Blitzkrieg yang Menggulingkan Assad

Sepekan. Itu waktu yang dibutuhkan Hayat Tahrir Al Sham (HTS) untuk menggulingkan Bashar Al Assad dari kursi kekuasaan yang didudukinya sejak 2000.

Berdiri pada 28 Januari 2017, HTS merupakan hasil dari penggabungan sejumlah kelompok perlawanan bersenjata anti Assad di Suriah, seperti faksi Ahrar Al Sham dari Jaysh Al Ahrar, Jabhat Fateh Al Sham (JFS), Front Ansar Al Din, Jaysh Al Sunna, Liwa Al Haqq, dan Gerakan Nour Al Din Al Zenki. Kelompok-kelompok ini memiliki cerita panjang melawan rezim Assad. Setidaknya sejak Pemberontakan Musim Semi Arab tahun 2011.

Ini salah satu alasan yang menjelaskan mengapa HTS dapat merebut Damaskus dalam waktu singkat. Seperti blitzkrieg atau perang kilat Nazi Jerman ketika menginvasi Polandia di tahun 1939. Bahkan lebih singkat lagi.

Di saat perhatian masyarakat internasional terpaku pada perang yang tengah terjadi antara Rusia dan Ukraina sejak Februari 2022 dan pembantaian yang dilakukan Israel di Gaza menyusul serangan kelompok perlawanan Hamas di bulan Oktober 2023, pasukan HTS yang dipimpin Ahmed Hussein Al Sharaa alias Abu Mohammad Al Jolani pada Kamis malam, 28 November 2024, mulai merebut kota-kota kecil di Kegubernuran Aleppo di utara Suriah.

Pusat kota Aleppo direbut sehari kemudian. Pasukan Angkatan Bersenjata Suriah memilih menghindar dari serangan pasukan HTS dan melarikan diri ke kegubernuran lain di sekitar Aleppo seperti Idlib dan Latakia.

Aleppo merupakan satu dari 14 kegubernuran di Suriah. Dari sisi lokasi geografi, Aleppo sangat strategis. Ia adalah pintu yang menghubungkan Suriah dengan Turki. Lokasi ini memudahkan HTS menerima segala bentuk bantuan dari pihak-pihak lain untuk merebut kekuasaan.

Dari sisi jumlah penduduk, Aleppo adalah kegubernuran dengan jumlah penduduk terbanyak (4,6 juta jiwa), diikuti Kegubernuran Rif Dimashq (2,8 juta jiwa), dan Kegubernuran Damaskus (2,2 juta jiwa). Dari sisi ukuran, Aleppo adalah yang terbesar keenam setelah Homs, Deir Ez Zour, Al Hasakah, Raqqa, dan Rif Dimashq.

Pusat kota Aleppo berjarak sekitar 350 kilometer dari ibukota Damaskus. Seperti Damaskus, Aleppo juga merupakan salah satu kota tertua di dunia yang ditempati manusia secara terus menerus.

Dari Aleppo, Ahmed Al Sharaa dan pasukan melanjutkan gerakan mereka merengsek ke arah selatan, merebut satu per satu kota penting dalam perjalanan menuju Damaskus. Idlib, Hama, dan Homs, sampai akhirnya tiba di Damaskus, Sabtu malam, 7 Desember 2024.

Keesokan harinya, Minggu, 8 Desember 2024, masyarakat internasional mendapatkan kepastian bahwa pemerintahan Suriah telah tumbang dan Bashar Al Assad melarikan diri ke Rusia yang selama ini menjadi salah satu negara pendukung pemerintahannya.

Adapun Perdana Menteri Mohammed Al Jalali sudah lebih dahulu menyampaikan pernyataan takluk dan mengatakan siap bekerjasama dengan pemerintahan baru Suriah. Angkatan Bersenjata Suriah juga tidak memberikan perlawanan sama sekali. Mereka seperti mempersilakan pasukan lawan memasuki benteng pertahanan terakhir dan merebut mahkota.

