BUKU “Mengadili Menteri, Memeriksa Perwira” yang ditulis Iip D Yahya ini bercerita tentang sosok Soeprapto. Untuk mengukur pengetahuan publik akan diri Soeprapto, Iip dan teman-teman yang membantunya melakukan survei dengan mewawancarai banyak orang, termasuk sejarawan. Hasil dari survei itu mengejutkan. Nama Soeprapto nyaris 99,99 persen hilang dari ingatan. Begini salah satu dialog yang dilakukan Iip dengan respondennya.
“Anda pernah ke Blok M?”
“Ya, tentu.”
“Anda tahu gedung bundar di dekat Blok M?”
“Ya, Kejaksaan Agung, kan?”
“Anda tahu ada patung kepala di depan gedung itu?”
“Sebentar… patung yang tertutup pagar dan pohon itu kan? Saya ingat sekarang!”
“Anda tahu patung siapa itu?”
“Ah, itu yang saya tidak tahu.”
“Tidak perlu malu, orang yang bekerja di dalam gedung bundar itu juga belum tentu semuanya tahu. Anda orang kesekian yang tidak tahu. Itu patung mantan Jaksa Agung Soeprapto.”
“Siapa Soeprapto?” (Nah lho…)
Soeprapto adalah penegak hukum karier yang dipercaya Presiden Soekarno menjadi Jaksa Agung pada kurun 1950-1959. Dalam kurun waktu yang dikenal dengan masa demokrasi liberal, yang ditandai jatuh-bangunnya berbagai kabinet, Soeprapto memainkan peran penting dalam meletakkan dasar-dasar hukum yang adil dan tak pandang bulu di republik ini.
Mengadili Menteri, Memeriksa Perwira (Jaksa Agung Soeprapto dan Penegakan Hukum di Indonesia Periode 1950-1957)
Iip D. Yahya
Gramedia Pustaka Utama, 2004
xxxiv + 371 halaman
Sepak terjang Soeprapto kandas di masa Demokrasi Terpimpin yang menerapkan status negara dalam keadaan darurat atau Staat van Oorlog en van Beleg (SOB). Dan, namanya hilang ditelan koncoisme yang marak di masa Orde Baru.
Soeprapto lahir di Trenggalek, Jawa Timur, tanggal 27 Maret 1897, dari pasangan Raden Ngabehi Hadiwiloyo dan Raden Ajeng Oetari. Soeprapto muda menyelesaikan pendidikannya di Hollands Inlandse School (HIS) dan Europese Lagere School (ELS) di Blitar. Lulus dari ELS, Soeprapto hijrah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Hukum (Rechtsschool), Koningsplein Zuid 10 (sekarang Merdeka Selatan). Lulus dari Sekolah Hukum Soeprapto tak melanjutkan pendidikan ke Belanda untuk mengambil gelar Meester in de Rechten (MR). Dia memilih bekerja.
Karier pertama Soeprapto adalah staf Ketua Pengadilan Negeri Tulungagung pada tahun 1917. setelah itu dia ditugaskan di banyak daerah, mulai dari Surabaya, Semarang, Demak, Purworejo, Bandung, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar, Mataram (Lombok), Cirebon dan Salatiga.
Tahun 1947 Soeprapto yang kala itu menjabat Kepala Pengadilan Pekalongan mengungsi ke wilayah Republik di Jogjakarta. 28 Desember 1950, Soeprapto dilantik menjadi Jaksa Agung. Dia wafat 2 Desember 1964 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dalam buku ini, Iip merekam sejumlah sepak terjang Soeprapto yang bisa dijadikan bahan pelajaran bagi penegak hukum di jaman edan. Misalnya, 17 Mei 1956, Soeprapto mengusulkan kepada Jawatan Imigrasi agar membuat peraturan yang bisa menghentikan orang-orang yang tengah berperkara hukum di Indonesia dari upaya melarikan diri ke luar negeri. Masih di bulan itu, Soeprapto juga mendenda General Electric (GE) milik Amerika Serikat sebesar 50 ribu dolar Amerika karena berbuat curang. Bersama KSAD Jenderal Mayor Nasution, Januari 1958 Soeprapto mengeluarkan maklumat bersama yang mengingatkan agar siapapun yang masih mempunyai utang kepada negara agar segera melunasi.
Soeprapto juga tak gentar memeriksa perwira dan anggota parlemen menyusul demonstrasi besar-besaran mendesak agar Parlemen dibubarkan pada 17 Oktober 1952. AH Nasution dan TB Simatupang termasuk perwira tinggi yang diperiksa oleh Soeprapto. Bekas menteri pertahanan Hamengkubuwono IX pun tak luput dari pemeriksaan.
13 Agustus 1955, Soeprapto membikin kejutan baru. Dalam jumpa pers hari itu, dia menyatakan telah memerintahkan agar Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo ditahan dalam kasus korupsi. Dua tahun sebelumnya, Djody memberikan visa permanen kepada Bong Kim Tjhong tanpa mempedulikan kebertan yang antara lain disampaikan Kepala Polri. Untuk visa itu, Djody menerima hadiah sebesar Rp 40.000. Setelah melalui persidangan yang berbelit, makelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis satu tahun penjara dipotong masa tahanan kepada sang menteri.
Begitulah Soeprapto, si pemberani yang terlupakan. Tapi kini, setelah berpuluh tahun hidup di era koncoisme, penulis jadi khawatir. Jangan-jangan apa bila seorang tokoh pemberani sekaliber Soeprapto muncul, dalam sekejap mata lebih dari separuh pejabat kita pindah ke penjara. Rakyat Merdeka, 22 Mei 2005 [t]