Imad Mughniyeh, Martir Ketiga dalam Keluarga

NADER KATI menyambut saya dengan pandangan curiga. Mulutnya terkunci rapat. Sikapnya baru mencair setelah teman yang membawa saya ke markas Hizbullah di tepi kota Damaskus, Syria, memperkenalkan diri saya.

“Ini saudara kita,” kata teman saya itu.

Air muka Nader lalu berubah lebih ramah. Ia menjawab salam saya sambil mengajak kami ke ruang kerjanya di ujung lorong. Sebuah ruangan lain di markas itu berisi berderet-deret buku berbahasa Arab, juga kaset-kaset lagu perjuangan Hizbullah dan video tape yang merekam perjuangan Hizbullah menghadapi Israel di Lebanon.

Tulisan ini juga dimuat di myRMnews.

Dinding di markas itu dipenuhi berbagai foto. Mulai dari foto pemimpin Hizbullah Sayyed Hassan Nasrullah, sampai foto beberapa pemuda yang memilih mati syahid sebagai martir.

Di atas meja kerja Nader saya juga melihat foto seorang pemuda. Kata Nader itu foto anaknya yang memilih jalan syahid dalam perjuangan menghadapi penjajahan Israel di tanah Palestina. Nader yakin banyak pemuda Islam yang bersedia mengorbankan diri sampai penjajahan Zionis atas tanah orang Islam berhenti.

“Perlawanan kami,” katanya, “adalah buah dari penindasan mereka.”

Markas Hizbullah ini biasa saja. Ia terletak di bagian dalam sebuah kompleks pertokoan di tengah pemukiman yang tak jauh dari makam cucu Nabi Muhammad, Sayyedah Zaenab. Karena makam itu pula, daerah ini dikenal dengan sebutan Sayyedah Zaenab.

Ketika itu bulan Maret 2003. Saya singgah di Damaskus untuk mengamati keadaan Timur Tengah yang tengah bersiap menyambut perang besar di Irak.

Nader tersenyum setelah tahu maksud kunjungan saya ke Damaskus.

“Anda tengah berbicara tentang perang yang belum terjadi. Tapi lihatlah perang yang sudah terjadi ini,” kata Nader. Maksudnya pembantaian orang-orang Palestina yang dilakukan pasukan Israel.

Perang yang akan tiba di Irak, Nader berharap, akan menjadi awal kehancuran Amerika. Dia percaya, setelah Irak, Amerika dan sekutunya akan menyerang Iran, lalu Syria. Dan setelah itu Hizbullah yang punya markas besar di Lebanon.

“Kami sesungguhnya menunggu mereka. Perang besar sebentar lagi akan terjadi. Amerika kira, mereka yang menentukan apapun di dunia ini. Allah lah yang telah menentukan apa yang akan terjadi diantara umatnya,” ujar Nader sekali lagi.

Saya teringat pertemuan dengan Nader dan kunjungan saya ke markas Hizbullah ketika membaca berita ledakan bom mobil yang menewaskan Imad Mughniyeh, salah seorang komandan lapangan Hizbullah, Selasa malam (12/2) waktu Syria. Saya tak pernah bertemu dengannya. Tetapi sering saya mencoba memahami jalan pikiran orang-orang seperti Mughniyeh.

Seperti kata Nader, “Perlawanan kami adalah buah dari penindasan mereka,” dan “banyak pemuda Islam yang bersedia mengorbankan diri sampai penjajahan yang dilakukan Zionis atas tanah orang-orang Islam berhenti.”

Mughniyeh bukan satu-satunya martir yang memilih syahid dalam keluarganya. Jihad dan Fouad Mughniyeh adalah dua saudara Imad Mughniyeh yang lebih dahulu menemui ajal sebagai martir. Ketiganya adalah anak-anak Fayez Mughniyeh.

“Jalan martir telah mempertemukan mereka,” tulis situs Hizbullah.

Ketika tewas dalam sebuah pertempuran di Bir El Abed, bulan Juni 1984, Jihad baru berusia 28 tahun. Sepuluh tahun kemudian, Desember 1994, giliran Fouad yang tewas di Sfeir, sebelah selatan Beirut. Usianya baru 31 tahun ketika sebuah bom mobil meledak. Bom yang merengut nyawa Fouad itu sebenarnya ditujukan untuk membunuh Imad Mughniyeh.

Adalah Ahmad Hallak, seorang agen Mossad yang belakangan diketahui memasang bom itu. Setelah kematian Fouad, Ahmad Hallak sang pengkhianat melarikan diri ke Filipina, lalu ke Israel dan menetap di tanah Palestina yang dijajah Israel sejak tahun 1996. Situs Hizbullah juga menyebutkan intelijen militer Lebanon yang bekerjasama dengan pasukan pembela Islam telah mengeksekusi Ahmad Hallak.

“14 tahun kemudian pemimpin Hizbullah Haji Imad Mughniyeh bersatu kembali dengan dua saudaranya setelah melewati hidup yang penuh dengan heroisme dalam menghadapi Israel dan sekutunya.”

Menyusul kematian Imad Mughniyeh, seorang ulama Islam di Lebanon, Syeikh Afif Nabulsi, mengatakan bahwa kematian Imad Mughniyeh—yang oleh Barat disebut sebagai teroris paling kejam—adalah sebuah kehilangan yang besar.

Tetapi kehilangan itu, tambahnya, “memberikan momentum yang luar biasa bagi kelompok pejuang Islam untuk melanjutkan jalan jihad.”

5 Replies to “Imad Mughniyeh, Martir Ketiga dalam Keluarga”

Leave a comment