Kejujuran, Jangan Dibeli di Gramedia (Kisah Afifa dan Lukisannya)

Ini sebuah kisah kecil, yang mungkin tidak ada hubungannya dengan nama-nama besar yang sudah terpampang di belantara bisnis media. Anak kami si kecil Afifa memiliki kesukaan yang teramat sangat pada dunia menggambar. Usianya menjelang 9, ia kelas 3 Sekolah Dasar. Meskipun belum banyak lomba yang ia jajal, beberapa koleksi pialanya sudah menyertai bakatnya dalam kompetisi. Kalau ia menang bertanding, sukacitanya bukan alang kepalang. Seperti anak kebanyakan mungkin, terkadang piala yang ia raih dibawanya tidur dalam dekapan.

Catatan Teguh:
Tulisan ini saya muat atas izin sang penulis, R. Dijan Subromo, seminggu lalu. Semoga kita semua, saya dan Anda dapat belajar banyak dari kisah ini… Kepada Bung Dijan Subromo, terima kasih atas izinnya.

Kami juga mendukung apa saja yang ia ingin dari dunianya itu, sebatas kemampuan kami tentunya. Sesekali ia belajar proses kreatif di bengkel mahasiswa ITB di bilangan Dago, Bandung. Beberapa rekan seniman perupa juga sukacita pula mengajarkan bagaimana memberi warna yang indah pada bentukan-bentukan. Acara-acara itu tentu melindas berbagai agenda kesibukan orangtuanya yang bagi dia sudah menjadi ongkos yang wajar dari kami, yang selalu saja ‘harus’ memberi dukungan (meski terasa basa-basi) di saat kami diwajibkannya menanggalkan perkara-perkara penting lainnya.

Sampailah pekan lalu, saat disodorkan pengumuman lomba mewarna di HUT Gramedia. Sebuah selebaran di took besarnya di Jl. Merdeka Bandung merujuk berbagai mata-acara pamer dan lomba yang dipusatkan di Sabuga-ITB. Tak kurang Afifa, jauh hari telah menyiapkan senjata-senjatanya menuju lomba yang
berlangsung hari Ahad, (2/12). Ia sudah berpesan jauh hari jangan sampai terlambat mendaftar. Atau lupa, dengan ancaman “awas!”. Tidak ada yang meleset sampai titik akhir menjelang lomba. Tapi uniknya, lomba ini harus diwarnai dengan ancaman, “dilarang menggunakan senjata-senjata (peralatan menggambar) yang berbekal dari rumah”. Keputusan yang terkesan ambigu. Krayon harus dari panitia. Dan ini diulangi berulangkali oleh tenaga-tenaga event yang kelihatan sangat profesional dalam menangani lomba.

Kesalahan pertama mulai terlihat. Lomba mewarnai, dibagikan kertas ‘lomba menggambar’ pada kelompok umur anak kami. Keruan saja para orangtua protes, dan lolos. Kertas bergambar tersedia, namun boleh dilakukan inovasi di luar gambar itu dengan ‘senjata’ pensil hitam saja. Semua bentuk pewarna dari rumah dilarang dipakai. Dan, tibalah pelaksanaan lomba yang memakan waktu sekitar 1.5 jam. Karena anak kami melarang “Ayah/Ibu melihat aku bertanding”, kami membuat acara lain dengan si Kecil, adiknya di luar arena.

Tak dinyana, lomba berlangsung kurang terkendali, mengingat para orangtua terbelah dalam cara mendukung anaknya. Kelompok pertama, membolehkan anak berbuat curang dengan mengendalikan “senjata-senjata” dari rumah, yang tentu saja bisa nampak lebih berwarna dan cemerlang hasilnya. Kelompok kedua adalah mereka yang taat azas menggunakan krayon, maaf, yang memang kurang berkualitas yang dibagikan dan sesuai dengan ketentuan panitia.

Singkat cerita, lomba yang kurang rapi ini diumumkan dengan pemenang pilihan dewan juri terhormat itu, hampir keseluruhan oleh mereka yang memanfaatkan pewarnaan campuran berbekal dari rumah masing-masing. Anak-anak kami yang mewarnai dari sebuah wadah kecil krayon yang kurang jelas hijau-kuningnya itu pun keok dalam pertempuran yang kurang adil.

Sampai akhir pengumuman para orangtua memprotes keras panitia yang, lagi-lagi mengharapkan kami maklum dengan aturan yang tidak fair ini. Atas nama orang dewasa yang melek, dan dibalut oleh profesionalitas nama-nama besar, kami pun protes atas demonstrasi keteledoran itu. Dibanding melihat marahnya sejumlah orangtua yang nyaris tak terkendali terhadap panitia, kami mengamati Afifa.

Gadis kecil ini terpukul sekali. Setengah berseloroh ibunya mengujinya dengan pertanyaan, ‘kenapa Afifa tidak memakai krayon dari rumah seperti rekan
lainnya’. “Kan sudah ada peraturannya. Lagian, Ayah berpesan, bukan kalah menang, tapi ikuti aturannya”, katanya kelu. Ibunya meradang dan mendatangi panitia. Ia protes dengan nada dingin, “Coba jelaskan kepada anak saya, di mana kejujuran itu? Atau beritahu kami bagaimana menjelaskan hal itu..”.