Setelah memastikan Damaskus berhasil ditaklukkan, Ahmed Al Sharaa menyampaikan pidato kemenangan di Masjid Umayyad di Damaskus Tua. Ini masjid yang menyimpan banyak cerita dalam sejarah perkembanganIslam. Pernah menjadi pusat pemerintahan Bani Ummayah yang didirikan Muawiyah bin Abu Sofyan yang berkuasa dari 661 sampai 680 M.

Sebelum menjadi Masjid Umayyad, ia adalah Basilika John the Baptist. Namanya diberikan untuk mengenang sang martir yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai Nabi Yahya AS. Sebelumnya lagi Kekaisaran Romawi membangun kuil di tempat ini untuk menyembah Dewa Yupiter. Beberapa referensi menyebutkan, bahkan sejak Zaman Besi lokasi di mana Masjid Umayyad berdiri ini telah menjadi tempat suci.

โ€œKemenangan ini, saudara-saudaraku, adalah kemenangan bagi seluruh negara Islam. Kemenangan ini, saudara-saudaraku, menandakan babak baru dalam sejarah kawasan. Suriah sedang dimurnikan oleh kasih dan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan upaya Mujahidin yang heroik,โ€ ujar Sharaa dalam pidato kemenangannya.

Untuk menjalankan pemerintahan, pada 10 Desember 2024 Kepala Negara Ahmed Al Sharaa menunjuk Mohammad Al Bashir sebagai Perdana Menteri.

Saat buku ini sedang disusun, Januari 2025, HTS sedang memanen dukungan dari berbagai negara, termasuk negara-negara Barat yang dulu sempat mengisolasi dan memasukkannya ke dalam daftar teroris.

Pada 12 Desember 2024, Turki membuka kembali kedutaan di Damaskus yang telah tutup selama 12 tahun. Hubungan kedua negara ini memburuk di tahun 2012. Turki menuding Suriah tidak dapat menjaga keamanan kawasan dan mengalirkan persoalannya ke Turki. Tidak kurang dari 3 juta pengungsi Suriah mencari perlindungan di Turki, yang lama kelamaan menjadi beban ekonomi dan sosial bagi pemerintah dan masyarakat Turki.

Deputi Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Dekat, Barbara Leaf, usai bertemu dengan pimpinan HTS di Damaskus, Jumat, 20 Desember 2024, mengatakan, sebagai bentuk dukungan pada pemerintahan baru Suriah, Washington DC mengakhiri sayembara berhadiah 10 juta dolar AS bagi siapapun yang bisa menangkap Ahmed Al Sharaa.

Adapun Jerman dan Prancis lebih dahulu menyatakan siap bekerja sama dengan penguasa baru Suriah. Donald Trump yang sedang menunggu pelantikan dirinya kembali menjadi presiden AS awalnya bersikap hati-hati dan mengatakan bahwa AS tidak perlu melibatkan diri dalam konflik yang terjadi di Suriah. Namun belakangan, Trump memuji manuver Turki menggunakan kelompok pemberontak Suriah untuk menggulingkan Bashar Al Asaad.

Qatar yang selama 13 tahun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Suriah juga telah membuka kembali kedutaan mereka di Damaskus. Perbaikan hubungan diplomatik ini diikuti dengan kunjungan delegasi kabinet pemerintahan transisi Suriah ke Doha untuk membicarakan berbagai program pembangunan Suriah pasca Assad. Di antara menteri pemerintahan transisi yang ikut dalam rombongan adalah Menteri Luar Negeri Asaad Al Shaibani, Menteri Pertahanan Morhaf Abu Kasra, dan Kepala Intelijen Anas Khattab.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky termasuk yang menyambut gembira keberhasilan kelompok oposisi mengusir Assad dari Suriah. Bagi Ukraina, Suriah di era Assad adalah indikator penting untuk mengukur kekuatan Rusia yang menginvasi Ukraina pada Februari 2021. Kejatuhan Assad dapat dibaca sebagai tanda dukungan Rusia untuk mempertahankan rezim Assad tidak maksimal. Dan itu bisa juga dibaca sebagai sinyal kemampuan Moskow telah berkurang sangat signifikan.

