Merdeka dan Cinta

Saya sedih sekali, kemarin, Minggu 22 Juni 2025, terpaksa melewatkan satu momen penting, amat penting: reuni wartawan eks “Merdeka” dan “Rakyat Merdeka” yang diselenggarakan di kawasan Blok M.

Bang Mulia Siregar, Bung Darto Wiryosukarto dan rekan-rekan panitia lainnya sudah jauh-jauh hari menyampaikan undangan dan mengingatkan kegiatan ini.

Saya juga sudah menyanggupi, dan mencatat tanggal reuni. Saya ingin sekali hadir.

Sabtu sore saya bicara via telepon dengan Kak Syahrial Nasution. Kami berusaha mencocokkan waktu bertemu di arena reuni. Kak Yal baru tiba dari Tanah Suci. Dan saya sedang di arena Munas JMSI.

Minggu pagi, Pak Dahlan Iskan kirim pesan via WA.

“Sy nanti hadir di reuni RM. Anda hadir? Hadir yuk,” ajaknya.

“Pak, kebetulan dari kemarin dan hari ini ada Munas ke-2 JMSI di Hotel Acacia,” jawab saya dengan berat hati

Saya berusaha untuk mencari-cari kesempatan melipir ke Blok M. Tapi, apa daya, saya tak bisa ke mana-mana.

Reuni ini penting dan bahkan amat penting, karena “Rakyat Merdeka” adalah tempat pertama saya menjejakkan kaki di Jakarta.

Saya bergabung dengan “Rakyat Merdeka” segera setelah lulus kuliah tahun 2000. Sebelumnya, saat masih kuliah di Unpad saya sering menulis artikel untuk “Kolom Mahasiswa” di harian “Merdeka”, nama lama “Rakyat Merdeka”.

“Merdeka” adalah koran yang didirikan salah seorang tokoh pers nasional dan wartawan pejuang BM Diah. Dia termasuk pelaku sejarah di detik-detik kelahiran negara merdeka Indonesia, 17 Agustus 1945.

Setelah diketik Sayuti Melik, “naskah asli” teks Proklamasi Kemerdekaan yang ditulis Bung Karno dan diskusikan dengan Bung Hatta dan Ahmad Soebarjo di rumah Laksamana Maeda hampir saja hilang. Adalah Pak Diah yang menemukannya di tong sampah, lalu menyimpannya untuk waktu yang lama sehingga kini bisa kita saksikan.

Pak Diah dan Ibu Herawati Diah termasuk dalam rombongan wartawan Indonesia yang ikut dalam rombongan Perdana Menteri Hatta ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Desember 1949.

BM Diah pernah dipercaya Presiden Sukarno menjadi Dubes di Inggris Raya (1962-1964) dan Menteri Penerangan (1966-1968). Pak Diah yang lahir di Banda Aceh tahun 1917 meninggal di Jakarta tahun 1996.

Pada pertengahan 1990an, “Jawa Pos” masuk ke manajemen “Merdeka” yang mulai kesulitan. “Jawa Pos” dan “Merdeka” sama-sama koran lejen. “Jawa Pos” terbit pertama kali tahun 1949 dengan nama “Java Post”, sementara “Merdeka” terbit tiga tahun lebih awal.

Sentuhan “Jawa Pos” yang dipimpin Dahlan Iskan dan komandan lapangan Margiono ketika itu berhasil menggairahkan kembali “Merdeka”. Apalagi, arus perubahan glasnots ala Indonesia menari-nari di depan mata. Minat baca meningkat eksponensial. Pembicaraan politik jadi kebiasaan baru pada masa itu.

Koran “Merdeka” panen raya.

Tapi, persis pasa masa panen itu, kerja sama kedua koran lejen berakhir. Tahun 1999, “Jawa Pos” angkat kaki dari “Merdeka” dan mendirikan “Rakyat Merdeka”.

Kisah “Rakyat Merdeka”, “Merdeka” dan “Jawa Pos” adalah kisah perjuangan. Semakin lengkap dengan kisah romansa saya di “Rakyat Merdeka”.

Di tempat inilah saya mendapatkan cinta Intansari Fitri setelah merayunya habis-habisan dengan berikat-ikat kembang yang saya beli di Pasar Rawa Belong, juga “Risalah Hati” yang dinyanyikan Once, dan lantunan musik King of Swing Benny Goodman yang di telinga beberapa teman di kantor terdengar seperti musik pengiring sirkus.

Apapun yang terjadi, “Rakyat Merdeka” adalah kisah abadi keluarga kami. Ketika kami menikah tahun 2003, rasanya hampir semua teman-teman “Rakyat Merdeka” hadir. Koran ini juga yang memberikan kesempatan kepada saya untuk memasuki keragaman dunia.

Saya tak merasa bekerja di “Rakyat Merdeka”, lebih dari itu, saya merasa belajar.

Tahun 2019, saya meninggalkan “Rakyat Merdeka”. Walau tak lagi bersama, bagi saya “Rakyat Merdeka” sudah kadung abadi. Seperti juga cinta Intansari Fitri.

Selamat untuk teman-teman yang kemarin bereuni.

CategoriesUncategorized

Leave a comment