Ada Apa Mei 1998

Suatu hari di tahun 2013, sebelum pemilihan presiden 2014.

Seorang teman, mantan aktivis 1998, mengajak saya ke kediaman Mbak Tutut.

Saya diperkenalkan sebagai “anak nakal” — mantan anggota Pramuka, penerima beasiswa Supersemar, pernah jadi komandan Paskibraka dan Kirab Remaja di Sumatera Utara yang ikut dalam gerakan menurunkan Pak Harto tahun 1998.

Saat itu kami sedang antre mengambil makanan di ruang belakang. Di tangan Mbak Tutut sudah ada sepiring nasi dan beberapa tusuk sate. Untuk sementara dia menghentikan langkahnya ke meja makan.

Mendengar pengantar singkat teman saya, Mbak Tutut tersenyum. Lalu dia bertanya:

“Bagaimana reformasi?”

Pertanyaan singkat yang rasanya tidak membutuhkan jawaban bertele-tele.

“Reformasinya salah arah,” sambar saya.

Mbak Tutut tetap tersenyum. Tidak ada pertanyaan susulan. Dari saya pun tidak ada penjelasan tambahan.

Soal Mei 1998, itu saja yang kami perbincangkan.

Selebihnya Mbak Tutut bicara tentang hal-hal lain yang ringan, juga soal buku yang baru diterbitkan mengenai perjalanan incognito Pak Harto keliling Indonesia di era 1970an. Saya terkesan dengan keramahannya, tak menyangka disambut dengan tangan terbuka.

Di akhir pertemuan, Mbak Tutut memberikan satu copy buku untuk saya, dan tak lupa menandatanganinya.

Kisah ini sering saya sampaikan kepada teman2 dekat saya.

Bagi saya, pertanyaan Mbak Tutut itu penting.

Kalau diurai, pertanyaan itu bisa jadi berbunyi seperti ini: Bagaimana dan apa yang terjadi setelah Bapak saya kalian (atau siapapun lah) turunkan dari kekuasaan sedemikian rupa?

Sementara bila diuraikan jawaban saya bisa berbunyi begini: Menurunkan Pak Harto sudah benar, tapi langkah setelah itu yang keliru.

Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang dipikirkan Mbak Tutut mendengarkan jawaban saya itu. Barangkali juga bagi Mbak Tutut pertemuan dan pembicaraan singkat itu bukan sesuatu yang penting, dan dengan sendirinya tidak menempel di dinding memori. Atau dengan kata lain bisa jadi saya saja yang ge-er merasa itu pertemuan penting untuk dikenang.

Bagi kami, salah satu episode penting sebelum memasuki Mei 1998 adalah pertemuan nasional pers mahasiswa di IKIP Bandung, Oktober 1997. Pertemuan ditutup dengan pernyataan sikap politik yang intinya meminta Soeharto mengundurkan diri. Juga ada bagian lain yang menyatakan mendukung Amien Rais sebagai presiden.

Kala itu, kita masih ingat, rasanya hanya ada dua nama yang sering digadang2 jadi presiden. Kalau bukan Megawati, ya Amien Rais.

Kembali dari pertemuan di IKIP Bandung, keputusan ini saya sosialisasikan kepada teman2 LPM FISIP Unpad Polar. Teman2 seangkatan setuju. Kami menerbitkan sebuah pernyataan sikap yang merujuk pada hasil pertemuan di Isola Pos yang dicetak sebagai selebaran dan ditempelkan di banyak tempat di kampus, termasuk di luar kampus Jatinangor.

Beberapa senior tidak berkenan dan keberatan. Alasan mereka, secara teknis menerbitkan selebaran bukan pekerjaan atau tradisi lembaga pers mahasiswa. Toh di Majalah Polar ada halaman sikap politik.

Alasan lain terkait substansi. Mereka khawatir kami ikut permainan yang tidak kami ketahui.