Bagaimana dengan Assad? Dalam sebuah pernyataan tertulis yang dipublikasikan Senin, 17 Desember 2024, Assad mengisyaratkan pengakuan akan kekalahan kali ini melawan kelompok pemberontak yang dia sebut teroris. Hingga Minggu dinihari, 8 Desember 2024, Assad masih berada di Damaskus dan berusaha memainkan semua kartu yang dia punya untuk menghadang laju kelompok pemberontak seperti yang pernah berhasil dilakukannya di masa Pemberontakan Musim Semi Arab di tahun 2011. Juga saat dia menghadapi upaya Negara Islam Irak dan Syam (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS) di tahun 2014-2015.

Minggu pagi itu, saat pasukan pemberontak mulai menyusup ke Damaskus, Assad dan keluarga pindah ke Latakia. Dari kota di pinggir laut itu ia berkoordinasi dengan kamerad Rusia yang dimiliknya. Karena kondisi di lapangan semakin rumit, Assad akhirnya memutuskan pergi meninggalkan Suriah menuju Moskow.


Perubahan politik tentu bukan hal baru di negeri yang kini disebut Suriah. Berbagai jenis rezim pernah berkuasa di wilayah yang karena berada di kawasan Hilal Subur (Fertile Crescent) dengan sendirinya sering diperebutkan berbagai kelompok manusia sejak masa prasejarah. Menurut sejumlah catatan, peradaban pribumi pertama di Suriah dibangun Kerajaan Ebla. Berdiri sekitar 3500 SM, kerajaan ini berada di utara Suriah, di sekitar Idlib saat ini. Ebla menjalin hubungan dengan negeri-negeri Mesopotamia, kawasan Hilal Subur lain di sekitar Sungai Efrat dan Sungai Tigris yang mengalir dari Turki, melintasi Suriah dan Irak sebelum bermuara di Teluk Persia.

Sekitar abad ke-23 SM pengaruh Ebla mulai meredup setelah ditaklukkan Kerajaan Mari yang punya pemerintahannya berada di tepi Sungai Efrat, di dekat kota Abu Kamal kini yang masuk dalam Kegubernuran Deir Ez Zour di Suriah. Pada abad ke-18 SM, Kerajaan Mari yang berdiri sekitar abad ke-29 SM ditaklukkan Hammurabi penguasa Babilonia di Irak kini. Namun Mari baru benar-benar pudar di abad ke-3 SM.

Sejak abad ke-18 SM hingga masa-masa selanjutnya berbagai komunitas di kawasan yang subur itu berkembang dan tumbuh menjadi pemukiman-pemukiman yang kelak memiliki karakter sosial, politik, dan ekonomi yang unik satu sama lain.

Gaius Plinius Secundus atau Plini Tua, seorang filsuf yang juga komandan angkatan laut dan angkatan darat yang hidup di abad pertama Emporium Romawi, menggambarkan Suriah sebagai wilayah yang berada di sisi timur Mediterania, di antara gurun pasir Arabia yang luas di selatan dan Asia Kecil di utara. Kawasan itu terbentang hingga jauh ke timur mencakup sebagian Irak. Di masa itu pula wilayah Suriah dibagi menjadi beberapa provinsi yang memberikan pengaruh pada penamaan bangsa dan negara di abad-abad setelahnya sampai hari ini.

