CAROLYN Stephenson berdiri di muka pintu ruang kerjanya, Saunders 604. “What can I do for you?” kalimat pertama meluncur dari mulut Carolyn begitu pintu ruang kerjanya terbuka sempurna. Saya tak segera merespon pertanyaan itu, masih kaget dengan view yang terpampang di belakangnya: tumpukan makalah dan buku yang berdiri gagah bagai tembok China yang dibangun untuk menahan serbuan orang-orang Mongol ratusan tahun lalu.
Dari sekian ruang kerja profesor yang pernah saya masuki, baru di ruangan Carolyn lah saya melihat tumpukan kertas dalam skala yang luar biasa seperti itu. Apa saja yang ada di situ?
Setelah satu dua detik terpukau dengan tembok kertas itu, barulah saya buka mulut memperkenalkan diri. “I am thinking to take your conflict resolution class…”
Belum selesai kalimat itu, Carolyn memotong dengan nada heran, “You are thinking of it?”
Dia pantas bertanya. Saya tahu, kalimat saya tentulah salah konteks. Bukankah perkuliahan sudah dimulai sejak minggu lalu, dan nama saya belum juga terdaftar di kelas POLS 633 International Conflict Resolution. Repotnya lagi karena menunda keberangkatan dari Jakarta ke Hawaii saya terpaksa melewatkan pertemuan pertama.
“I know, I am late. But Prof, saya sudah kirim e-mail kepada Anda sejak bulan Desember lalu. Saya coba register di kelas Anda, dan ada ‘konflik waktu’ dengan kelas Prof. Chadwick.”
“OK, let’s see what can we do for you,” katanya sambil menyerahkan selembar questioner yang diambilnya dari salah satu tumpukan kertas di belakangnya. “Anda isi dulu questioner ini, nanti kita lihat apakah masih ada kursi untuk Anda. Karena mahasiswa saya di kelas ini sudah 15 orang, saya khawatir terlalu banyak, dan perkuliahan jadi tidak optimal.”
Carolyn lalu menunjuk sebuah pintu berwarna merah tak jauh dari ruang kerjanya: Saunders 641. “Itu ruang kuliah kita. 20 menit lagi kuliah dimulai. I’ll see you in class,” Ia menutup pintu kamar kerjanya dan menghilang bersama tembok China dari kertas itu.
Carolyn mendapatkan PhD nya dari Ohio State University tahun 1980. Sebelum bergabung dengan t University of Hawaii lima tahun kemudian, dia memimpin Peace Studies di Colgate University, dan di saat bersamaan menjadi Scholar-in-Residence di Radcliffe University.
Selain mengajar conflict resolution, Carolyn yang pernah bekerja sebagai konsultan resolusi konflik di PBB juga mengajar gender, populasi dan lingkungan hidup. Di website resmi Political Science of the UH disebutkan Carolyn memiliki perhatian kuat pada alternative international security systems, termasuk mediation, sanctions, nonviolent action, and peacekeeping. Juga non-governmental organizations and United Nations conference diplomacy in the areas of environment, women, and disarmament, selain tentu saja gender, conflict and conflict resolution.
Tak lama di ruang kelas, Carolyn kembali meminta agar semua mahasiswanya memperkenalkan diri. Katanya, dia perlu memastikan siapa saja yang tetap bertahan di kelasnya. Dan karena saya the new kid on the block, maka saya mendapatkan giliran terakhir. Teman-teman satu kelas saya kali ini lebih beragam dari kelas-kelas yang sebelumnya saya ambil: POLS 600 Political Method dan POLS 610 State Theory.
Di kelas kali ini ada dua orang anggota Angkatan Darat Amerika Serikat, seorang perempuan bule dan seorang laki-laki keturunan, kalau bukan Korea, China. Kelihatannya keturunan China. Juga ada seorang perempuan dari Serbia yang pernah bekerja untuk PBB dan aktivis perdamaian di negaranya. Bahu kirinya bertato naga yang didominasi warna merah, memanjang dari belakang pundaknya ke dada.
