Fanatisme Lahirkan Radikalisme

Pascatragedi 11 September 2001, terlebih pascabom Bali I dan bom Bali II, opini publik kian kuat mengarah kepada sekelompok Islam radikal sebagai pelaku utamanya.

Tentu, mayoritas umat Islam menolak opini tersebut. Apalagi, opini itu cenderung ‘menuduh’ bahwa Islam identik dengan radikalisme. Fenomena radikalisme sebenarnya tidak hanya terjadi pada masyarakat Islam, namun seluruh agama yang ada berpotensi menghadapi persoalan radikalisme. Penyebabnya adalah fanatisme dan kemutlakan yang dapat mendorong munculnya sikap keberagamaan radikal.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin, mengatakan bahwa fanatisme yang berlebihan menyebabkan tumbuh suburnya radikalisme di negeri ini. “Jadi ketika orang berbeda pendapat akan dianggap sebagai musuhnya. Tak hanya orang yang berbeda agama, yang seagama pun bila berbeda pendapat akan tetap dianggap sebagai lawan,” ujarnya.

Sementara itu, menurut Rektor Universitas Azzahra, KH Dr Tarmizi Taher, aksi-aksi radikal yang mengatasnamakan agama telah memberi gambaran buram tentang agama. Padahal pengetahuan agama yang terkotak-kotak, minim, hanya dipermukaan kulit lah yang menjadi biang keladi timbulnya radikalisme dalam beragama. “Pengetahuan agama yang tidak luas, kurang terdidik dalam agama sehingga merasa paling tahu sendiri tentang agamanya merupakan sebab timbulnya radikalisme dalam beragama,” tutur Tarmizi Taher.

Akibat Arus Globalisasi

Radikalisme boleh jadi tidak akan berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat bila hanya sampai pada tataran ilmu atau filosofi. Pasalnya, pada tingkatan itu tidak sampai membuat kerusakan di muka bumi ini. Tetapi, ketika telah sampai pada tataran perbuatan, biasanya radikalisme ini akan berakhir dengan anarkis. Karena itu, radikalisme seperti ini lah yang harus dijauhi, bahkan dilenyapkan.

“Namun sebenarnya radikalisme harus dibedakan antara yang anarkis dengan yang tidak,” kata Ma’ruf Amin. Radikalisme, tambahnya, jika dimaknai hanya sebagai sikap yang tegas memegang teguh pendapat tapi tidak sampai anarkis, mungkin masih bisa ditolerir. “Berbeda pendapat itu kan hal yang wajar, mengingat bangsa kita adalah bangsa yang majemuk”.

Salah satu karakter penting radikalisme agama adalah penekanan pada sikap literal terhadap doktrin agama. Agar pemahaman literal memiliki otoritas yang kuat, radikalisme agama melembagakan kepemimpinan agama yang tunggal, monolotik yang cenderung otoriter. Karena itu, kalangan luar memahami radikalisme dalam konotasi yang pejoratif. “Radikalisme disamakan dengan sikap antirasional, antimodern, antiilmu pengetahuan, eksklusif, tidak toleran, dan lain sebagainya,” komentar Amin.

Menurut Tarmizi, radikalisme pada umumnya juga timbul akibat arus globalisasi yang telah menyentuh segala sisi kehidupan. Globalisasi telah membuka jurang kesenjangan antara negara kaya yang maju dengan negara miskin yang terbelakang. Globalisasi juga telah menimbulkan rasa frustasi dalam diri sebagian orang. Yang berujung pada munculnya radikalisme itu.

Kondisi umat Islam sendiri yang sebagian masih hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan akibat globalisasi juga disinyalir turut memicu munculnya pemikiran radikal dalam sebagian kelompok umat Islam. Mungkin hal inilah yang terjadi di tanah air belakangan ini. Aksi radikalisme yang beberapa waktu belakangan seakan menghantui kedamaian di negeri ini, meski mungkin hanya timbul pada sebagian kecil saja dari umat Islam di tanah air.

Radikalisme seharusnya tidak perlu timbul di tanah air bila saja semua anggota masyarakat mau kembali pada nilai-nilai asli negeri kita. “Kita harus sadar bahwa agama itu sudah dari sananya berbeda, jadi tak bisa dirukunkan. Yang harus dibentuk adalah kerukunan antarumat beragama, bukan kerukunan antar agama”, ucap Tarmizi. Mantan Menag ini menambahkan, pemahaman mereka yang konservatif inilah yang melahirkan radikalisme dalam arti gerakan.

Ma’ruf Amin juga menegaskan, dari mainstreamnya agama Islam masuk di Indonesia tidak secara radikal karena dibangun secara damai melalui pondok pesantren-pondok pesantren. Baik ponpes salafi maupun modern. Dan, kedua model pondok pesantren ini sama sekali tak ada yang radikal maupun mengembangkan sikap radikalisme. Sehingga menurut Ma’ruf, mengingat lagi nilai-nilai yang selama ini sudah dianut masyarakat dirasakannya sangat penting. “Bahkan mungkin kerangka berfikir asli masyarakat Indonesia dapat kita bakukan, meski mungkin masih ada perbedaan,” tandasnya.

CategoriesUncategorized

Leave a comment