Rabu, 20 September 2006, 06:30:51 WIB
Tujuh Tahun Kebebasan Pers
Jakarta, Rakyat Merdeka. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Andi Samsan Nganro mengatakan lembaga peradilan amat terbantu oleh buku “Undang-Undang Pers (Memang) Lex Specialist” yang diluncurkan kemarin siang. Dia meminta agar buku tersebut juga dibagikan kepada para hakim di PN Jaksel.
Hal itu dikatakan Andi di sela kesibukan di kantornya, kemarin petang, saat bertemu dengan Koalisi Anti Kriminilasi Terhadap Pers (Kakap). Buku tersebut diberikan kepada Andi Samsan Nganro dalam rangka memperingati 7 tahun kemerdekaan pers Indonesia yang ditandai dengan terbitnya UU 40/199 tentang Pers.
Secara khusus, buku tersebut diberikan kepada Andi Samsan Nganro, karena pada Agustus 2003 lalu, ketika masih bertugas di PN Jakarta Pusat, Andi juga menerima Suadi Tasrif Award yang diberikan Aliansi Jurnalis Independen. Anugerah ini diberikan kepada tokoh yang dinilai terlibat aktif melindungi kebebesan pers.
Dalam pertemuan selama hampir satu jam dengan koalisi yang terdiri dari AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Indonesian Media Law and Public Policy (IMPLC), LBH Pers, Dewan Pers, dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Andi Samsan Nganro juga mengatakan dirinya amat concern pada masalah kemerdekaan pers.
Oleh karena itu, dia berharap independensi pers dapat dipertahankan keberadaannya. Menurut Andi, bobrok atau tidak suatu negara dipengaruhi oleh independen atau tidak lembaga pers di negara itu. Selain tentu saja, juga dipengaruhi oleh kewibawaan lembaga peradilan negara tersebut.
Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia Eko Maryadi mengatakan, bahwa wartawan bukanlah warga negara istimewa yang bisa bebas dari jeratan hukum. Namun, tidak ada dasar hukumnya apabila karya jurnalistik wartawan dijadikan alasan untuk memidanakan mereka.
“Kalau ada wartawan melakukan tindakan kriminal, seperti memeras, mencuri, merampok, silakan dibawa ke pengadilan. Tapi, jangan sekali-sekali memidanakan wartawan karena karya jurnalistiknya, baik itu berupa berita maupun gambar,” kata Eko yang pernah dipenjara oleh rezim Soeharto karena menerbitkan majalan Independen itu.
Hadirnya buku “Undang-Undang Pers (Memang) Lex Specialist”, lanjut Eko, sangat bermanfat bagi para aparat penegak hukum. Sehingga tidak lagi terjadi kesalahan tuntutan, dimana delik pers diajukan ke pengadilan.
Buku yang ditulis Hinca Pandjaitan bersama Amir Effendi Siregar, diterbitkan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) itu, berisi sejumlah alasan mengapa UU 40/1999 tentang Pers layak dikategorikan sebagai Lex Specialist –untuk dibedakan dengan Lex Generalist.
Argumen yang dibangun penulis terhadap hal itu, didasarkan pada argumen filosofis, historis, praktis, sosiologis-empiris, teoritis maupun yuridis. Selain itu, sejumlah delik pers yang berlangsung dalam 7 tahun terakhir ini juga dilampirkan untuk memperkuat argumen kedua penulis.
Sementara itu, hari ini majelis hakim PN Jakarta Selatan akan membacakan putusan sela atas kasus yang mendudukkan pemimpin redaksi Situs Berita Rakyat Merdeka, Teguh Santosa sebagai terdakwa. Teguh dituduh oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menodai agama. Adapun ulama-ulama Islam, seperti Wakil Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Dien Syamsuddin, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq dan Amir Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) Abu Bakar Baasyir telah menyatakan bahwa Teguh sama sekali tidak melakukan penodaan terhadap agama Islam.
“Sebetulnya Mahkamah Agung sudah memberi pelajaran yang bagus kepada masyarakat dalam menyelesaikan delik pers, seperti dalam kasus Bambang Harimurty (Pimpred Tempo) yang dibebaskan secara murni dengan alasan pengadilan tidak menggunakan UU Pers, “ kata anggota Dewan Pers Hinca IP Panjaitan.