Firli Bahuri, Jembatan-jembatan Hidupnya, dan Era Post Truth
Kata Pengantar untuk buku “Anak Dusun Menjaring Impian: Sebuah Biografi Insan Bhayangkara”
TIDAK mudah menulis pengantar untuk biografi seorang tokoh publik yang dalam perjalanan kariernya menghadapi pusaran citra yang kompleks. Terutama ketika nama itu adalah Firli Bahuri, seorang perwira kepolisian yang pernah memegang jabatan-jabatan strategis di republik ini —dari Kapolres, Kapolda, Ajudan Wakil Presiden, hingga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebuah biografi bukan ruang pengadilan. Ia adalah ruang manusia. Ruang untuk memahami perjalanan panjang seorang anak kampung, lengkap dengan luka, batu sandungan, dan pergulatannya membentuk jati diri.
Sebagai wartawan dan —orang mengatakan— aktivis yang sering menyusuri jejak konflik, bencana, perang, dan dinamika politik dalam dan luar negeri, saya percaya bahwa karakter seorang manusia tidak pernah lahir dari satu peristiwa. Ia adalah mosaik panjang —dan mosaik itulah yang disajikan buku ini dengan jujur dan apa adanya.
Firli Bahuri memulai hidupnya jauh dari hiruk-pikuk kota: Dusun Lontar, sebuah kampung kecil di tepian Sungai Ogan di Sumatera Selatan.
Banyak kisah besar di republik ini yang dimulai dari tempat-tempat yang nyaris tak dituliskan di dalam peta. Tetapi dari desa-desa terpencil seperti inilah kita menemukan daya tahan manusia paling murni. Anak-anak yang pergi ke sekolah menyeberangi sungai menggunakan rakit, atau menggantung di sisa kawat jembatan yang putus. Dalam konteks itu, kisah Firli bukan kisah glamor seorang pejabat tinggi negara. Ia adalah kisah seorang anak desa yang merawat tekad dalam keprihatinan; kisah tentang keyakinan bahwa pendidikan dan kerja keras adalah jalan keluar dari nasib sosial yang tampak ditentukan sebelum ia lahir.
Salah satu bagian paling humanis dalam biografi ini adalah kisah tentang jembatan gantung di kampungnya, jembatan yang bertahun-tahun menjadi nadi kehidupan warga Lontar.
Bagi Firli, jembatan itu bukan hanya konstruksi kayu dan kawat —ia adalah metafora perjalanan hidup. Ia tumbuh dengan jembatan yang rapuh, sebagaimana rapuhnya kesempatan seorang anak petani untuk bermimpi menjadi perwira. Tetapi sebagaimana jembatan itu tetap berdiri hingga puluhan tahun, Firli membuktikan bahwa cita-cita pun dapat bertahan sepanjang tekad dijaga.
Perhatian Firli pada jembatan itu di kemudian hari —hingga akhirnya dibangun jembatan baru yang lebih layak— mencerminkan satu hal yang solid: ia tidak pernah tercerabut dari akarnya. Dalam dunia birokrasi kita yang sering keras, sinis, dan dingin, loyalitas emosional pada kampung halaman adalah kualitas yang jarang terdengar, apalagi dipertahankan.
Buku ini juga memperlihatkan fase-fase hidup yang sering tidak terlihat publik. Firli Bahuri jatuh-bangun mengejar mimpi menjadi perwira Polri. Ia empat kali gagal mengikuti tes masuk Akabri, di tahun 1982, 1983, 1985, dan 1986. Firli dicemooh sebagai anak dusun yang tidak tahu diri dan bermimpi terlalu tinggi. Setelah kekalahan kedua, Firli Bahuri mengikuti tes bintara Polri, dan lulus. Dia ditugaskan di Cimahi.
Namun di Cimahi ia tetap merawat mimpi menjadi perwira Polri. Barulah di tahun 1987, pada kesempatan terakhir, Firli Bahuri berhasil memasuki kawah candradimuka Lembah Tidar dan lulus di tahun 1990.
Dari Firli Bahuri kita kembali belajar tentang kekuatan moral pada seseorang yang terus melangkah bahkan ketika lingkungan menganggapnya tidak layak bermimpi. Inilah sisi manusia yang kerap luput dari narasi politik dan pemberitaan.