Sempat ada sedikit ketegangan lintas generasi. Teman2 seangkatan bertahan pada keputusan itu. Lagipula selebaran sudah ditempelkan di banyak tempat.

Beberapa hari setelah selabaran kami tempel2kan, Dekanat FISIP melarang semua aktivitas Majalah Polar di lingkungan kampus. Larangan yang tidak kami indahkan. Toh, majalah Polar kami yang terbitkan, dan toh, kami tidak menerima bantuan apapun dari Fakultas.

Waktu itu Polar menggunakan ruang Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) yang lebih sering kosong sebagai sekretariat bayangan. Kebetulan di saat yang sama saya Sekretaris BPM.

Sekretariat bayangan lainnya ada di Pondok Panineungan. Di tempat itu lay out dan rapat2 lebih sering dilakukan. Di masa kami Polar tak pernah benar-benar punya sekretariat atau kantor.

Ada sebuah demonstrasi di Kampus Jatinangor. Demonstrasi terbesar untuk masa itu. Yang terbesar dan yang pertama. Melibatkan teman2 dari berbagai fakultas, lintas organisasi, intra maupun ekstra. Secara umum saya bagi dua, ada yang merah, ada yang hijau.

Semua sepakat, bahwa harus ada satu gerakan bersama menuntut pemerintah dan meminta Pak Harto mundur. Tetapi, rapat sulit menemukan kesepakatan tentang siapa yang menjadi korlap aksi. Yang merah tidak mau bila yang hijau jadi korlap. Sebaliknya juga, yang hijau tidak mau bila yang merah jadi korlap.

Entah bagaimana dan siapa yang memulai, akhirnya di dalam rapat yang kalau tidak salah, dilakukan di Sekretariat BPM FISIP, atau setidaknya di kampus FISIP, disepakatilah saya menjadi korlap. Ini semacam jalan tengah.

Di akhir aksi, harus ada sikap yang dinyatakan di depan pasukan ABRI yang menjaga ketat aksi. Persoalan yang tadi muncul kembali. Siapa yang harus membacakan pernyataan sikap? Yang merah tak mau bila pernyataan sikap dibacakan yang hijau. Yang hijau pun ogah kalau yang merah membacakan pernyataan sikap.

Saya tak mau berlama-lama berdebat. Saya naik ke atas pot bunga dan membacakan pernyataan sikap itu.

Demo selesai dilakukan.

Demo pertama yang menegangkan.

Setelah itu, kedua kelompok ini tak pernah lagi menggelar aksi bersama. Gerakan mahasiswa Unpad di Jatinangor dan Dipatiukur terbelah.

Ada satu kejadian yang juga masih saya ingat, bentrok antara aktivis di Boulevard Unpad Jatinangor.

Saat itu saya sedang duduk mendengarkan keluhan atau protes seorang teman aktivis dari salah satu kubu. Dia mempertanyakan sikap kubu yang lain. Kami duduk di bawah deretan pohon pinang di dekat ATM BNI.

Tak jauh dari kami, demonstrasi yang dilakukan salah satu kelompok sedang berlangsung. Di saat saya dan teman itu sedang membicarakan soal2 perkubuan di kalangan mahasiswa, terdengar keributan dari Boulevard Unpad. Beberapa mahasiswa baku pukul.

Kami berlari ke arah demonstrasi untuk memisahkan perkelahian. Kebetulan, saya mengenal pihak2 yang terlibat dalam bentrokan. Perkelahian tak meluas.

Tapi suasana dingin di antara kelompok mahasiswa bertahan cukup lama. Saya lupa sampai kapan. Rasanya sampai Pak Harto mengundurkan diri dan diganti BJ Habibie.

Ini kenangan saya. Semoga kita bisa memetik pelajaran dari masa-masa yang telah berlalu.

Salam Indonesia.

Caracas, Venezuela,

22 Mei 2018

Leave a comment