Buku โ€œWorld and its peoples. Middle East, Western Asia and Northern Africaโ€ (2006) yang ditebitkan Marshall Cavendish di New York mencatat, sebelum diduduki penakluk Muslim pada abad ke-7, Suriah adalah rumah bagi penguasa Yunani dan Romawi. Sebagian besar penduduk Suriah adalah bangsa Aramean. Sementara bangsa Asyur tinggal di timur laut, bangsa Fenisia di sepanjang pantai, serta komunitas Yahudi dan Armenia menetap di sejumlah kota besar. Adapun bangsa Nabatean dan bangsa Arab pra-Islam seperti Lakhmid dan Ghassanid menetap di padang pasir Suriah di selatan.

Pada masa itu Kristen merupakan agama utama di Suriah. Namun ditemukan juga penganut agama dan kepercayaan lain seperti Yudaisme, Mithraisme, Manicheanisme, agama tradisional Yunani-Romawi, agama bangsa Kanaan, dan agama bangsa Mesopotamia. Karakteristik alam dan sosialnya yang begitu kaya membuat Suriah menjadi salah satu provinsi Romawi dan Bizantium yang paling penting selama abad ke-2 dan ke-3 M.

Pada tahun 640 M, panglima perang Muslim, Khalid bin Walid, menaklukkan Damaskus. Pada tahun 661 M, Muawiyah bin Abu Sofyan memindahkan pusat pemerintahan Muslim dari Madinah ke Damaskus. Muawiyah adalah keturunan dari Umayya bin Abd Shams yang merupakan sepupu Abdul Muthalib kakek Nabi Muhammad SAW.

Di masa Perang Salib, di abad ke-11 M dan ke-12 M, sebagian wilayah Suriah jatuh ke tangan Pasukan Salib. Lalu pada abad berikutnya penakluk Kurdi-Islam, Salahuddin Al Ayubbi, merebut Damaskus dan menjadikannya bagian dari Dinasti Ayyubi yang memiliki pusat pemerintahan di Mesir. Di abad ke-13, Aleppo dan Damaskus direbut bangsa Mongol. Tidak lama kemudian, balatentara Mamluk yang merupakan bekas budak non-Arab merebut Mesir dan menjadikan Suriah salah satu provinsi dengan Damaskus sebagai ibukota.

Pada abad ke-16 giliran Kesultanan Mamluk di Mesir ditaklukkan Emporium Turki Utsmaniah. Di masa yang cukup panjang, bani Utsmaniah menerapkan sistem sosial yang memungkinkan semua kelompok bangsa dan etnoreligius, seperti Muslim Syiah Arab, Muslim Sunni Arab, Ortodoks Suriah, Ortodoks Yunani, Kristen Maronit, Kristen Asiria, Armenia, Kurdi, dan Yahudi hidup berdampingan secara damai.

Memasuki abad ke-20, obsesi Turki Utsmaniah menjadi penguasa dunia bersama Emporium Jerman, Austria-Hungaria, dan juga Bulgaria, berakhir tragis. Koalisi ini kalah dalam Perang Dunia Pertama yang berlangsung antara 1914 sampai 1918. Utsmaniah kehilangan begitu banyak wilayahnya, dari Afrika Utara, gurun pasir Arabia, dan wilayah di sisi timur Mediterania atau Suriah.

Sebelum perang berakhir, di tahun 1916 dua diplomat Sekutu, Francois Georges-Picot dari Prancis dan Mark Sykes dari Inggris menjalin kesepakatan rahasia untuk membagi wilayah Turki Utsmaniah di luar gurun pasir Arabia di bawah kendali dan pengaruh Inggris dan Prancis.

Di dalam perjanjian itu Inggris mendapatkan wilayah yang kini dikenal sebagai Israel dan Palestina, Yordania, Irak, dan pelabuhan Haifa dan Acre sebagai akses ke Mediterania. Sementara Prancis mendapatkan kontrol atas wilayah tenggara Turki, Kurdistan, Lebanon, dan tentu saja Suriah.