Bila wanita ini, yang saya belum ingat siapa namanya, hidup di Indonesia era 1980-an, pastilah dia sudah lewat dibantai penembak misterius alias petrus. Karena ketika itu di Indonesia tato identik dengan gali dan bromocorah. Sampai kini pun, di Indonesia tato masih identik dengan hidup keras ala preman, walau beberapa kalangan sudah menggunakan tato sebagai unsur estetika yang melekat di tubuh mereka. Saya sendiri suatu kali di Bali pernah bikin tato temporer bermotif cicak di tangan kanan saya. Sementara di berbagai pemukiman masyarakat lokal seperti di pedalaman Kalimantan, Sulawesi dan Papua, tato adalah pelambang status sosial. Begitu juga bagi masyarakat lokal di Polynesia.
Lalu dua orang teman bule dari kelas POLS 600 juga bersama saya di kelas Carolyn ini. Juga seorang perempuan India yang pernah satu pesawat dalam perjalan ke Taipei bulan Desember lalu. Di belakang saya duduk seorang perempuan dari Samoa, tetangga Hawaii di Polynesia. Tak tampak tato di tubuhnya. Ada seorang teman dari Afrika yang juga pernah satu kelas di POLS 600, yang kalau bicara dengan nada suara rendah. Juga ada seorang keturunan, kalau bukan Korea, China, yang mengaku bekerja untuk pemerintah Amerika Serikat.
Ketika sampai giliran saya, Carolyn bertanya, mengapa saya mengambil kelas ini.
“I am taking this class since I realize that I live in a country and a world full of conflicts. I have been working as journalist for years and have visited several countries full of conflicts,” kata saya sambil menyebut beberapa negara yang pernah saya kunjungi. Tak semuanya sungguh-sungguh full of conflicts. Setidaknya bukan konflik seperti yang dibayangkan banyak orang: civil war and ethnic cleansing sampai invasion by any reason. Siapa bilang, misalnya, di Singapura atau Uni Emirat Arab yang bagai hutan beton di padang pasir itu tidak ada konlik? So, conflicts are everywhere. Indeed it lies deep inside human’s mind.
Selesai dengan sesi perkenalan, Carolyn memulai kuliahnya. Seorang mahasiswa yang terlihat lebih senior berbicara tentang sebuah term yang baru dikenalnya: fightaholic. Idiom yang merujuk pada orang atau kelompok orang yang keranjingan fight. Seakan hidup tak ada artinya tanpa perang dan perang.
Seorang mahasiswa mengajukan pertanyaan tentang distinction between peace keeping, peace making dan peace enforcement.
Kata Carolyn, peace keeping ditujukan untuk melindungi human rights. Tidak hanya itu pada kasus-kasus terakhir peace keeping juga diikuti dengan penciptaan pranata politik demokratis, seperti pemilu. Dia mencontohkan East Timor setelah lepas dari Indonesia di tahun 1999. UNTAET, pemerintahan administratif PBB di Timor Timur juga bertugas mengawal republik muda itu hingga pemilihan umum digelar.
Sementara peace making adalah aksi yang dilakukan di saat tidak ada perdamaian di sebuah teritori, bisa negara atau sebuah lokalitas di dalam negara. Peace making umumnya dilakukan lewat jalan mediasi yang melibatkan pihak ketiga. Dan bila dipandang perlu, diikuti dengan deployment tentara untuk tugas menghentikan aksi saling serang antara pihak-pihak yang bertikai.
Adapun peace enforcement dipergunakan untuk memaksakan perdamaian berdasarkan konvensi yang telah disetujui oleh para pihak, baik pihak yang bertikai maupun pihak yang memediasi perdamaian, atau pihak ketiga lainnya yang “berwenang” memaksakan perdamaian: PBB.
Peace enforcement didasarkan pada doktrin bahwa a collective security action is needed to be have done in a conflict area. Deploying troops in a huge size doesn’t mean to start a new war—that is taken for granted as a bad thing, thus is needed to be avoided.
Peace enforcement, kata Carolyn lagi, didasarkan pada pasal 41 dan 42 Piagam PBB. PBB melalui Dewan Keamanan dapat memberikan sanksi ekonomi, seperti boycott, embargo, sampai pembekuan rekening di bank-bank asing, kepada sebuah negara yang dinilai membahayakan komunitas internasional. Dan kalau masih membandel, PBB dapat menjatuhkan sanksi militer.
