BIARKAN aku mengecupmu
dan kusisakan remah bibirmu seperti
kamboja yang lusuh, wahai bidara
Sebab kereta sebentar lagi tiba
dan mengantarmu pada pulau-pulau
di mana aku sendiri hanya bisa mengenalinya
dari mengigau
Biarkan aku mengenangmu
karena setiap kenangan yang bergurat
di lehermu
adalah peta-peta; sebuah ruang tunggu;
aku dan kau berada di situ
seperti rasa kekal
untuk saling mengenal,
berpagut, dan menyelami keheningan
dalam maut
Bila esok matahari tumpah
dan kulihat bekas telapak kakimu membercak
di pendapa
kusulutkan dian dari api birahiku
agar kau merasakan bara
yang membakar dalam dada
dan mengenang kembali segenap pertemuan
dengan dendam
Bila sajak-sajak kubaca dinihari
agar waktu mengerti
ada gelisah merayap di udara
ada yang patah dari cerlang cahaya
lalu tubuhmu yang berkabut
akan datang
dalam rupa cendawan
yang selalu melekat di bangku-bangku taman
dan menyapaku perlahan
“Apa yang kau harapkan dari sisa-sisa anjing”
Tapi siapa yang peduli
sebab nanti, ketika perahu menyeberang ke utara
segalanya akan berarti
di tanah tinggi, kuraih sukmaku kembali
dan membawanya di atas baki dengan kembang-kembang kuning,
bunga-bunga keagungan,
kesunyian
dan kusebarkan di atas segala pusara
Doaku akan melulur angsa
seperti putih yang kumal
seperti retak yang kekal
dan kusebut kerinduanku, bukan atas nama cinta
yang merah
Sebab, wajahmu yang bening, dengan puting-puting
yang legam telah memberiku tawaran
bahwa gairah hanya ada dalam kata-kata,
sebuah proses untuk mengungkapkan,
dan memberi arti pada ledakan-ledakan
dalam diri
Duh, bidara
Nduh, sayang….
apa yang lebih berarti dari pada impian
dan cinta
kecuali nisan tua, kamboja
dan bara pertemuan
Biarkan aku mengecupmu
dan melanggengkannya di ubun-ubun
waktu
tanpa pertanyaan-pertanyaan
tentang kekekalan, kesucian dan pembalasan
dendam
kasih sejatiku, kurelakan kau menjadi hantu
di pikiranku.
Intan,
(puisi ini kubuat kemarin malam)
Catatan: dikirim ke e-mail Teguh 24 Mei 2004