Ketika Mega Menangis

megawati-sukarnoputri MENGAPA Megawati Soekarnoputri membuang Tarmidi yang bertahun-tahun membela dirinya juga partai berlambang kepala banteng, dan mendukung Sutiyoso? Tidakkah Mega tahu tokoh yang terakhir disebut ini punya cacat sejarah di mata jutaan pendukung PDIP? Mestinya Mega tahu. Tapi yang namanya politisi, terkadang memang harus tega.

Menurut sumber-sumber di PDIP, ada dua alasan utama kenapa Mega mendukung Sutiyoso dalam pemilihan Gubernur DKI tahun lalu. Pertama dia adalah tentara. Mega menduga suhu politik menjelang Pemilu 2004 akan memanas. Kalau tidak cermat, kondisi itu akan merembet, dan bukan tidak mungkin mengancam kekuasaannya. Nah, untuk mengendalikan hal itu, Mega membutuhkan figur yang punya akses besar ke tubuh militer.

Alasan kedua, kata Mega dalam berbagai kesempatan, Sutiyoso sudah berpengalaman menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bayangkan, belum ada gubernur DKI Jakarta setangguh Sutiyoso. Tangguh? Ya, ukuran tangguhnya adalah, Sutiyoso menjadi gubernur, mendampingi empat orang presiden, mulai dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Gus Dur Wahid dan Mega sendiri.

Alasan-alasan lain, yang menjadi buah bibir dan kabar burung yang tak pernah terkonfirmasi kebenarannnya, sudah barang tentu soal money politics. Tapi kita tidak bicara soal itu.

Ada drama menarik, yang tersisa di balik kisah panjang pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun ini. Drama ini menceritakan tentang ketidakmampuan Mega menjelaskan alasannya memilih Sutiyoso dan membatalkan dukungan terhadap Tarmidi. Suatu hari Mega memanggil anggota Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta. Mereka dikumpulkan di kediaman Mega, Jalan Teuku Umar nomor 27-29, Menteng, Jakarta Pusat. Selain orang-orang DPD, beberapa orang DPP seperti Sutjipto juga hadir.

Tarmidi duduk di sebelah kiri Mega. Anggota Fraksi PDIP di DPRD lainnya duduk berderet di sebelah kiri Tarmidi. Dengan suara perlahan Mega menjelaskan, bahwa DPP PDIP sepakat mendukung Sutiyoso menjadi Gubernur DKI. Dia juga meminta anggota Fraksi PDIP di DPRD menerima dan mendukung calon DPP itu.

Tarmidi angkat bicara. Dia bilang kepada Mega, bahwa dirinya tidak berkeinginan menjadi Gubernur DKI andai saja Rakerdasus DPD PDIP sebelumnya tidak mencalonkan dia. Kalau memang tidak berkenan pada dirinya, Mega bisa memilih anggota PDIP lain sebagai calon gubernur. Ada Roy BB Janis, ada Sutjipto dan seterusnya.

Mengenai status Sutiyoso yang purnawirawan tentara, kira-kira Tarmidi berkata, “Kalau pun harus tentara, setahu saya yang tentara bukan hanya Pak Sutiyoso. Masih ada tentara yang lain. Pak Sutiyoso punya persoalan dengan massa PDIP (dalam kasus 27 Juli 1996).”

Setelah itu Tarmidi diam, menunggu komentar Mega selanjutnya.

Tidak begitu lama, Mega kembali bicara. Suaranya mulai meninggi. “Kenapa Pak Tarmidi sekarang tidak tahan banting,” kira-kira begitu kata Mega.

“Kalau yang kita hadapi adalah pihak luar, saya berani. Tapi kalau keputusannya seperti ini, yang kita hadapi adalah anak-anak PDIP sendiri,” jawab Tarmidi.

Lalu Mega mengangkat tangannya setinggi dada. Suaranya keluar tertahan. Mega menangis. Semua yang hadir jadi gelisah. Sutjipto yang duduk di seberang Tarmidi berdiri. Mendekat ke arah Tarmidi. “Sudah Mas, sudah Mas,” katanya mengusap-usap punggung Tarmidi.

Lalu Tarmidi berdiri. “Saya masih menghormati Mbak,” katanya sambil mencium tangan Mega dan balik kanan. Anggota Tarmidi lainnya mengikuti.

2 Replies to “Ketika Mega Menangis”

  1. memang ini cerita lama. tapi saya akan selalu ingat. tarmidi suhardjo adalah kader PDIP yang mengawal partai itu sejak masih PNI di pemilu 1971, lalu PDI sampai 1997 dan PDI-P d tahun 1999.

    sayang dia dikhianatani oleh orang yang selama puluhan tahun diagung2kannya.

Leave a reply to teguhtimur Cancel reply