Di Balik “Kartun Anjing Sodomi”

MEMBACA berita tentang dua anak Papua yang kembali ke daerah asal mereka membuat saya terkenang pada peristiwa di bulan Maret 2006.

Dua orang Papua yang kembali ke tanah air ini adalah Hana Gobay (23) dan Yubel Kareni (22), warga Serui dan Merauke. Mereka merupakan bagian dari kelompok 43 orang Papua yang meminta suaka politik kepada pemerintah Australia di bulan Maret 2006 itu.

Pemerintah Australia telah menjanjikan suaka politik bagi mereka.

Sikap pemerintah Australia ini memunculkan ketegangan baru antara dua negara. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda sempat menyampaikan nota protes dan memanggil pulang Dubes Hamzah Thayeb dari Canberra. Adapun Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Dubes Hamzah Thayeb tidak akan kembali ke Canberra sebelum Australia menjelaskan keputusan yang kontroversial itu.

Untuk menggambarkan ketegangan ini, halaman muka Rakyat Merdeka edisi 27 Maret 2006 memuat sebuah kartun karya Fonda Lapod yang kini bekerja untuk inilah.com.

Dalam kartun yang merupakan bagian dari berita utama edisi hari itu, Perdana Menteri John Howard dan Menlu Alexander Downer digambarkan sebagai dua ekor dingo yang sedang bermain-main di tanah Papua (ditandai dengan papan yang bertuliskan Papua). Dingo adalah anjing liar yang juga dikenal sebagai hewan khas Australia selain kanguru. 

Di ekor ‘dingo Howard’ tergantung bendera Australia.

“I want Papua!! Alex! Coba you mainkan!” kata ‘dingo Howard’.

Kartun ini menggambarkan pemerintah Australia yang mengambil keuntungan dari persoalan yang sedang terjadi di Indonesia (kekecewaan orang Papua terhadap pemerintah pusat). Di sisi lain, kartun ini juga mengisyaratkan bahwa ada yang salah dengan perlakuan pemerintah Indonesia di Papua sehingga beberapa orang Papua ingin meninggalkan negeri ini. Juga ada yang salah sehingga negara lain bisa leluasa bermain di atas masalah yang kita hadapi.

Tetapi sayangnya beberapa media massa, termasuk detik.com, menganggap itu adalah gambar dua anjing yang sedang bersetubuh.

“Kedua pria berkacamata itu digambarkan sedang bersetubuh. Howard yang ekornya bergoyang menunggangi Downer,” tulis detik.com beberapa hari kemudian setelah ‘serangan balasan’ datang dari kubu Australia.

Padahal, tidak sama sekali. Itu bukan gambar dua anjing yang sedang bersetubuh. Apalagi dengan jalan sodomi (bila keduanya adalah anjing jantan). Lihat saja baik-baik. Lalu bayangkan bagaimana tingkah anak anjing yang sedang bermain. Mereka melompat ke sana kemari, tindih-tindihan. Kita, manusia, waktu kecil kalau lagi main-main dengan teman juga gitu. Lasak, melompat kesana kemari. 

“Serangan balasan” dari Australia disampaikan Bill Leak, kartunis Australia, yang juga melihat bahwa kartun Rakyat Merdeka itu menggambarkan dua anjing yang sedang bersetubuh.

Kartun balasan Leak (paling atas, pojok kiri) diterbitkan the Weekend Australia edisi 1 April 2006. Di dalam kartun itu seorang laki-laki berkulit sawo matang, mengenakan peci, berekor dengan mata terpejam dan tersenyum berdiri rapat di belakang seorang laki-laki yang digambarkan berkulit lebih gelap, berambut keriting, dengan sebuah tulang yang menempel di hidungnya.

“Don’t take this the wrong way,” kata laki-laki berpeci dalam kartun itu.

Kartun Leak ini menggambarkan bahwa justru Indonesialah yang “menyodomi” Papua.

Di mata detik.com, laki-laki berpeci itu adalah Presiden SBY. Lebih dari itu, tulis detik.com:

“The Weekend Australian pada Sabtu (1/4/2006) ini mempublikasikan kartun Presiden SBY sebagai seekor anjing yang secara seksual mendominasi seorang pria berkulit hitam dan berambut keriting.”

Maka, gegerlah!

Di ruang redaksi kami mendiskusikan masalah ini. Dan kami sepakat bahwa kami tidak akan meladeni kartun Leak itu. Kami menganggapnya sebagai karikatur yang biasa-biasa saja. Bahkan lebih jauh, kami tidak menganggap kartun “balasan” Leak sebagai sesuatu yang penting untuk disikapi.

Bagi kami jauh lebih penting menyampaikan pandangan-pandangan umum kami mengenai krisis yang tengah terjadi di Papua saat itu.

