Rafid Alwan, si Deep Throat Gadungan

DEEP Throat. Itulah pseudonym atau julukan yang diberikan Redaktur Pelaksana Washington Post, Howard Simpson, untuk narasumber rahasia yang membocorkan informasi berharga kepada dua reporter koran itu, Bob Woodward and Carl Bernstein.

Informasi yang diberikan sang Deep Throat mengenai keterlibatan Presiden Richard Nixon dan para pembantu utamanya dalam aksi spionase dan pembobolan kantor DPP Partai Demokrat di kompleks Watergate, di Washington DC, dibeberkan Woodward dan Bernstein dalam buku mereka “All the President’s Men” yang terbit tahun 1974.

Kasus ini berawal dari penangkapan lima orang yang membobol kantor DPP PD pada bulan Juni 1972. Penyelidikan yang dilakukan FBI selama berbulan-bulan akhirnya menemukan bukti bahwa perampokan itu merupakan bagian dari operasi politik yang dilakukan kubu Nixon yang berasal dari Partai Republik.

Komite Hukum di DPR Amerika yang dikuasai Partai Demokrat pun bertindak cepat. Mereka menuntut pemakzulan Nixon.

Adapun Nixon karena tidak mau menanggung malu, sebelum didudukkan di hadapan “majelis impeachment” yang disiapkan DPR, bulan Agustus 1974 ia memilih mengundurkan diri dari jabatan AS-1 dan menyerahkan kekuasaanya kepada Wapres Gerald Ford.

Surat pengunduran diri yang ditujukan  Nixon untuk Menteri Luar Negeri Henry A. Kissinger singkat saja:

“Dear Mr. Secretary. I hereby resign the Office of the President of the Unites States. Sincerely.”

Mantan Deputi Direktur Federal Bureau Investigation (FBI) William Mark Felt, Sr.

Lebih dari 30 tahun kemudian, May 2005, Deputi Direktur Federal Bureau Investigation (FBI) William Mark Felt, Sr. mengaku bahwa dirinyalah sang Deep Throat yang telah menggegerkan panggung politik Amerika di era 1970an itu.

***

Nah, masih ada tokoh lain sejenis Deep Throat dalam skandal Watergate yang hendak diceritakan dalam tulisan ini. Pseudonym tokoh yang satu ini bukan Deep Throat, tetapi Curveball yang dalam bahasa slang American-English merujuk pada sikap yang tidak terus terang, acak-acakan dan kerap kali mengagetkan.

Julukan ini diberikan kepada seorang laki-laki yang awalnya tak dikenal, yang membocorkan informasi mengenai laboratorium bergerak milik Irak yang digunakan pemerintahan Saddam Hussein untuk mengembangkan senjata kimia pembunuh massal.

Curveball menjadi pseudonym yang ramai dibicarakan setelah Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mempresentasikan analisa pemerintah Amerika di hadapan Dewan Keamanan PBB, 5 Februari 2003.

“Materi yang akan saya presentasikan di hadapan Anda berasal dari berbagai sumber. Beberapa adalah sumber dari pihak Amerika Serikat, dan beberapa berasal dari negara lain. Beberapa dari sumber ini memiliki kemampuan teknis, seperti penyadapan pembicaraan telepon dan pemotretan dari  satelit. Sumber-sumber lain adalah orang yang membahayakan hidup mereka untuk memberitahukan kepada dunia apa yang sesungguhnya sedang dilakukan Saddam Hussein.”

“Saya tidak dapat memberitahukan kepada Anda semua hal yang kami ketahui. Apa yang dapat saya sampaikan kepada Anda, bila kita kombinasikan dengan semua hal yang kita sudah sama-sama ketahui dalam beberapa tahun terakhir ini, sungguh sesuatu yang begitu bermasalah.”

