BILA Gus Dur punya “gitu aja kok repot”, maka SBY kini punya “I don’t care”. Bedanya, “gitu aja kok repot” sudah (terlalu) sering diucapkan Gus Dur, sejak dia belum lagi jadi presiden, dan malang melintang di NU serta di banyak forum pro demokrasi, sampai hari ini. “Gitu aja kok repot” bisa dikatakan telah menjadi icon bagi Gus Dur, dan Gus Dur telah menjadi icon bagi “gitu aja kok repot”.
Kalau seseorang menyebut nama Gus Dur, maka saat itu pula di benak Anda akan terpampang (begitu) banyak hal yang berkaitan dengan Gus Dur. Dan bisa dipastikan “gitu aja kok repot” selalu hadir dalam setiap kali proses asosiatif-imajinatif ini terjadi. Cobalah sekarang. Gus Dur! Maka yang hadir di benak Anda saat ini adalah NU, Muktamar Situbondo 1984, khittah NU, (anti) ICMI, Forum Demokrasi, Institute Shimon Peres, Poros Tengah, presiden, Suwondo, Buloggate, Bruneigate, Aryanti Sitepu, Siti Farika, DPR seperti TK (taman kanak-kanak), dan gitu aja kok repot.
Urutannya mungkin tidak persis seperti itu. Mungkin Anda ingat Buloggate dulu, lalu Poros Tengah, atau yang lain, dan seterusnya. Dan daftarnya tentu masih bisa bertambah, misalnya dengan Sapuan, Amien Rais, Megawati, PK Tommy dan sebagainya. Tetapi yang jelas “gitu aja kok repot” hampir bisa dipastikan hadir di benak Anda bersama Gus Dur.
“Gitu aja kok repot” agaknya menjadi pernyataan Gus Dur yang paling diingat oleh publik. Menurut pengamat NU, Muh Syamsul Arifin, pernyataan itu tidak tanpa sadar keluar dari mulut Gus Dur.
“Dia memang punya sifat humoris juga nyeleneh. Dalam konteks politik dia pun megalomania. Karena tidak ada yang mengontrol dia dan tidak ada yang berani mengontrol dia. Pangkat orang PKB dan NU pun tergantung Gus Dur. Dan sikap itu ada hubungannya dengan darah biru yang mengalir di tubuhnya,” ujarnya.
Nah, apakah “I don’t care” yang diucapkan SBY beberapa hari lalu saat membuka Rapimnas Kadin di Istana Negara sudah bisa disejajarkan dengan “gitu aja kok repot” produk Gus Dur? Apakah “I don’t care” yang lengkapnya adalah “I don’t care with my popularity” itu adalah bagian dari SBY yang sesungguhnya? Apakah itu tanda-tanda SBY tak bisa menerima kritik demi kritik yang dialamatkan kepada pemerintahannya yang baru seumur jagung?
“Kritik itu antara lain begini. Pemerintahan SBY gagal, popularitasnya menurun. I don’t care with my popularity. Yang saya care adalah pemerintah ini terus bekerja penuh. Ada yang bisa kita lakukan tahun demi tahun untuk rakyat kita,” begitu kata SBY. Di bagian lain, SBY mengatakan dirinya sangat terbuka terhadap kritik. Dia juga berharap agar DPR dan DPD terus mengontrol jalannya pemerintahan. Kalau dilihat dari sisi ini, tampaknya SBY sadar juga bahwa kehilangan popularitas bagi seorang presiden bukan hal yang mengenakan.
Pengamat Research Institute for Democracy and Peace (Ridep) Ibrahim Gidrach Zakir, menilai SBY mulai merasa diserang secara pribadi oleh para pengkritik. Padahal kritik ditujukan kepada menteri yang tidak bisa bekerja dan membelokkan visi SBY. “Jadi yang perlu dipertanyakan, apakah SBY sadar bahwa visi dan misinya tidak hanya gagal diterjemahkan para menteri, namun untuk hal tertentu justru diselewengkan,” katanya.
Tentu fenomena “I don’t care” tidaklah sedahsyat “gitu aja kok repot”. Tetapi bukan berarti tidak bisa menjadi sefenomenal atau lebih fenomenal dari “gitu aja kok repot”. Kalau SBY terus take it personal membaca arah kritik, yang sebetulnya dengan kata lain adalah masukan itu, bukan tidak mungkin setelah hari ini kita akan kembali mendengar “I don’t care” terus dan terus.
Padahal peluang SBY untuk bertahan dengan kabinet yang lebih baik masih terbuka lebar. Sampai hari ini toh Pelangi di Matamu, lagu kelompok Jamrud yang sering dilantunkannya saat kampanye, masih lebih lekat dengan diri SBY dari pada sepotong “I don’t care”. [t] Rakyat Merdeka, 6 Februari 2005

One Reply to “”