Kritik kami terutama untuk pemerintah Indonesia yang punya kewajiban moral mempertahankan kecintaan rakyat Indonesia di manapun berada terhadap negeri ini. Kami percaya bahwa rasa cinta tanah air yang berkurang atau hilang terjadi karena negara yang diwakili pemerintah gagal mensejahterakan rakyat, setidaknya memberikan perlindungan yang memadai dan memenuhi hak-hak dasar mereka.

Kritik selanjutnya sudah barang tentu kami tujukan untuk Australia, negara tetangga. Sebagai tetangga yang baik, mestinya Australia tidak mengambil manfaat dari kekisruhan yang terjadi di Indonesia. Bayangkan, bila ada keributan di rumah tetangga kita. Seeloknya yang kita lakukan adalah mendamaikan mereka. Bukan mengompori salah satu pihak sehingga keributan itu semakin menjadi.

Kami tak mau fokus kami bergeser hanya karena kartun Leak dan penilaian subjektif pembaca –yang sah-sah saja– atas kartun-kartun itu. 

Sikap itu jugalah yang saya sampaikan ketika saya diwawancarai beberapa media mengenai apa yang dipandang dan disebut-sebut orang sebagai “perang kartun” ini.

By the way, dalam jumpa pers di Canberra beberapa hari setelah kartun dua dingo Rakyat Merdeka terbit, Howard mengatakan, sebagai politisi yang sudah lama berkecimpung di dunia politik dirinya tidak merasa tersinggung. Bagian yang lebih penting adalah: dia juga menyadari bahwa kartun itu muncul akibat kemarahan Indonesia atas keputusan pemerintah Australia memberikan suaka kepada warga Papua yang sejak Januari 2006 telah berada di wilayah negara kanguru itu.

Kembali ke Hana dan Yubel yang akhirnya, setelah lebih dari 2,5 tahun berada di Australia, memilih kembali pulang ke kampung halaman mereka.

Dalam jumpa pers di Jakarta (Senin, 20/10), keduanya mengaku kecewa dengan janji pihak Australia dan pihak yang membawa mereka ke sana. Bukannya disekolahkan, mereka dipekerjakan sebagai petani pisang dan lebih bernuansa politis.

“Kami dijanjikan untuk sekolah dan diberi pekerjaan yang layak. Tapi setelah tiga tahun, semuanya bohong. Kami hanya diberikan kursus Bahasa Inggris dan komputer,” kata Hana seperti dikutip myRMnews.com.

Adalah Herman Wainggai yang menjanjikan “kehidupan yang lebih baik: bagi ke-43 orang Papua itu. Wainggai diduga merupakan salah seorang ketua Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Herman memungut biaya Rp 7 juta bagi setiap peserta.

“Kami diberangkatkan dengan perahu. Membutuhkan waktu hampir lima bulan untuk sampai di Australia,” ujar Hana.

Selama tinggal di Australia, kata Hana lagi, ke-43 orang orang Papua tersebut diancam dan didoktrin oleh Jacob Rumbia, Ketua Organisasi West Papua National Authority.

“Jacob Rumbia sering bicara kepada kami soal Papua Merdeka, soal OPM,” ujar Hana yang didampingi oleh Yubel.

Menyusul keputusan Hana dan Yubel, anggota Komisi I DPR Andreas Parera meminta agar pemerintah menjamin keamanan mereka.

“Setelah berada di Indonesia, mereka merasa tidak aman. Mereka merasa takut dianggap sebagai pengkhianat bangsa,” katanya.

Anggota dari Fraksi PDI Perjuangan mengatakan, bangsa Indonesia harus menghargai langkah yang ditempuh Hana dan Yubel.

“Bagaimanapun kita harus menyambut baik kepulangan mereka ke Indonesia,” demikian Andreas.

3 Replies to “Di Balik “Kartun Anjing Sodomi””

  1. Seharusnya ini bisa menjadi pelajaran tentang diplomasi politik yang semestinya dijalankan bukan untuk menghancurkan Australia dengan kartun yang menimbulkan multitafsir, akan tetapi ditujukan kepada penggalangan opini di Papua sendiri. Tentu saja kekuatan terbaik dan pukulan balik yang luar biasa adalah dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua.

    Namun jangan salah, bukan hanya Papua kalau pemerintah pusat masih menjalankan politik yang tidak adil seperti ini, walau saya juga mengakui ada kemajuan setelah diberlakukannya otonomi daerah, tapi hal tersebut masih dirasa kurang. Buktinya Kalimantan yang kaya akan hasil tambang batu bara dll, harus krisis energi karena semuanya disedot habis oleh pembangunan yang sepertinya hingga kini lebih diproritaskan di tanah Jawa saja.

    Apa harus orang Kalimantan bertindah seperti Papua dulu untuk mendapatkan bagian lebih besar? Semoga saja tidak demikian ….

Leave a reply to teguhtimur Cancel reply