha inilah yang melaporkan kepada pihak Kepolisian (ada 7 laporan) terhadap seorang makelar kasus bernama Suryo Tan (yang namanya dikabarkan dan disebut-sebut sebagai markus yang dekat dengan Sutanto). Kasus-kasus itu dapat dibaca lewat Situs http://www.suryotan.com.

Dalam pertemuan di Grand Hyatt itu, Gories menjanjikan akan menangkap Suryo Tan. Dan bisik-bisik yang beredar bahwa didalam pertemuan itu dibahas “kehebatan lobi” Suryo Tan yang tidak ditangkap-tangkap padahal sudah menjadi tersangka sejak Februari 2007. Gories dan Surya tahu bahwa Sutanto sangat dekat dengan makelar kasus bernama Suryo Tan tadi.

10 Replies to “Surat Terbuka dari Mega Menjelang Eksekusi Kelompok Amrozy”

  1. Hola Teguh,

    Numpang comment buat Mega Simarmata secara katakami.com gak kasih ruang comment.

    How could it be? The soft presenter with glass, my favorite when she was in Radio Ramako, now changes to be granite!!! Unfortunately, soon, I will be her secret admirer, after read her works in inilah.com.

    Anyway katakami is plural. I suppose she doesn’t move alone. Do u think so?

  2. Yah.. beginilah kualitas Polisi di indonesia. Yg pejabat maen kasus… yg pangkatnya rendah korupsi dijalanan dgn cara menjebak agr bs ditilang, jadi calo dll. Anyway… Polisi baik tetap ada, tapi sayangnya yg bersentuhan langsung dgn masyarakat kebanyakan oknum aparat begundal yg memeras rakyat. Marilah kita sama2 berdoa : Ya Tuhan janganlah kau buat hambaMu ini berurusan dengan polisi. Amin.

  3. Masihkah Anda percaya dengan kecerdasan dan kehebatan Ali Imron dalam merangkai bom yang menghasilkan bom Bali I? Tidak adakah celah prakiraan adanya orang cerdas lain yang mengiringi langkah mereka?double agent? Ah, sudahlah. Tentang Ali Imron yang tidak dieksekusi, ya anggaplah diberi kesempatan menebus dosa. Tentang GM?.bukankah begitu karakternya?

  4. @katakita
    salam untuk mega akan saya sampaikan

    @bani mustajab
    memang banyak yang meragukan kemampuan dan kedahsyatan bom yang dirakit ali imron. keraguan ini semakin menguat karena ali imron tidak pernah diminta untuk merakit ulang bom itu dengan bahan dan ukuran (spesifikasi) yang sama dan seterusnya menguji ledakkannya di tempat yang aman, dengan membuat setting ruang yang kira-kira menyerupai (mendekati) keadaan di paddy’s cafe dan sari club.

    teori tentang “orang cerdas lain yang mengiringi langkah mereka” juga cukup kuat. beberapa saksi saat itu konon mendengar ada dua suara ledakkan yang terjadi hampir berbarengan dan salah satu dari dua suara itu jauh lebih kuat.

    dugaan-dugaan ini memang tidak pernah dibuktikan.

    ada yang mencoba menjelaskannya dengan teori pemampatan udara yang ikut mendorong efek ledakan dahsyat seperti yang kita saksikan itu.

    saya setuju dengan semua keraguan anda. keraguan yang sama juga saya miliki.

    tapi sekadar menganggap ali imron sedang diberi kesempatan menebus dosa saya kira juga kurang tepat. kasus bom bali ini harusnya diuji secara sungguh-sungguh. amrozy cs sudah pasti bersalah. tetapi itu belum cukup untuk mengetahui rahasia di balik peristiwa ini.

    misteri bom bali yang meledak tanggal 12 oktober 2002 itu masih belum terungkap.

    saya sendiri bukan orang yang menyetujui hukuman mati untuk siapapun.

  5. bisa nggak presentasi liarnya gories dan surya darma yang arogan seperti yang tersebut diatas di upload?

    karena sebenarnya dengan menulis seperti ini saja tidak ada enak rasanya…

    pingin denger juga dong kita…

  6. ngelacak teroris itu gampang kok mas ngak susah..ngak perlu analisis njelimet,
    modal xxxxx aja pasti berhasil…
    tapi kalau sudah ketemu terorisnya
    mau diapain ya..

  7. Ass. Ww. Sdr2ku, jangan lupa kita harus tenang dan coba merenungkan. Adanya peristiwa2, antara lain 911 mengenai luluh lantaknya WTC di Amerika, yang katanya oleh teroris OBL. Padahal menurut hasil penelitian terakhir, sangat terbuktikan, bahwa perbuatan itu adalah hasil pekerjaan orang dalam (inside jobs). Dan ini diakui oleh 80% rakyat Amerika. Jadi mestinya orang2 G. Bush yang sebenarnya melakukan pemboman di WTC tersebut, yang kemudian difitnahkan kepada OBL dan Al Qaeda. Dari hasil penelitian diketemukan alat peledak dan proyektil2 didalam puing2 gedung dan hanya Amerika yang punya dan ternyata jumlahnya cukup signifikan. Pesawat terbang “booing” adalah palsu. Menurut para ahli sangat tidak memenuhi syarat sebagai pesawat penumpang, tetapi lebih merupakan missile. Itu di USA yang sangat hebat itu. Hal ini dibenarkan oleh para ahli senjata dan peledak dari UK . Jadi jangan heran kalau semua itu telah dirancang oleh yang namanya global terrorist. Dan rajanya teroris adalah di USA itu sendiri. Dalam sejarah teror Ahli2 CIA dari Amerika membuat kekalutan dan pembunuhan di Amerika Latin dan negara2 Dunia ke tiga.Peristiwa WTC tsb ada tujuannya.Yang dijadikan sasaran dan adalah umat Islam. Contoh, bagaimana USA membela Israel, mengagresi Irak dan Afgannistan. Membohongi Pakistan dan Musaraf sebagai presiden dijadikan “clutch” Amerika kata orang India. Mengenai Sdr Mega berkomentar atau bertajuk atau memprovokasi dan lain2, waspada saja. Jangan kita mau diadu domba lagi. Mungkin saja ada benarnya, tapi kan haruslah bijaksana dan dipelajari secara benar dan mendalam. Lalu dicarikan solusinya. Bukan grasah grusuh. Kita butuh belajar dari sejarah kita. Jangan mau jadi alat adu domba bangsa lain yang selalu menikmati hidupnya, sedang bangsa kita dijadikan sasaran langsung atau diadu domba. Mari kita sabar, merubah sikap dan berbuat baik. Jaga amarah dan panas hati kita coba dikendalikan. Kita ini satu bangsa dan masih perlu belajar dan bekerja dengan keilmuan dan kesadaran nurani. Waspadalah Sdr2ku. Semoga kita tetap dalam hidayah Allah SWT dan bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bersatu dan berdaulat baik politik, ekonomi dan budaya. Amin. Wassalam

Leave a reply to katakita Cancel reply