Rakyat Tidak Makan Makro Ekonomi (Sulit Kalau Presiden Kepincut Cara Lama)

SEBELUM Presiden SBY mengumumkan tidak akan ada pergeseran posisi menteri, nama Rizal Ramli santer diisukan akan masuk Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) sebagai menkeu.

Akan tetapi, isu tersebut terbantahkan dengan pernyataan Presiden SBY yang tidak akan mengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani. Meski begitu, nama Rizal Ramli kembali diisukan sebagai figur yang tepat untuk masuk kabinet SBY-JK menduduki kursi Menko Perekonomian menggantikan Boediono jika ia terpilih menjadi Gubernur BI

Dikutip dari Harian Rakyat Merdeka. Judul asli: SBY-JK Gagal Menyejahterakan Rakyat. Rizal Ramli Beberkan Penilaian Kinerja Menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu.

Bagaimana tanggapannya soal isu tersebut? Bagaimana pula penilaiannya terhadap kinerja menteri-menteri ekonomi kabinet SBY-JK? Berikut penuturan Ri­zal Ramli yang juga Ketua Ko­mite Indonesia Bangkit saat ditemui Rakyat Merdeka di kedia­mannya di Jalan Bangka Jakarta kemarin

ANDA termasuk tokoh yang diusulkan Partai Demokrat untuk menempati pos menkeu atau menko ekonomi. Bagai­ma­na komentar Anda terkait usu­lan tersebut?
Sebe­tulnya yang paling pen­ting itu bukan sekadar orang dan ja­batan. Saya barangkali ter­ma­suk orang yang banyak ditawari ja­batan dari semenjak zamannya Pak Habibie dan pemerintahan-pemerintahan berikutnya. Yang paling penting itu garis­nya, mau dibawa ke mana eko­no­mi Indonesia? Apa ekonomi Indo­nesia ki­­ta ini hanya sekedar untuk me­nye­­nangkan orang asing atau ha­nya buat ngurusin kala­ngan elitnya saja.

Memang selama ini Anda melihatnya seperti apa?
Selama ini kami lihat garis ke­bijakan kebijakan pemerintah le­bih banyak diatur oleh kekuatan luar negeri walaupun tentu ba­nyak pejabat yang membantah­nya. Coba bayangkan, kita ini ter­masuk negara eksportir gas ter­besar di Asia Tenggara. Tapi, industri kita kesulitan gas padahal kalau kita pakai gas lingkungan akan bagus. Di India saja bajaj­nya pakai gas, di Singapura trans­por­tasi publik pakai gas, tapi kita justru kesulitan gas.

Kita eksportir batu bara, tapi PLN dan industri kesulitan untuk mendapatkan batu bara karena semua dijual ekspor. Kemudian minyak sawit, kita pro­d­usen terbesar di dunia setelah Ma­laysia, tapi rakyatnya kesuli­tan minyak goreng. Jadi, selama tidak ada keber­pi­hakan yang jelas pada kepenti­ngan nasional dan kepentingan rak­yat ba­nyak, kita hanya sibuk me­men­tingkan kepentingan du­nia inter­na­sional dan sebagian kecil elit.

Siapa kekuatan luar negeri yang Anda maksud?
Bank Dunia, IMF. Faktanya se­derhana, jumlah pejabat dan staf Bank Dunia di Indonesia tiga tahun terakhir tambah terus.

Memang banyak pejabat yang sibuk membantah, tapi garis kebi­jakan yang diambil memang gar­is kebijakan yang diatur Bank Dunia. Termasuk untuk mereka­ya­sa dan mengubah metodologi ten­tang kemiskinan dan pengang­guran, itukan konsultannya dari Bank Dunia juga. Jadi, yang terpenting adalah arah kebijakannya atau misinya.

Apakah kita bisa mandiri tanpa ketergantungan dari Bank Dunia dan IMF?
Oh sangat bisa. Banyak cara­nya. Negara ini kaya sekali, ba­nyak punya cawan emas, banyak hal yang bisa dilakukan. Bahkan jika kita memiliki visi yang jelas di setiap masalah pasti ada solusi­nya.

Saya beri contoh, saat ini pang­an naik, di satu sisi masalah, teta­pi di sisi lain itu kesempatan luar biasa untuk meningkatkan pro­duksi karena petani akan men­da­patkan pendapatan yang lebih ting­gi. Tapi, kebijakannya harus pro petani bukan pro impor. Misalnya, ada paket pangan Rp 1,2 triliun. Setelah dicek ternyata yang menarik manfaat yang paling besar Rp 800 miliar, adalah impor­tir produk pangan, bukan petani.

Artinya, Anda dan Komite Bang­kit Indonesia menilai peme­rin­tahan SBY-JK gagal?
Betul. SBY-JK gagal me­nyejah­terakan rakyat. Janjinya saja dulu, Pro growth (men­do­rong pertum­bu­han ekonomi) Pro job, (mencip­takan lapangan ker­ja) dan pro poor (mengurangi ke­miskinan). Hasil­nya, ‘Prosotan’ ter­utama soal lapa­ngan kerja dan kemiskinan.

