Kemarin menghadiri peluncuran dan bedah buku “Buku Margono Djojohadikusumo: Pejuang Ekonomi dan Pendiri BNI 1946” di Kompas Institute.
Margono salah satu tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia: anggota Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia (1945), Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Sementara (1945), Direktur BNI (1946-1953), juga anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag (1949).
Dalam peluncuran buku yang ditulis HMU Kurniadi dan Jimmy S. Harianto itu sejumlah usul bermunculan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, Margono rasanya lebih tepat menjadi Bapak Koperasi, gelar yang selama ini disematkan kepada Bung Hatta. Adapun Bung Hatta, sambung Fadli, lebih tepat diberi gelar Bapak Ekonomi Kerakyatan.
Dia menambahkan, di tangan Margono, koperasi menjadi alat perjuangan melawan ekonomi kolonial.
Wakil Pemimpin Umum Kompas Tri Agung Karistanto menimpali. Margono pantas menjadi Bapak Pengembang Koperasi, katanya.
Wakil KSP M. Qodari lain lagi. Mengingat bahwa BNI 46 dapat disebut sebagai bank sentral pertama di Indonesia yang menerbitkan Oeang Republik Indonesia, maka tidak berlebihan bila Margono juga diberi gelar Bapak Uang Indonesia.
Wakil Menteri Perumahan Fahri Hamzah memuji peran Margono dan anaknya Sumitro Djojohadikusumo di sektor perumahan.
Adalah Bung Hatta, ujar Fahri Hamzah, yang memerintahkan Margono dan Sumitro untuk merumuskan Kongres Perumahan Rakyat Sehat tahun 1950.
Kata Fahri lagi, KPRS ini menginspirasi Lee Kuan Yew untuk membangun Housing and Development Board (HBD) yang bertanggung jawab menjamin perumahan warga negara tetangga itu.
Tahun 2019 lalu, saya pernah merekam cerita singkat Prabowo Subianto kepada Mbak Rachmawati Soekarnoputri mengenai Margono yang adalah kakeknya.
Cerita disampaikan di VIP room Bandara Djuanda, Surabaya, sebelum kami melanjutkan perjalanan untuk ziarah ke makam Bung Karno di Blitar.
