Membedah Korea, dengan Game Theory Memadukan Tradisi Jurnalistik dan Akademik

Buku berjudul “Reunifikasi Korea: Game Theory” yang ditulis wartawan senior Teguh Santosa mendapat pujian dari Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria. Wamen Komdigi menyebutnya sebagai karya yang berhasil memadukan tradisi akademik dan jurnalistik.

Pujian Wamen Komdigi disampaikan dalam sambutan di acara peluncuran buku ini di Hall Dewan Pers, kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa siang, 18 Februari 2025.

Peluncuran buku dihadiri sejumlah tokoh pergerakan dan aktivis yang mengenal Teguh sejak lama. Antara lain, Wamen Koperasi Ferry Juliantono yang juga Ketua Umum IKA Unpad, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Alfian Mallarangeng, Direktur Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan, aktivis prodemokrasi Adhie Massardi, Komisaris PT PLN Andi Arief, Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Abdullah Rasyid, pakar komunikasi politik Hendri Satrio, produser film dokumenter Dandhy Dwi Laksono, serta mantan anggota DPR RI Akbar Faizal dan Ramadhan Pohan, juga mantan Dubes RI di Jepang Yusron Ihza.

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, Wakil Ketua Dewan Pers Agung Dharmajaya, anggota Dewan Pers Totok Suryanto dan Asep Setiawan juga hadir di tengah peluncuran bersama sejumlah wartawan senior dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan pengurus Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI).

Membahas konflik panjang dan prospek perdamaian di Semenanjung Korea, buku ini berpijak pada disertasi sang penulis di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung berjudul “Reunifikasi Korea dengan Keterlibatan Multipihak: Suatu Studi Melalui Game Theory”.

Nezar juga mengatakan, dalam mendekati subjek penelitian, Teguh yang pernah menjadi Ketua Bidang Luar Negeri PWI Pusat dan kini memimpin JMSI menggunakan dua pendekatan saling terkait. Pertama, pendekatan two-level games yang menyatakan bahwa kebijakan luar negeri setiap negara dipengaruhi oleh dinamika politik internal dan internasional. Kedua, game theory dengan setiap aktor berperan sebagai pemain yang berusaha menerapkan strategi terbaik mereka sambil di saat bersamaan menebak strategi lawan atau pesaing.

Selain itu, penulis yang mantan anggota Dewan Kehormatan PWI ini menggunakan pengalaman pribadi cukup panjang dalam berinteraksi dengan Korea Utara maupun Korea Selatan. Setidaknya sejak 2003 saat pertama kali berkunjung ke Pyongyang, ibu kota Korea Utara.

Anggota Lembaga Kerja Sama dan Hubungan Internasional (LKHI) PP Muhammadiyah itu telah belasan kali berkunjung ke Korea Utara untuk berbagai kegiatan, termasuk sebagai utusan khusus almarhumah Rachmawati Soekarnoputri untuk menyerahkan “Star of Soekarno” kepada Kim Jong Un yang diterima Presiden Presidium Kim Yong Nam pada 2015.

Selain ke Korea Utara, Teguh juga kerap berkunjung ke Korea Selatan untuk berbagai kegiatan, seperti memimpin delegasi wartawan Indonesia dan menjadi pembicara dalam Konferensi Wartawan Dunia.

“Hal-hal ini yang membedakan karya Mas Teguh dengan studi-studi lain yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai konflik dan prospek perdamaian di Semenanjung Korea. Selain itu, pengalaman sebagai wartawan membuat karya akademik ini menjadi mudah dan enak diikuti kalangan paling awam sekalipun,” ujar Nezar lagi.

Di dalam penelitiannya, Teguh mengapresiasi “two state solution” yang disampaikan Kim Jong Un pada pertengahan Januari 2024 sebagai jalan untuk mengakhiri konflik panjang.

“Bila penyelesaian itu yang disepakati, Mas Teguh merekomendasikan peaceful co-existence di antara kedua Korea. Namun begitu, dia menilai bahwa usulan itu bisa jadi baru sebatas hasil sementara mengingat dinamika di Semenanjung Korea melibatkan aktor-aktor lain yang berkepentingan langsung dengan kawasan terus berlangsung,” sambung Nezar.

Sebagaimana Nezar, Wamen Koperasi Ferry Juliantono juga memuji buku Teguh sebagai karya komprehensif dan memberikan perspektif strategis dalam memahami dinamika antara Korea Utara dan Korea Selatan.

“Saya sih mengusulkan (kepada Presiden Prabowo) agar Mas Teguh jadi special envoy Indonesia untuk Korea Utara,” sambung salah seorang pimpinan Partai Gerindra ini.

Bukan hanya Wamen Nezar dan Wamen Ferry yang memuji karya Teguh. Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) yang didirikan budayawan Jaya Suprana juga mengakui Teguh sebagai penulis pertama dari Indonesia yang menulis tentang isu reunifikasi Korea.

Piagam dan medali MURI untuk Teguh diserahkan oleh Senior Manager MURI Awan Rahargo yang hadir mewakili Jaya Suprana. Ini adalah karya kedua Teguh yang mendapatkan piagam rekor MURI.

Sebelumnya, pada 2023, Teguh juga mencatatkan rekor sebagai penulis buku berisi wawancara terbanyak dengan duta besar negara sahabat di Indonesia.

Selesai pemberian piagam dan medali MURI, acara berlanjut dengan bedah buku yang dimoderatori pengamat komunikasi politik dan pendiri KedaiKOPI Hendri Satrio.

Adapun pembicara dalam diskusi adalah Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi A. Mallarangeng yang pernah berkunjung ke Pyongyang pada 2010 sebagai utusan Presiden SBY, juga Pemimpin Redaksi Jakarta Post M. Taufiqurrohman, dan mantan Dubes RI untuk Jepang (2013-2016) Yusron Ihza.

Andi Mallarangeng yang sebelum terjun ke dunia politik dikenal sebagai ilmuwan politik menekankan arti penting people to people contact menuju perdamaian kedua Korea. Tanpa itu, sulit rasanya Korea Utara dan Korea Selatan berdamai apalagi menjadi satu negara.

“Bung Teguh di ujung disertasinya juga kehilangan harapan untuk model penyatuan. Sehingga dia beralih pada two state solution. Mungkin kalau people to people contact sudah jalan, business to business contact sudah jalan, mungkin bisa,” ujar Andi.

Sedangkan Taufiqurrohman mengatakan, ini adalah saat yang tepat bagi Prabowo untuk mengambil peran lebih besar di panggung internasional, utamanya dalam menjadikan Indonesia sebagai juru damai di Semenanjung Korea.

“Pak Prabowo punya ambisi internasional yang besar. Kalau ia ingin quick win, siapa tahu bisa berkontribusi untuk menawarkan jalan keluar konflik di Korea,” ujarnya.

Adapun Dubes Yusron mengemukakan, sebagai seorang mantan wartawan dirinya bangga pada Teguh yang sangat serius dalam melakukan penelitian mengenai konflik di Semenanjung Korea.

“Jadi kalau ada yang mengatakan wartawan pantas jadi dubes, aku ini dulu juga wartawan, bisa jadi dubes. Mengapa tidak kawan ini (Teguh) juga jadi dubes?” ujarnya.

Menurut dia bekal memadai sebagai wartawan akan banyak manfaatnya dalam konteks hubungan internasional dan geopolitik global. Tak terkecuali dalam dinamika di Semenanjung Korea. “Wartawan akan memainkan peranan besar untuk membuat hubungan Korea Utara dan Korea Selatan menjadi lebih baik lagi,” demikian Dubes Yusron.

Leave a comment