Sejauh ini penjelasan Carolyn masih taat pada asas legal-formal. Dia masih mengabaikan factor non legal-formal, yakni kepentingan yang abadi, yang dalam kenyataan sehari-hari lebih banyak memainkan peran utama. Ia lantas mencontohkan tiga perang besar: Perang Korea 1950-1953, Perang Irak 1991 dan Perang Irak 2003 untuk menggambarkan berbagai aplikasi dari pendekatan collective security ini.
Rusia, satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang punya hak veto, memboikot pemungutan suara mengenai sanksi yang akan dijatuhkan PBB kepada Korea Utara. Bukan semata-mata karena Rusia punya kepentingan mem-back up Korea Utara agar dominasi Amerika Serikat tak meluas di Asia Timur. Alasan formal yang diajukan Rusia saat itu adalah keberatan mereka atas sikap PBB yang tidak mengakui “China baru” yakni People Republic of China yang dikenal sekarang, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebaliknya tetap mempertahankan “China lama” yakni Republik of China alias Taiwan, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan.
Rusia memboikot pemungutan suara, kata Carolyn. Bukan memveto, sehingga keputusan PBB mengambil aksi militer terhadap Korea Utara dipandang utuh. Kalau saja Rusia memveto keputusan itu, pastilah Perang Korea dapat dihindarkan. Begitu menurut Carolyn.
Lalu Perang Irak 1991. Itu adalah aksi keamanan bersama yang legal dan authorized by the UN. Tidak ada keraguan akan hal itu. Terlepas bahwa kepentingan Amerika Serikat dan Inggris berada di belakangnya. Rusia dan “China baru” yang telah diakui pun tak melakukan veto. Begitu juga Perancis.
Persoalan menjadi lain di arena Perang Irak 2003. Jelas perang itu tidak direstui oleh PBB dan komunitas internasional di luar blok NATO. Pertanyaannya, mengapa Rusia, China dan Perancis akirnya berdiam diri? Nah, menurut Carolyn, ketiga negara itu terpaksa berdiam diri, kalau tidak sebagai konsekuensi logis mereka harus menempatkan pasukan mereka di Irak untuk mencegah Amerika dan Inggris berikut sekutu mereka menyerang Irak for whatever reasons. Bila itu yang terjadi, maka perang dunia ketiga akan sungguh terjadi.
Well, bukan keterangan dan penjelasan yang memuaskan. Terlalu simplistic dan legal formal.
Lalu saya bertanya. “Bagaimana kalau hak veto dihapuskan? Sehingga semua negara di Dewan Keamanan PBB punya hak yang setara, dan keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak?”
“Bagaimana kita melakukannya? Hal mengenai hak veto juga diatur dalam Piagam PBB yang ditulis oleh kelima negara yang menang dalam perang dunia kedua, dan piagam itu hanya dapat diamandemen oleh kelima negara itu. Sulit membayangkan mereka mau menghilangkan hak veto yang membuat mereka jadi begitu berkuasa.”
Selain wacana menghapuskan hak veto, lanjut Carolyn, belakangan juga berkembang ide untuk menambah anggota tetap Dewan Keamanan. Tetapi gagasan ini pun akan melahirkan dilema baru. India adalah negara yang paling getol memaksakan gagasan itu. India punya alasan kuat. Negara itu kini terbilang kuat dari sisi teknologi dan ekonomi. Belum lagi wilayahnya luas dan penduduk yang juga amat besar mendekati angka satu triliun. Tetapi apa yang akan terjadi bila India mendapatkan hak sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Tanya Carolyn.
Belum ada yang menjawab pertanyaan itu, dia melanjutkan kalimatnya. “Pakistan juga akan meminta hak serupa. Diikuti negara-negara berukuran besar lain, seperti Argentina, dan seterusnya. (She didn’t mention Indonesia.) Keadaan akan semakin tak terkendali. Malah berpeluang melahirkan konflik baru dalam ukuran yang jauh lebih besar.”
“Jadi menurut saya, tidak akan ada yang berubah di PBB,” ia menutup penjelasannya soal “pis-pisan” ini.