Adelin Lis, Hikayat Raja Kayu dari Sumatera Utara

Kompas – Adelin Lis sebelumnya bukanlah sosok terkenal di Indonesia. Saat kasus pembalakan liar yang diduga melibatkan PT Keang Nam Development Indonesia, tempat Adelin menjabat sebagai direktur keuangan, mulai disidik Polda Sumatera Utara awal 2006, belum banyak yang mengenal sepak terjangnya. Tentu saja, kecuali sebagian warga Sumut.

Namanya mulai mencuat saat Adelin yang dinyatakan buron oleh Polda Sumut ditangkap di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing, China, 7 September 2006. Ia saat itu hendak memperpanjang paspornya. Naas bagi Adelin, namanya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Pascapenangkapan di China, Adelin menjadi buah bibir. Apalagi pemerintah tengah giat-giatnya berkampanye soal pemberantasan pembalakan liar (illegal logging). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun berkomentar soal sanksi tegas bagi pelaku pembalakan liar pascapenangkapan Adelin.

Siapakah Adelin? Adelin adalah generasi kedua dari pemilik perusahaan pengolahan kayu yang dirintis ayahnya, Acak Lis, sejak tahun 1960-an. Acak kelahiran Tanjung Balai yang merantau ke Sibolga. Di Sibolga inilah Acak mendirikan PT Mujur Timber, perusahaan pengolah kayu gelondongan menjadi tripleks atau plywood.

Sepeninggal Acak, nakhoda Mujur Timber berada di tangan anak pertamanya, Amran Lis. Di tangan dia, bisnis keluarga kian melebarkan sayapnya. Anak Acak lainnya, seperti Arsyad Lis, Adelin Lis, Adenan Lis, dan Adely Lis ikut mengelola sayap bisnis Mujur Timber.

Mereka mendirikan perusahaan perkayuan dan menjadi pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) terbesar di Sumut, dari PT Gruti pemilik HPH seluas 100.000 hektar, PT Mitra Wana Lestari (69.590 hektar), PT Inanta Timber (40.610 hektar), hingga PT Keang Nam Development Indonesia atau KNDI (58.590 hektar) yang dituding melakukan pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal. PT KNDI memiliki HPH sejak 1998 dengan masa 55 tahun.

Kayu dari PT KNDI dibawa ke Sibolga untuk diolah di pabrik PT Mujur Timber, sebelum diekspor. PT Mujur Timber memiliki dermaga sendiri di lepas pantai Sibolga, termasuk beberapa kapal ukuran besar. Bisnis kayu ini, ujar pengacara keluarga Lis, Sakti Hasibuan, sedikitnya melibatkan 15.000 tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi Sibolga, bekas ibu kota Karesidenan Sumatera Timur.

Sukses di bisnis kayu ini memunculkan istilah Raja Kayu Sumut pada keluarga Lis. Dari total HPH di Sumut 10 tahun terakhir seluas 566.451 hektar, separuh lebih, yakni 268.700 hektar, dimiliki perusahaan yang dikuasai keluarga Lis.

Selain kayu, keluarga Lis juga merambah ke bisnis perhotelan. Mereka membangun Hotel Wisata Indah di Sibolga, Emerald Garden di Medan, Poncan Marine di Pulau Poncan Gadang lepas pantai Sibolga, serta resor yang terbengkalai di Pulau Putri, juga di lepas pantai Sibolga. Keluarga Lis juga mendirikan perkebunan, salah satunya PT Rimba Mujur Mahkota (RMM) yang kini juga dituding melakukan pembalakan liar di Kecamatan Natal, Mandailing Natal.

Adelin adalah nakhoda beberapa perusahaan itu. Dia adalah Direktur Keuangan PT KNDI dan Direktur Utama di PT RMM. Pamor keluarga Lis sebagai raja kayu di Sumut kini menyusut seiring kasus Adelin. Menurut Sakti, PT KNDI tak bisa lagi beroperasi meski izin HPH-nya ada yang masih berlaku. (KHAERUDIN)

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s