JADI ceritanya, saya lebih dahulu ke Timur Tengah: Syria dan Turkey antara Februari hingga Maret 2003. Lima tahun lalu.
Saya meninggalkan Suriah dua hari sebelum Presiden George W. Bush memerintahkan tembakan pertama ke pusat pertahanan Saddam Hussein di Baghdad yang menandai Perang Teluk 2003.
Pada hari ketika serangan pertama itu dilancarkan, saya dan beberapa teman di kantor menerbitkan koran edisi siang: Saddam News. Dicetak dalam jumlah terbatas dan hanya beredar di Jakarta. Koran ini habis laris manis.
Dan untuk selanjutnya, saya larut dengan berbagai berita seputar perang Irak.
Beberapa hari setelah serangan pertama AS ke pusat Baghdad, Kedubes Korea Utara di Jakarta menghubungi saya. Menurut mereka, Pyongyang sudah menyetujui aplikasi visa saya sejak bulan Februari, saat saya berada di Damaskus. Mereka berkali-kali menghubungi, tetapi tidak bisa dan baru belakangan tahu saya sedang di Timur Tengah.
“Jadi bagaimana, masih mau ke Pyongyang?” tanya sekretaris Dubes Korut, yang namanya juga Kim.
Kim yang satu ini fasih berbicara dalam bahasa Indonesia. Sebelum bertugas sebagai sekretaris Dubes Korut ia belajar khusus bahasa Indonesia di Universitas Bung Karno (UBK) beberapa tahun. Sekitar dua tahun lalu ia kembali ke Pyongyang.
Ditanya seperti ini, jelas jawaban saya hanya satu kata, “Siap.”
Perang di Irak masih berkecamuk. Tanda-tanda kekalahan Saddam dan pasukannya sudah mulai tampak, walau belum begitu jelas. Pasukan Amerika yang merengsek dari selatan, Basrah, telah mencapai tepi Baghdad, meninggalkan barisan mayat tentara Irak di belakangnya.
Setelah tanda-tanda kekalahan tampak semakin jelas — bandara Baghdad sudah jatuh ke tangan pasukan Amerika — kami mulai membicarakan what is the next.
Krisis nuklir di Korea Utara menjadi salah satu topik yang saya tawarkan. Awalnya, tak banyak yang setuju. Sampai pada suatu pagi beberapa hari kemudian, salah satu koran di Jakarta menurunkan headline tentang kemungkinan Amerika Serikat menyerang Korea Utara!
“Serius juga Korea Utara ini rupanya,” ujar pimpinan.
“Saya rasa begitu,” jawab saya.
“Baiklah. Anda boleh ke Korea Utara setelah Saddam benar-benar jatuh,” katanya memberi perintah.
“Siap,” kata saya lagi.
Maka demikianlah, di hari ke-21 pertempuran, 9 April 2003, kekalahan Saddam Hussein menjadi nyata. Pasukan Amerika merengsek masuk Baghdad. Patung Saddam Hussein di Taman Firdauz ditumbangkan. Rakyat Irak ikut merobohkan patung itu. Mereka yang tadinya mengelu-elu Saddam, kini ikut melempari simbol kekuasannya dengan batu.
Saya hanya dapat mengurut dada. Satu lagi wayang masuk kotak, dan sang dalang dengan ringan mengganti babak.
As for me, the show must go on, though. North Korea, here I come.
One thought on “Interlude, From Syria to North Korea”