Era pasca Great War diawali dengan Kerajaan Suriah yang dipimpin Raja Faisal I dari Bani Hasyimiyah. Kekuasaan Faisal I, yang juga menguasai Yordania, Irak, dan Hejaz, atas Suriah hanya berlangsung beberapa bulan. Liga Bangsa Bangsa yang didirikan pemenang Perang Dunia Pertama tahun 1919 memberikan mandat kepada Prancis untuk berkuasa di Suriah. Setahun kemudian, Suriah menjadi anggota LBB dengan batas-batas wilayah yang kita kenal sampai hari ini.

Walau Prancis akhirnya menyepakati kemerdekaan Republik Suriah dengan Hashim Al Atassi sebagai presiden pada tahun 1936, namun kemerdekaan itu secara de facto baru terjadi sepuluh tahun kemudian. Di tahun 1950 Suriah mengadopsi konstitusi baru berciri multipartai yang melahiran Republik Suriah Kedua. Demokrasi multipartai di Suriah sempat diinterupsi oleh tokoh militer bertangan besi Adib Shishakali di tahun 1953. Dia membubarkan partai, menutup koran yang tidak mendukungnya serta menangkap tokoh-tokoh oposisi termasuk dari kalangan militer.

Kekuasaan Shishakali tidak berusia panjang. Di tahun 1954 kudeta yang dipimpin mantan presiden Atassi berhasil menggulingkannya. Shishakali melarikan diri ke Brazil. Di tahun 1958 Shishakali kembali merancang kudeta. Tapi kali ini rencana makar yang digalangnya dipatahkan dengan mudah, dan dia kembali melarikan diri ke Brazil dan dijatuhi hukuman mati in absentia. Di bulan September 1964, Shishakali akhirnya tewas di Brazil. Dia dibunuh warga Suriah, Nawaf Ghazaleh, yang membalas dendam kematian kedua orang tuanya dalam pembantaian di Bukit Druz ketika Shishakali berkuasa. Ghazaleh menghujani tubuh Shishakali dengan lima tembakan.

Di tahun 1958, Republik Suriah Kedua bergabung dengan Mesir mendirikan Republik Arab Bersatu yang bertahan sampai 1961 setelah kelompok militer melakukan kudeta merebut kekuasaan di Suriah.

Di tahun 1963 giliran Partai Sosialis Arab Baath yang di dalamnya terdapat anasir militer Suriah, melancarkan kudeta. Tiga tahun setelah itu Komite Militer di tubuh partai itu terbelah. Kali ini kudeta internal dilancarkan kelompok perwira junior. Mereka mengangkat politisi sipil Nureddin Al Atassi sebagai kepala negara. Namun penguasa sesungguhnya adalah perwira militer Salah Jadid.

Di tahun 1970, Menteri Pertahanan Suriah Hafez Al Assad tampil ke permukaan. Dia menggulingkan Jadid dan menjadi presiden Suriah sampai meninggal dunia di tahun 2000.

Assad memerintah Suriah dengan tangan besi. Tentakel kekuasaannya begitu tajam mencengkeram. Tidak hanya Partai Baath, tapi juga Angkatan Bersenjata, birokrasi, dunia pendidikan, bidang agama dan budaya. Pers dibungkam, oposisi dipersekusi. Kronisme dan kultus individu menjadi ciri lain dari kekuasaan Assad.

Sebenarnya Hafez telah menyiapkan Bassel Assad putra sulungnya untuk melanjutkan kekuasaan keluarga mereka. Sejak awal Bassel dididik khusus menjadi perwira militer dan politisi. Namun di tahun 1994 Bassel tewas dalam sebuah kecelakaan. Maka Hafez pun memanggil pulang putranya yang lain Bashar Assad yang sedang menyelesaikan pendidikan dokter di Inggris.

