Kasus Tibo Cs: Pemerintah Harus Tegas

Pro-kontra tentang hukuman mati di Indonesia belakangan muncul lagi. Perdebatan perlu tidaknya pelaksanaan hukuman maksimal itu muncul berkaitan eksekusi terpidana mati tiga orang yang didakwa sebagai dalang kerusuhan Poso beberapa tahun silam, yakni Fabianus Tibo, Marianus Riwu, Dominggus da Silva.

Tarik menarik pun terus berlangsung, bahkan eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepada ketiganya telah dua kali mengalami penundaan. Padahal, dalam tata hukum di Indonesia, hukuman mati adalah legal dan menjadi salah satu ‘ganjaran’ bagi para pelaku kriminal berat. Lantas, bagaimana posisi Islam dalam soal hukuman mati? Bagaimana pula penundaan itu bisa terjadi? Apa di balik intervensi Vatikan terhadap penundaan eksekusi tersebut? Benarkah pemerintah lemah dalam soal ini? Ketua Komisi Fatwa MUI dan tokoh NU, KH Ma’ruf Amin, membeberkannya kepada At-Tanwir. Petikannya:

Bagaimana sebenarnya kedudukan hukuman mati di Indonesia?

Hukuman mati itu kan jelas dan legal dalam tata hukum di Tanah Air. Jadi, seperti halnya hukuman lain, maka hukuman mati berlaku bagi siapapun yang memang memenuhi syarat untuk diganjar dengan hukuman tersebut. Jadi, hukuman mati adalah jalan terakhir bila aspek hukum atau hukuman lain tidak berjalan atau tidak efektif.

Ada kategori khusus untuk hukuman mati?

Ya, memang itu hukuman khusus. Yakni, bagi para pelanggar atau kriminal berat seperti para pembunuh keji, pengedar narkoba kelas kakap, dan kriminal berat lainnya. Tidak semua pelanggaran. Hukuman mati diterapkan agar si pelaku jera dan dampak tindakannya tidak merambah atau menular ke orang lain.

Kalau dalam Islam, seperti apa kedudukan hukuman mati?

Dalam Islam, hukuman mati itu tujuannya untuk ta’zir, yakni agar pelakunya kapok dan tidak berdampak luas di masyarakat. Hal itu disepakati para ulama di masa lalu. Kejahatannya sudah terlalu besar, maka hukuman itu diterapkan. Itu hukuman maksimal yang memang dibenarkan oleh Islam dan mempunyai kesamaan dengan sistem hukum di Indonesia. Tapi, kesamaan itu bukan berarti upaya Islamisasi, karena di dunia internasional pun demikian, hukum selalu mempunyai makna filosofinya.

Ada pendapat, hukuman mati terlalu keras dan melanggar HAM?

Tidak begitu, siapa bilang keras. Apa orang membunuh atau menghilangkan banyak nyawa tak berdosa bukannya telah melanggar HAM? Pelaku kriminal itu juga telah melanggar, melenyapkan hak hidup orang. Kalau membantai orang itu didiamkan atau tidak ditindak tegas, maka dampaknya akan lebih besar, yaitu bisa menjadi cambuk bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, hukuman setimpal ya memang hukuman mati. Itu yang pantas. Soal HAM itu kan ada batasannya. Kebebasan itu tidak mutlak, ada batasan oleh kebebasan orang lain.

Dalam kasus Tibo Cs, pemerintah sudah dua kali menunda eksekusi. Alasannya sangat klise. Pemerintah terkesan lemah?

Tidak bisa begitu. Hukumnya sudah jelas, sudah ada keputusan hukum yang pasti dan tetap, maka pemerintah harus tegas, konsisten, tidak boleh memainkan hukum. Kalau menunda terus, maka kesan yang muncul adalah pemerintah itu lemah atau tidak tegas, sehingga berdampak pada kepercayaan masyarakat. Ini berbahaya, karena untuk memerintah dibutuhkan tingkat legitimasi yang kuat dari rakyat. Pemerintah tidak boleh takluk dengan intervensi manapun, termasuk intervensi asing seperti dari Vatikan. Kita punya sistem hukum tersendiri, maka kita harus konsisten melaksanakannya.

Apa harapan Anda, agar hukuman mati dapat dihindari?

Ya, jangan melakukan pelanggaran hukum atau tindak kriminal yang menuntut adanya hukuman mati. Hukuman mati itu jalan terakhir, dan tujuannya baik, yakni agar tercipta efek jera dan mempunyai aspek mendidik agar orang tidak berbuat kriminal.

Leave a comment