Begitu pula kisahnya sebagai Kapolres Kebumen saat tsunami melanda. Atau saat bertugas sebagai Kapolda NTB menghadapi kelompok radikal dan konflik masyarakat. Dalam setiap penugasan, Firli Bahuri mengembangkan model kepemimpinan yang berorientasi dialog dan pendekatan sosial dalam menghadapi ragam persoalan kemasyarakatan. Di sini kita diingatkan bahwa amanah keamanan bukan semata tugas formal; ia adalah kerja yang menguji empati, kesabaran, dan keteguhan moral.
Ada pula bagian-bagian yang menggambarkan sisi personal Firli: pertemuannya dengan sang istri, kedekatannya dengan para guru di masa kecil, sampai persahabatan dan dinamika internal kepolisian yang membentuk kariernya. Ini bagian penting dalam membaca siapa dirinya ketika seragam dilepas dan jabatan dikesampingkan.
Sebagai jurnalis, saya terbiasa melihat manusia dalam spektrum yang lebih luas, melampaui batas-batas publik dan formalitas. Seseorang bisa memikul pujian dan kritik sekaligus. Tetapi ketika menimbang seorang tokoh, kita perlu menyadari bahwa yang membuatnya manusia bukanlah jabatan yang pernah dipegangnya, melainkan jalan panjang yang ia tempuh: dari kampung terpencil, melalui badai, hingga ke puncak tanggung jawab negara.
Biografi ini tidak sedang menuntut pembenaran. Ia hanya mengundang pembaca melihat Firli Bahuri melalui sisi yang mungkin terlalu jarang mau kita lihat: kerapuhan, ketekunan, perhatian pada sesama, dan akar kemanusiaan yang membentuk perjalanan panjangnya.
Dan barangkali di sinilah nilai sebuah biografi: ia memberi ruang bagi kita untuk memahami manusia bukan dari gosip dan gegap-gempita politik, tetapi dari kisah-kisah yang membentuknya jauh sebelum ia dikenal publik.
Namun di era disrupsi dan post-truth saat ini, di mana opini publik lebih dipengaruhi oleh sisi emosi, keyakinan individu, dan narasi subjektif daripada fakta objektif dan bukti yang dapat diverifikasi, kisah-kisah pembentuk jati dan karakter seperti ini bisa jadi hilang atau bahkan sengaja dihilangkan.
Dalam kasus Firli Bahuri, reputasi dirinya sempat mengalami distorsi dan simplifikasi, hanya seputar tuduhan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang tidak pernah terbukti sampai akhirnya dia harus meninggalkan Gedung Merah Putih KPK pada Desember 2023.
Di dalam buku ini tidak ditemukan bagian yang berusaha mengurai benang kusut dan tuduhan-tuduhan tidak terverifikasi yang dialamatkan kepada Firili Bahuri itu. Sementara informasi lain yang cukup meyakinkan mengatakan bahwa Firli Bahuri sengaja disingkirkan karena dianggap sebagai duri dalam daging yang mengganggu kekuasaan rezim yang lalu.
Dalam pertemuan sebelum menuliskan pengantar ini, kepada saya Firli Bahuri menjelaskan bahwa kisah seputar sepak terjangnya di KPK akan ditulis terpisah. Sequel itu akan mengungkap kebenaran selama dirinya memimpin KPK. Juga akan menjawab tuduhan-tuduhan yang dialamatkan pihak-pihak yang terganggu oleh kiprahnya di lembaga anti rasuah.
Firli Bahuri mengandaikan kebenaran seperti gunung besar yang berdiri kokoh. Kabut kebohongan mungkin sekali akan menutupinya. Namun, walau tak tampak karena tertutupi kabut kebohongan, gunung besar kebenaran sejatinya tetap berdiri kokoh dan pada saatnya akan kembali memperlihatkan diri.
“Kebohongan sekalipun bergerak cepat bagaikan kilat, tapi pada saatnya akan dikalahkan oleh kebenaran yang bergerak lambat walaupun dalam diam. Kebenaran akan muncul sebagai pemenang dengan cara dan jalannya sendiri,” ujar Firli Bahuri.
Saya mengajak khalayak pembaca memetik pelajaran berharga dari kisah perjalanan si Anak Dusun Lontar ini, sejak ia memutuskan menyeberangi Sungai Ogan sampai kariernya sebagai perwira Polri berakhir di Gedung Merah Putih KPK RI. []
*Teguh Santosa adalah Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI). Pendiri RMOL Network ini meliput perang dan konflik di sejumlah kawasan, serta aktif menulis isu-isu global dan kemanusiaan.