Membagi dan Berbagi Kekuasaan (Sharing of Power)

DI Indonesia, kekuasaan kepala negara dan kepala pemerintahan melekat dalam sosok seorang presiden. Sebagai kepala negara presiden adalah simbol kebangsaan, yang tidak boleh berbuat salah. Jangan sampai deh presiden bertingkah aneh dan malu-maluin.

Sebagai kepala pemerintahan, presiden adalah administratur yang harusnya ulung. Berani mengambil kebijakan, cakap memimpin kabinet, trangginas mengatur strategi pembangunan.

Sifat mendua yang ada di dalam jabatan presiden ini sering kali menjadi masalah. Tidak pernah jelas kapan seorang presiden bertindak sebagai kepala negara, kapan sebagai kepala pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan, presiden adalah partner DPR. Namun sebagai kepala negara, bisa jadi presiden adalah simbol yang harus dijaga DPR. Bagaimana kalau presiden konyol?

Beberapa cendekia politik sejak lama melirik hal ini sebagai kelemahan paling fundamental dari konstitusi Indonesia.

Ingat Soeharto yang selama tiga dasawarsa terakhir menguasai Indonesia? Kalau dipikir-pikir Soeharto ini pun mendapat pembenaran untuk menjadi diktator dari kelemahan tersebut.

Dengan kekhawatiran seperti inilah, Ketua DPA Achmad Tirto Sudiro sowan ke Gus Dur awal Februari lalu. Agendanya ingin memberi saran kepada presiden. Tapi belakangan Gus Dur marah-marah. Lho kok?

Ternyata usul Achmad cs yang jadi penyebabnya. Dalam usulannya, Achmad meminta kerendahan hati Gus Dur untuk berbagi kekuasaan dengan Megawati. Biarlah Megawati menjalankan pemerintahan sehari-hari. Tidak cukup dengan Keppres 121/2000, Megawati harus dikukuhkan sebagai kepala pemerintahan.

Walaupun membagi kekuasaannya, Gus Dur tidak akan nganggur, yakin Achmad. Gus Dur akan dinobatkan sebagai kepala negara. Di posisi ini, Gus Dur akan lebih berwibawa. Terhindar dari sekian banyak hujatan.

Sampai sekarang Gus Dur masih ogah. Inkonstitusional, katanya. Sementara di gedung Senayan, beberapa politisi mulai berani mengatakan usulan DPA konstruktif bagi kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia.

Dalam sebuah duskusi di Hotel Indonesia (9/5), Achmad Tirto Sudiro menyatakan kembali usulannya. Berikut laporan Teguh Santosa.

Gus Dur Inkonstitusional

MATAHARI baru saja melewati pagi. Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Achmad Tirto Sudiro melangkah memasuki ruang Nirwana di lantai 15 Hotel Indonesia. Nyaris satu jam lebih awal dari jadwal diskusi yang digelar RRI Pro 2 FM.

Beberapa awak radio masih sibuk berbenah. Sound mixer baru diletakkan di atas meja di sisi kiri ruangan. Kabel-kabel aneka warna berseliweran ke sana ke mari. Speaker besar di sisi lain ruangan baru saja ditumpukkan.

Puluhan kursi merah yang ditata apik pun masih melompong, kosong. Satu dua wartawan yang sudah hadir lebih memilih duduk di dekat meja saji. Beberapa waitress menata piring dan gelas di atas meja panjang bertaplak putih itu.

Dua orang ajudan mengiringi langkah tegap purnawirawan letnan jenderal itu. Seorang memegang ponsel, dan seorang lagi menenteng map. Tekun, mereka mencermati langkah atasannya, pria bertubuh kecil dan berambut putih ini.

Melihat kehadiran Achmad yang pernah menjadi angota MPR utusan golongan tahun 1997-1998 ini, seorang awak radio menyambut, menghampiri. Achmad dipersilakan menuju ke kursi pembicara di depan. Dua ajudannya berhenti, duduk di dekat wartawan, di dekat meja saji.

Di depan, Ketua Dewan Penasehat Majelis Nasional KAHMI ini duduk sendirian. Badannya disenderkan ke sandaran kursi kayu cokelat. Sebentar, Achmad merapikan jas hitam yang dikenakannya. Juga letak dasi biru tua yang menghias kemeja putihnya.

Mata bekas Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog) ini menatap lekat segelas air putih di atas meja bundar kecil di depannya. Badannya ditegakkan. Tangannya diulur meraih gelas. Air diteguk. Selesai. Badannya nyender lagi. kepalanya mendongak ke atas. Dari balik kacamatanya, Achmad menjelajahi plafon. Mencermati lampu disko bundar yang siang itu tidak nyala.