Pada bagian lain Powell mengatakan:

“Saudara-saudara, setiap pernyataan yang saya sampaikan hari ini didukung oleh sumber-sumber, sumber-sumber yang solid. Ini bukan pernyataan yang didukung oleh keyakinan semata. Apa yang kami berikan kepada Anda saat ini adalah fakta dan kesimpulan berdasarkan sumber intelijen yang solid. Saya akan mengutip beberapa di antaranya, dan ini adalah dari sumber-sumber manusia.”

Dalam presentasi itu, Powell berkali-kali berusaha meyakinkan Dewan Keamanan PBB mengenai kesahihan informasi yang dia beberkan.

“Bapak dan ibu sekalian, ini bukan assertions. Ini semua adalah fakta, yang didukung oleh pernyataan banyak sumber, beberapa dari mereka adalah sumber-sumber intelijen dari negara lain.”

Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell

Menurut Powell, setidaknya ada empat informan yang mendukung presentasinya hari itu. Sumber pertama adalah seorang insinyur kimia dari Irak yang menjadi saksi mata langsung. Laki-laki ini, sebut Powell, bertugas mengawasi fasilitas senjata kimia dan biologi Irak.

“Dia ada di lokasi ketika sebuah kecelakaan terjadi tahun 1988. 12 teknisi tewas akibat ledakan biological agents.”

Ketika United Nations Special Commission (UNSCOM) memeriksa fasilitas senjata biologi Irak, proses produksi senjata biologi dimulai Kamis tengah malam sebab Irak mengira UNSCOM tidak akan melakukan pemeriksaan pada hari libur umat Muslim, Kamis malam sampai Jumat.

“Dia menambahkan, ini penting karena proses pembuatan tidak bisa dihentikan di tengah jalan, dan harus diselesaikan Jumat malam sebelum inspektur PBB datang lagi.”

“Pembelot ini sekarang bersembunyi di sebuah negara, dan dia paham Saddam Hussein akan membunuhnya bila menemukan dia. Kesaksiannya mengenai fasilitas produksi (senjata pemusnah massal) bergerak ini juga didukung oleh sumber-sumber lain.”

Laki-laki yang dibeberkan oleh Powell inilah yang kemudian dikenal dengan namasandi Curveball.

Adapun informan lainnya tak begitu dijelaskan Powell dalam presentasi itu.

“Sumber kedua, seorang insinyur sipil yang dalam posisi mengetahu detil dari program dan mengkonfirmasi keberadaan fasilitas bergerak tersebut. Sumber ketiga juga mengetahui hal ini, melaporkan pada pada musim panas 2002 pemerintah Irak memproduksi sistem produksi bergerak. Akhirnya, sumber keempat seorang mayor Irak yang membelot dan mengkonfirmasi bahwa Irak mempunyai laboratorium penelitian biologi bergerak sebagai tambahan dari fasilitas produksi yang sudah saya sebutkan tadi.”

Sebegitu meyakinkannya presentasi Powell, tetapi Dewan Keamanan PBB tetap tak mengizinkan rencana Amerika Serikat menyerang Irak. Menurut PBB, Resolusi 1441 yang memberikan kewenangan kepada organisasi PBB UNMOVIC dan UNSCOM serta IAEA untuk memeriksa fasilitas senjata Irak sudah cukup. Resolusi itu juga meminta agar Irak segera menghentikan semua produksi senjata biologi dan kimia bila terbukti ada.

Tetapi pemerintahan George W. Bush bersikeras. Tanggal 20 Maret 2003, beberapa minggu setelah presentasi Powell di depan Dewan Keamanan PBB, Bush memerintahkan tembakan pertama ke pusat kota Baghdad.

Curveball dalam permainan baseball dikenal sebagai lemparan seorang pitcher yang kuat dan kencang dengan pelintiran ke arah bawah. Teknik ini akan menyebabkan bola berubah arah, tak mudah ditebak dan mengagetkan.

