“Mana Ayah? Bunda Bohongkan…”

Pulang kampung.

Farah menangis. Hanya air matanya yang mengalir satu-satu; tak ada suara keluar dari mulutnya yang tertutup rapat itu. Menyambut pelukanku pun ia ragu-ragu. Berkali-kali ia memandang wajah istriku yang berdiri di sampingnya, sebelum menenggelamkan wajahnya ke leherku, sementara aku mencium pipi dan rambutnya, lalu menggendongnya.

Anak kami itu, menurut istriku, tadinya tak percaya aku akan pulang hari itu, Selasa, 17 Desember 2007. Di Cengkareng, sambil memperhatikan adiknya, Timur” berlari-lari, dia kerap berkata pada istriku, “Mana Ayah? Bunda bohongkan…”

Memang ini kepulangan yang nyaris tak direncanakan. Jauh hari sebelumnya aku telah menjadwalkan pulang di bulan Mei 2008. Dan Farah pun sudah tahu itu. Seringkali ia bangun di pagi hari, sambil “memasang tanduk” dari tangannya dan berkata “Mei, Mei, Mei…” berulang-ulang. Sementara mulutnya manyun cemberut.

Aku dan Farah memang sering bermain tanduk-tandukan. Termasuk setelah aku jauh dari keluargaku. Aku suka “menanduknya” lewat webcame, dan kalau sudah begini dia akan membalas tandukan itu. Atau terkadang, dia akan menekan cuping hidungnya ke atas, mengejekku.

Begitulah. Setelah tenggelam dalam gendonganku, barulah putri kami yang bulan Maret nanti akan merayakan ulang tahunnya yang keempat, menangis sesegukan. Tangannya yang mungil memeluk erat bahuku. Wajahnya kemudian dipalingkan di atas bahuku. Malu-malu ia menatap wajahku.

Sesaat kemudian, baru aku mencari dimana Timur, laki-laki bungsu kami yang kini sudah bisa berlari dengan langkah gontai. Timur berdiri tak jauh dari kakaknya. Ia tenang-tenang saja sambil mengawasi aku yang agak gondrong, dan tentulah asing di matanya. Timur barangkali tidak merasa kehilangan diriku. Waktu aku meninggalkan tanah air enam bulan lalu, dia belum lagi berusia setahun.

Lelah yang tadi aku rasakan; belasan jam menempuh jarak Honolulu-Tokyo-Taipei-Jakarta plus nginap satu malam di Taipei, mendadak hilang. Dua permata hati ini adalah obat segala obat yang mujarab untuk semua lelah itu.

***

Tak banyak yang akan aku lakukan di tanah air selama libur ini. Sebagian besar waktuku akan aku gunakan untuk bercengkerama dengan keluargaku, istri dan anak-anakku. Sesuatu yang sulit aku lakukan ketika aku masih aktif bekerja. Bayangkan, di masa itu nyaris aku tak punya waktu untuk keluarga. Kisah seperti ini–tentang seorang kepala keluarga yang pergi pagi dan pulang tengah malam–memang bukan cerita baru. Tapi begitulah, aku mengalaminya.

Sebagian lainnya akan aku gunakan untuk setor muka ke kantor serta bekumpul dengan teman-teman. Beberapa hari lalu aku bertemu dengan beberapa teman alumni Unpad. Lalu belanja beberapa buku di toko Gramedia yang baru relaunched. Atau kemarin, misalnya, Adhie Massardie mengundangku hadir pada diskusi bertema “Melawan Serangan Balik Koruptor” di Hotel Sultan (d/h Hilton). Sebagian lainnya akan aku pakai untuk membicarakan rencana kegiatan Permias Hawaii tahun 2008.

Catatan ini aku akhiri di sini. Seorang teman mengundangku ke rumahnya untuk merayakan pergantian malam tahun baru. Aku akan datang ke sana untuk sekadar setor muka. Setelah itu aku akan segera pulang. Istri dan ipar-iparku telah menyiapkan acara bakar ikan. Hm.. yummy.

5 Replies to ““Mana Ayah? Bunda Bohongkan…””

  1. Kepulangan mas teguh yang selalu ditunggu, selalu saja bikin terenyuh. Kata salah seorang wartawan senior, “salah sendiri punya suami dengan wartawan..” Ya, meski pulang, tetap saja tak tahan di rumah…. sesekali nongkrong di TIM, sambil kangen2an, foto2… kekekeke

  2. Assalamu ‘Alaikum.
    Terharu juga baca tulisan kepulangan Abang.
    sampai kapan di indonesia?
    Gimana keadaan kawan-kawan di hawaii Bang?
    Maaf ya baru bisa kontak,

    Your student,

    Mursyid Djawas

Leave a reply to BARRY Cancel reply