Tidak berapa lama, pakar hukum Jimmly Ashidiqie datang. Masih dalam posisi duduk, Achmad yang beberapa kali menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk beberapa negara sahabat ini menyambut Jimmly. Saling tukar sapa. Lalu Jimmly duduk di kursi sebelah kiri Achmad.

Ketika kedua Ketua ICMI ini sedang bertukar cerita, pengamat politik CSIS J Kristiadi datang. Sedikit basa basi, Kristiadi mengambil tempat di sebelah kanan Achmad, diselingi satu kursi untuk moderator.

Ruangan mulai dipenuhi undangan. Hampir seluruhnya wartawan. Tepat pukul 10.00 acara pun dimulai. Achmad Tirto Sudiro diberi kesempatan bicara pertama kali. Tangannya meraih microphone. Badannya masih disenderkan ke sandaran kursi. Kakinya disilangkan, kaki kanan di atas.

“Memang sudah menjadi tugas DPA untuk memberi saran kepada presiden dan lembaga tinggi negara lainnnya. Baik diminta atau tidak diminta,” Achmad membuka kata. Suaranya pelan.

Karena itulah, Achmad dan kawan-kawannya di DPA merasa yakin mendatangi Gus Dur awal Februari lalu. Saran yang mereka sampaikan saat itu cukup menegakkan bulu kuduk, Gus Dur harus mau membagi kekuasaan dengan wapres Megawati. Konkretnya Gus Dur “naik” menjadi kepala negara dan Megawati memegang kekuasaan pemerintahan sehari-hari sebagai kepala pemerintahan.

Tapi sayangnya, lanjut Achmad, Gus Dur tidak menyikapi usulan itu dengan bijak. Gus Dur malahan menganggap Achmad yang memulai karirnya di tentara tahun 1946 dengan pangkat letnan satu ini sebagai musuh yang mau merongrong kekuasaannya.

“Padahal kami mau memberikan tempat terhormat pada Gus Dur. Kepala negara, itulah posisi terhormat. Seharusnya ini nanti ditetapkan oleh MPR. Toh wapres juga sudah mengantongi Keppres 121/2000,” katanya lagi. Kepalanya celingak celinguk ke arah Jimmly dan Kristiadi.

Lalu giliran Jimmly. Menurut Jimmly istilah kepala negara dan kepala pemerintahan sebenarnya hanya dikenal dalan kerangka akademik. Tidak untuk dikonsumsi umum, walaupun dicantumkan dalam UUD 1945.

Achmad diam menyimak hati-hati. Kepalanya miring, ditopang tangan kirinya.

Usai Jimmly, giliran Kristiadi nyerocos. “Sebenarnya Pak Achmad mencoba menciptakan preseden baik. Presiden yang tidak mampu memerintah tidak dihujat. Nah, Mega juga akan merasa lebih yakin. Karena bagaimana pun Mega sangat peduli dengan nasib Mas Dur-nya,” kata Kristiadi.

Mendengar kalimat Kristiadi barusan, mulut Achmad yang biasa terkunci layaknya orang cemberut, merekahkan senyum. Kepalanya ditegakkan lagi. Mengangguk-angguk. Puas.

Cendekia, Militer dan Diplomat

LAKI-LAKI kelahiran Plered, Purwakarta, 8 April 1922 ini serba bisa. Tidak pernah mengikuti pendidikan formal diplomat, tetapi sering menghabiskan waktunya di luar negeri sebagai duta besar. Catat saja negara sahabat yang pernah disinggahi Achmad yang menguasai tujuh bahasa ini, Jerman, Arab Saudi, Yaman, Oman, Belanda, Jepang.

Suami Suresmi Natalegawa ini mengawali karirnya sebagai cendekia dengan ikut mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sampai sekarang Achmad pun merupakan salah seorang Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Di lapangan militer, karirnya tidak usah diragukan lagi. Tahun 1948 Achmad memulai karir serdadunya sebagai letnan satu infanteri. Tahun 1971, pangkatnya masih letnan jua, tapi ada kata jenderal di belakangnya. Lengkapnya letnan jenderal.(GUH)

Musuh Gus Dur

SAMPAI sekarang Achmad yang punya hobi golf dan renang ini membukukan 19 bintang penghargaan. Dua diberikan oleh pemerintah negara sahabat.

Diantara bintang-bintang itu adalah Bintang Gerilya, Bintang Kartika Eka Paksi, Bintang Gom I sampai V, Bintang Dharma, Bintang Maha Putra Utama, Bintang Maha Putra Adipradana, Medal for Military of II Class (dari Jugoslavia), dan Groskreuz des Verdienstes (dari Jerman).

Semua bintang-bintang di atas diberikan ketika Soeharto masih berkuasa. Kini, di masa pemerintahan Gus Dur, boro-boro bintang jasa, menurut Majalah Gatra, Achmad adalah musuh Gus Dur nomor 14.(GUH)

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s