Proses kemiskinan struktural le­bih ganas daripada program pe­ngentasan kemiskinan itu sendiri. Contoh ketidakmampuan peme­rintah mengendalikan harga-har­ga kebutuhan pokok, beras, mi­nyak goreng, kedelai, dan BBM. Ini membuat puluhan juta rakyat miskin makin miskin.

Apakah tidak ada keberha­si­lan SBY-JK?
Ada juga prestasinya, makro ekonomi terutama untuk kelas elit atau untuk orang-orang yang ba­nyak uang. Tetapi rakyat tidak makan makro-ekonomi.

Sebagai pakar ekonomi dan bekas menko perekonomian, apa Anda punya solusi?
Kami tidak hanya mendesak pe­merintah untuk meningkatkan ko­mitmen terhadap program anti ke­miskinan. Tapi, yang paling pen­ting adalah mengganti kebija­kan yang menimbulkan kemis­ki­nan.

Menurut Anda berapa lama jangka waktu untuk memper­bai­ki perekonomian kita?
Saya kira masih banyak hal yang perlu kita lakukan tetapi kalau pemerintah masih meng­ikuti garis kebijakan yang sangat kon­servatif dan konvensional se­perti selama ini, tidak akan ada per­baikan nasib rakyat. Bahkan akan menimbulkan masalah sosial politik, karena kalau rakyat lapar belum tentu SBY bertahan sampai tahun 2009.

Kalau saja pemerintah ada keberpihakan pada kepentingan nasional, apakah Anda berminat di pos yang diusulkan tersebut?
Saya kira mesti tanya dulu sa­ma Presiden, maunya apa. Inikan se­benarnya sudah diramalkan jauh hari sejak awal peme­rin­tahan SBY.

Sejak awal dinilai bahwa kabi­net­nya pada dasarnya terdiri dari ke­­lompok internasionalis yang akan memperjuangkan kepenti­ng­an internasional di Indonesia dan kelompok bisnis negatif yang ba­nyak memiliki konflik kepen­ti­ngan. Sejak awal sudah diramalkan dengan komposisi seperti itu pe­merintahan SBY tidak akan mam­pu menyenangkan hati rak­yat karena aliran berpikirnya itu aliran berpikir yang hanya dipe­nga­ruhi kelompok internasionalis dan kelompok bisnis negatif.

Lantas komposisi kabinet yang ideal itu seperti apa?
Dalam mandat pemilu jelas, rak­yat ingin perubahan, rakyat ingin mendapat pekerjaan, ingin su­­paya kebutuhan pokok ter­pe­nuhi.

Nah, kedua-duanya ini belum bisa terpenuhi karena jalannya masih jalan lama yang memang su­dah gagal membawa kesejah­teraan untuk mayoritas rakyat kita. Kedua, kalaupun ada orang-orangnya yang tidak punya ke­pentingan, tetapi mereka tidak me­miliki kemampuan kepemim­pinan di lapangan. Jadi jika jalan se­perti ini di­te­ruskan, ma­ka ini meru­pa­kan jalan ke arah ke­ga­galan se­cara politik dan secara ekonomi.

Menurut Anda apa­kah usu­lan atau ta­waran ini untuk mem­bung­kam pe­mi­ki­ran-pemikiran Anda yang kritis ter­hadap kebi­ja­kan pemerintah?
Saya kira, saya ini pernah ditawari ma­cam-macam. Sudah per­nah ditawari jadi menteri ini menteri itu, ditawari jadi Ketua BPK dan Du­bes Amerika oleh pe­merintah-peme­rintah yang lalu dan sebagainya. Tetapi buat kami, yang penting itu garisnya, rohnya, jiwanya, itu untuk kepentingan rakyat Indo­nesia atau tidak. Lain-lain itu soal teknis, solusinya banyak sekali.

Artinya masih mempertim­bang­kan posisi tersebut?
Seperti yang saya katakan tadi yang penting perubahan jalan lama yang dipraktikan pemerin­tah ini. Ini jalan pseudo Orde Baru, Orde Baru dalam bungkus ba­ru tapi tanpa kepemimpinan yang efektif.

Bukankah dengan pengala­man yang dimiliki, minimal An­da bisa mempengaruhi citra per­eko­nomian kita?
Belum tentu kalau pimpinan­nya sendiri sudah kepincut de­ngan ca­ra lama yang telah gagal. De­­ngan pikiran ortodok dari Bank Dunia ya… akan sulit.

2 Replies to “Rakyat Tidak Makan Makro Ekonomi (Sulit Kalau Presiden Kepincut Cara Lama)”

Leave a reply to teguhtimur Cancel reply