Itu jugalah yang dialami Powell beberapa saat setelah ia menyaksikan kedahsyatan serangan pasukan Amerika Serikat ke Irak. Semua informasi mengenai keberadaan senjata kimia dan laboratorium bergerak yang dimiliki Saddam Hussein, ternyata palsu.

Tak ada laboratorium bergerak yang tengah mempersiapkan senjata pemusnah massal. Bahkan sampai mayat Saddam Hussein yang tewas setelah dihukum gantung oleh pengadilan boneka Amerika Serikat  dikuburkan di kampung halamannya, Tikrit, tak satu senjata pemusnah massal pun yang ditemukan di Irak. Tak ada smoking gun.

Jenderal Colin Powell yang mantan Chairman of the Joint Chiefs of Staff alias panglima angkatan perang Amerika di era Perang Teluk 1991 pun membayar mahal informasi palsu itu. Bulan November 2004 dia mengundurkan diri dari jabatan Menlu. Beberapa pengamat menilai Powell hanyalah orang yang dikorbankan rezim Bush.

Rafid Ahmed Alwan

Tiga tahun setelah pengunduran diri Powell, November 2007, program investigasi di stasiun teve CBS, 60 Minutes, membeberkan jatidiri sang Curveball: Rafid Ahmed Alwan.

Seperti banyak orang Irak di masa itu, November 1999 Rafid Alwan meninggalkan negeri seribu satu malam. Ia menuju Jerman. Setelah tiba di Munich, Rafid Alwan yang mengaku seorang insinyur kimia meminta perlindungan politik dari pemerintah Jerman. Bukan karena alasan politik tapi karena dia didakwa melarikan uang negara dan menghadapi tuntutan penjara.

Rafid Alwan lalu dikirim ke pusat pengungsi di Zirndorf, dekat Nuremberg.

Setelah tiba di Zirndorf, Rafid Alwan mengubah ceritanya. Kali ini ia mengaku sebagai salah satu lulusan terbaik jurusan kimia sebuah universitas di Baghdad tahun 1994 serta pernah bekerja dengan ahli mikrobiologi Irak yang mendapat pendidikan di Inggris, Rihab Rashid Taha. Masih cerita Rafid Alwan, Rahib Taha lah yang memimpin proyek pembangunan laboratorium bergerak untuk memproduksi senjata pemusnah massal atau weapons of mass destruction.

Dinas rahasia Jerman, Bundesnachrichtendienst (BND), pun mulai mencatat baik-baik semua syair lagu yang dinyanyikan Rafid Alwan, baik lagu yang diminta untuk dinyanyikan maupun lagu yang dinyanyikan atas inisiatif Rafid Alwan sendiri. Rafid Alwan diperiksa BND antara Januari 2000 hingga September 2001.

Dinas rahasia  Amerika, Central Intelligence Agency (CIA) sebetulnya tak punya akses langsung kepada Rafid Alwan. BND hanya mengkomunikasikan pengakuan Rafid Alwan kepada dinas intelijen militer Amerika, atau Defense Intelligence Agency (DIA). Yang diberikan BND kepada DIA hanya analisa mereka terhadap pengakuan Rafid Alwan.

Namun begitulah, analisa BND yang kemudian diperoleh CIA, diolah sedemikian rupa, dan akhirnya disampaikan Powell di hadapan Dewan Keamanan PBB.

Belakangan mantan pejabat CIA, Tyler Drumheller, menyimpulkan Curveball hanyalah seseorang yang sekadaringin mencari selamat dengan jalan memperoleh green card atau izin tinggal di Jerman. Untuk mendapatkan keinginannya itu, dia akan melakukan apapun yang diinginkan BND. Termasuk mengakui hal-hal yang sebetulnya tidak dia ketahui.

Pekan lalu, reporter CNN di Jerman, Frederik Pleitgen, mewawancarai Rafid Alwan, sang Deep Throat gadungan.