Sudahlah. Saya membujuk dengan nada berbeda. Afifa, Ayah juga kecewa hari ini seperti kamu. Tapi buat Ayah menjadi tidak penting memenangkan lomba dengan cara yang tidak jujur. Tidak peduli siapa dan bagaimana pun bagusnya rivalmu, Ayah hari ini menganggap kamulah salah satu penerima Piala Kejujuran, yang sayangnya, tak ada dalam deretan piala-piala kecil di meja panitia itu. Kamu paham dan bisa menerima kekalahan ini, bukan? Ayah tetap bangga sama kamu Nak.

Ia mengangguk, tapi saya tahu, ia sama sama sekali menyesali ketakbecusan orang dewasa mendemonstrasikan peraturan. Anggukan yang menyembunyikan pengingkaran.

Sampai sore hari, wajah kuyu Juara pilihan kami ini ogah berpisah. Muka murungnya menandakan kekecewaan yang sangat. Baju-baju pengganti, barang-barang bekas lomba, meja dan peralatan yang berserak itu menemani tidurnya yang galau. Kasihan sekali kau Nak, berada dalam sebuah kompetisi yang ganjil. Mempertaruhkan reputasi, dan memperlihatkan kontras — dari sederet ‘bahan-ajar kebajikan’ yang kau terima di rumah, atau bahkan yang diperjualbelikan dengan gagah di rak-rak toko buku itu.

Kami memahami betapa kecewanya hati si Kecil karena membayangkan akan bertarung dengan adil dan bila ia lebih gemilang, bukan tak mungkin koleksi pialanya bertambah. Sudah sepekan ia mempersiapkan diri dengan baik, mungkin lebih keras dari cara belajarnya menghadapi ulangan umum sekolah. Sesekali ia membayangkan keyakinannya akan kemenangan. Kalau aku juara seperti kemaren, aku akan mengambil sebagian untuk ini dan itu, gumamnya..

Saat tulisan ini dibuat, dia sudah tidur setelah menyuap makan malam yang ogah-ogahan. Baiklah, saya berjanji, untuk mengobati hati yang rawan ini sebuah kejutan harus diadakan. Oya, mungkin ketika hari ulangtahunnya ke-9, tanggal 7 Desember nanti, sebuah piala kecil bergrafir “Juara Kejujuran”, akan bagus melengkapi bingkisan kecil hadiah ulangtahunnya. Mohon maaf para tamu, di tengah koleksi piala anak kami, ada juga piala kejujuran yang harus kami beli dari took trofi.

Saya mengusir sesal istri saya dengan ungkapan pendek. “Untuk dunia yang ruwet begini, jangan terlalu mengharap pada apa pun, oleh siapa pun. Indonesia adalah rumah kecil ini, yang gembira dan susahnya malah bebas diterbitkan kapan saja kita mau. Kalau anak kecewa pada berhala-berhala di luar sana, pastikan kita masih ada di sampingnya.” Dan, untuk si Kecil Afifa dan kompetisi menggambar yang mengecewakan itu kami dapati pelajarannya. “Bahwa lain kali, jangan membeli piala kejujuran di Toko Besar Gramedia”. Sebagai bangunan industri yang tak kurang mapannya, ia juga bisa menentukan apa dan bagaimana saja rupa dunia kita (konsumen, yang juga sering dijuluki Rajanya). Raja jaman ini, toh tak pernah marah bila diingkari. ‘Mau membeli, apa minggir, bung! Hari ini, kejujuran tidak dijual! ‘ *#$@#!!.

“Selamat Berhari Jadi Gramedia. Berbeda dengan cara beriklan yang anggun, praktek kualitas juga sepantasnyalah dijaga untuk sebuah reputasi yang hampir tak tertandingi!”

Untuk Afifaku. Maafkanlah, kami semua manusia dewasa yang (selalu) ganjil. Dan, hari ini gagal membuatmu bahagia, mengajarkan sebuah nilai, dalam menang atau kalah. Hari-hari yang indah semoga akan (selalu) menemanimu..

Salam,
R. Dijan Subromo
Ayahnya Afifa

NB.
Tembusan:
– Pak Yacob Utama. (Saya sudah janji mengetik nama ini pada Afifa).
– Kepala Toko Gramedia, di mana saja
– Panitia lomba Gambar Gramedia 2007 (maaf kalo sudah
dibubarkan)

5 Replies to “Kejujuran, Jangan Dibeli di Gramedia (Kisah Afifa dan Lukisannya)”

  1. kisah yang menyentuh, oya Guh, kenal sama Mas Dijan Subromo juga yah…. salam dari aku (beliau pernah satu perjuangan ketika di Venusa, Bandung)
    *agus santoso
    barusan aku buka blog wordpress-mu
    agusmupla.wordpress.com

Leave a reply to Tomo Cancel reply