Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (8-Selesai)

DALAM soal perbatasan kita telah melengahkan pemetaan, pendirian beberapa mercu suar lagi, dan mengumumkan claim yang jelas dan rational mengenai batas-batas wilayah negara kita, terutama yang menyangkut wilayah di laut. Sudah saatnya pula lembaga inteligent kita mempunyai direktorat maritim.

Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita, disegenap bidang, mencakup pengertian “Tanah Air”, dan tidak sekedar “Tanah” saja.

Baca sebelumnya:
Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (7)
Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (6)
Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (5)
Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (4)
Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (3)
Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (2)
Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (1)

Pelabuhan-pelabuhan pun harus segera ditata sebagai “Negara Pelabuhan” yang dipimpin oleh “Syahbandar” yang berijasah international. Kemudian segera pula dicatatkan di PBB. Tanpa semua itu, maka negara kita tidak diakui punya pelabuhan, melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka!

Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara untuk pertama kalinya diproklamasikan oleh Baron Van Der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Nederlans Indie, dan sifat kedaulatannya negara maritim dengan batas-batas dan mercusuar-mercusuar yang jelas petanya.

Jadi Van Der Capllen tidak sekedar mengandalkan kekuatan angkatan laut untuk merpersatukan Nusantara, melainkan, alat politik untuk meyatukan Nusantara adalah tata hukum dan ketatanegaraan maritim.

Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan menteri luar negari Mochtar Kusumaatmaja, yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia Internasional, sehingga diakui oleh Unclos dan PBB. Tetapi kita harus tanpa lengah meneruskan perjuangan itu sehingga kita mampu mengimplementasikan semua peraturan kelautan internasional yang telah kita ratifikasi.

Perlu disayangkan bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijasah internasional untuk syahbandar dan nahkoda, belum juga mendapatkan ijin dari Departement Pendidikan Nasional. Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu tidak patriotic dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.

Tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan yang sableng seperti tersebut di atas itulah yang mendorong lahirnya “Kalatida” dan “Kalabendu” di negara kita.

Menurut penyair Ranggawarsita kita harus bersikap waspada, tidak mengkompromikan akal sehal. Dan juga harus sabar tawakal. Adapun “Kalasuba” pasti datang bersama dengan ratu adil.

Dalam hal ini saya agak berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya “Kalasuba”. Pertama, “Kalasuba” pasti akan tiba karena dalam setiap chaos secara “build-in” ada potensi untuk kestabilan dan keteraturan. Tetapi kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan kedaulatan manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan manusia secara jasmani, sosial, rohani, intelektual dan budaya. Dalam sejarah kita mengenal kenyataan, bahwa setelah chaos Revolusi Perancis, lahirlah kestabilan pemerintahan Napoleon yang bersifat diktator. Tentu masih banyak lagi contoh semacam itu di tempat lain dan di saat lain.

Kedua, harus ada usaha kita yang lain, tidak sekedar sabar dan tawakal. Tetapi toh kita tidak menghendaki “Kalasuba” yang dikuasai oleh diktator. Tidak pula yang dikuasai oleh kekuasaan asing seperti di Timor Leste. Oleh karena itu kita harus aktif memperkembangkan usaha untuk mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan sehingga menjadi lebih baik untuk daya hidup dan daya cipta bangsa.

Ketiga, situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya Ratu Adil, tetapi tergantung pada Hukum yang Adil, Mandiri, dan Terkawal.

Wassalam,

RENDRA
Cipayung Jaya, Depok
Hotel Quality, Jogya

3 Replies to “Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (8-Selesai)”

  1. Harus disadari bahwa pada akhirnya yang diinginkan sebetulnya adalah pemimpin yang amanah. Tidak soal apakah pemimpin tersebut bersifat tangan besi ataupun demokrat sejati.

    Ranggawarsita ketika menyebutkan “kalasuba” pun saya rasa tidak bisa lepas dari jaman yang mengungkunginya. Memandang pemimpin dalam konteks kejawaan-kerajaan yang kurang lebih elitis. Tidak dalam kacamata “pembebasan” yang sesungguhnya. Sementara, kekinian kita menganggap hal tersebut sebagai tatanan demokratis yang stabil dan kreatif.

    Dalam Penjelasan UUD 1945, kebutuhan atas pemimpin yang amanah pun dipertegas dengan menyatakan (kurang-lebih) “undang-undang ini bagaimanapun juga tergantung pada penyelenggara negaranya”. Artinya setiap masa selalu ada pengakuan bahwa produk hukum tidak-bisa-tidak selalu bergantung pada konteks masa. Kelemahan inilah yang ditutupi oleh pemimpin yang amanah.

    Dus, kalasuba memang bisa multi tafsir bila dihubungkan masa. Satu hal yang utama, who’s care about democracy? Sepanjang masih ada satu pemimpin amanah yang bisa menjamin kemakmuran seluruh rakyat, cukuplah.

Leave a reply to c_widodo Cancel reply