Interview dilakukan di sebuah hotel di kawasan selatan Jerman selama lebih dari tiga jam. Rafid Alwan tampak tak tenang berbicara di depan kamera. Tadinya dia meminta agar pembicaraan itu tidak direkam.

“Dia membantah dirinya adalah pembelot dari Irak yang dijuluki Curveball.”

“Tak mudah memperoleh catatan detil darinya. Dia berbicara panjang lebar, seringkali berbunga-bunga ketika bercerita mengenai kejahatan Saddam. Dia berbicara dalam bahasa Arab, dan kami hari menunggu sampai semua jawabannya diterjemahkan.”

Ketika bertemu Pleitgen, Alwan membawa beberapa dokumen untuk membuktikan jatidirinya; sebuah sertifikat yang menyebutkan dia alumni jurusan teknik kimia dari Baghdad, juga kartu mahasiswa dari sebuah sekolah di Jerman.

Rafid Alwan membantah dirinya pernah berkata kepada BND bahwa Saddam Hussein sedang mempersiapkan senjata pemusnah massal.

“Itu urusan Collin Powell,” ujarnya singkat mengomentari pernyataan Powell di depan Dewan Keamanan PBB, Februari 2003, tentang laboratorium bergerak kimia milik Irak.

Selama tinggal di Jerman, sambung Rafid Alwan, dia tidak akan membicarakan dengan orang lain tentang apapun yang disampaikannya kepada BND.

“Tidak benar saya satu-satunya orang yang bicara tentang Irak. Masih banyak orang lain yang juga memberikan informasi mengenai Irak. Saat ini saya hanya berusaha melindungi anak saya. Mereka tengah melalui masa-masa yang sulit bersama saya.”

Ketika diinterview, Rafid Alwan tak datang sendirian. Dia ditemani oleh laki-laki yang diperkenalkan sebagai “Tuan Ali”. Selama wawancara berlangsung, Tuan Ali yang berdiri di belakang kursi Pleitgen menghadap Rafid Alwan kerap memberikan isyarat dengan tangan agar Rafid Alwan berhenti bicara.

Bila keterangan yang mengalir dari mulutnya begitu tak jelas dan berputar-putar, bagaimana mungkin BND dan CIA dapat mempercayai semua informasi yang disampaikan Rafid Alwan?

Kepada Pleitgen, seorang mantan pejabat BND, Norbert Juretzko, yang mengikuti kasus si Curveball ini juga mengkritik cara dinas intelijen Jerman memperlakukan Rafid Alwan dan informasi yang disampaikannya.

Norbert Juretzko yakin, kekisruhan ini terjadi karena BND begitu mengharapkan informasi berharga dari Rafid Alwan, sampai-sampai mereka tidak menyadari inkonsistensi dalam cerita yang disampaikan Rafid Alwan.

“Dia (Rafid Alwan) berada dalam tekanan BND yang sudah putus asa. Mereka telah memberinya uang, perlindungan, visa dan sebegainya, dan mengarapkan imbalan (informasi) yang pantas. Lantas, laki-laki ini mulai menggunakan imajinasinya untuk mendapatkan semua itu.”

Adapun Rafid Alwan, kini dengan ringan mengatakan dirinya bukan dan tidak pernah menjadi agen atau matamata untuk lembaga intelijen manapun di dunia.

“Saya tak pernah dibayar oleh siapapun.”

Begitulah. Perang Irak masih meninggalkan banyak misteri.

Yang sudah pasti: sampai saat ketika tulisan ini dibuat, menurut AntiWar setidaknya 1.273.378 orang Irak tewas dalam perang yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun itu. Sementara, sebanyak 4.185 tentara Amerika Serikat tewas, 3.388 diantaranya meregang nyawa dalam pertempuran. Selebihnya tewas dalam berbagai ledakan bom.

Adapun menurut National Priorities, perang ini telah menghabiskan uang Amerika Serikat sebesar lebih dari 536 miliar dolar AS.

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s