Di tahun itu juga Bashar mengikuti pendidikan militer di Homs. Tamat dari sekolah perwira, kariernya dikatrol sedemikian rupa sehingga menjadi kolonel di tahun 1999. Ayahnya juga memberikan sejumlah tugas pemerintahan kepada Bashar, dia memimpin biro khusus yang dibentuk untuk menampung keluhan rakyat. Dia juga memimpin kampanye antikorupsi, yang digunakan untk menyingkirkan tokoh-tokoh yang berpotensi menghalangi perjalannya ke kursi kekuasaan Suriah.

Ketika ayahnya meninggal dunia 6 Juni 2000, Bashar telah memiliki barisan loyalis yang sangat kuat dan efektif. Konstitusi Suriah yang mengatur syarat usia minimal presiden diubah dari 40 tahun menjadi 34 tahun, usia Bashar saat itu. Sebulan setelah kematian Hafez, Bashar Assad pun menjadi satu-satunya calon dalam pemilihan presiden. Selain itu, Bashar juga diangkat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Suriah dan pemimpin Partai Baath.

Bashar yang oleh banyak orang yang mengenalnya sering disebut sebagai pribadi yang pemalu, jarang memandang mata lawan bicara, dan selalu berbicara dengan suara rendah dan pelan, dalam waktu singkat menjadi orang paling kuat di Suriah.

Selebihnya kita sudah sama-sama tahu. Di bulan Desember 2024, kita kembali melihat perubahan penguasa di negeri ini, perubahan yang abadi.


Saya mengunjungi Suriah di bulan Maret dan April 2003, menjelang serangan pasukan koalisi multinasional yang dipimpin Amerika Serikat dan Inggris ke Irak untuk menggulingkan Saddam Hussein.

Sebetulnya saya ingin langsung ke Irak. Tapi Kedutaan Irak di Jakarta mengatakan, visa untuk saya akan diberikan Kedutaan Irak di Damaskus.

โ€œInsya Allah,โ€ kata Second Secretary Kedutaan Irak, M Walid Al Amin.

Saya bertemu dengannya di Universitas Bung Karno (UBK) ketika ia mendampingi empat utusan Presiden Saddam Hussein yang berkunjung ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Selain bertemu dengan pejabat dan lembaga pemerintah Indonesia, mereka juga menemui pendiri UBK, Rachmawati Soekarnoputri, yang beberapa tahun sebelumnya pernah berkunjung ke Baghdad untuk berbicara di sebuah pertemuan internasional.

Tapi Kedutaan Irak di Damaskus mengatakan tak ada visa untuk saya.

Tak puas dengan jawaban itu, ditemani dua mahasiswa Indonesia di Damaskus saya langsung ke pintu perbatasan Suriah dan Irak di kota kecil Abu Kamal di Der Az Zour, yang jaraknya sangat dekat dengan Sungai Efrat.

Tapi petugas imigrasi di Abu Kamal juga tak memberi kesempatan kepada saya untuk melintas meninggalkan Suriah memasuki Irak tanpa visa Irak.

Akhirnya saya bertahan di Suriah dan mengamati perkembangan di Irak dan kawasan dari Damaskus. Tempat yang sering saya kunjungi adalah Distrik Sayyidah Zaenab. Di sana saya bertemu dengan banyak orang Irak. Saya juga sempat menyeberang memasuki Turki untuk melihat sentimen yang berkembang di Turki tentang ketegangan itu.

Sebulan sebelum perjalanan saya ke Suriah, pada tanggal 5 Februari 2003 Menteri Luar Negeri AS Colin Powell di hadapan Dewan Keamanan PBB mempresentasikan apa yang mereka percaya sebagai bukti kuat bahwa Irak tengah mengembangkan senjata pemusnah massal. Menurut AS, aksi Irak ini harus dihentikan dengan cara apapun termasuk dengan mengerahkan pasukan multinasional.

Pernyataan Powell di depan sidang Dewan Keamanan PBB ini adalah kelanjutan dari pernyataan yang disampaikan Presiden Amerika Serikat George W. Bush setahun sebelumnya, 29 Januari 2002. Ketika itu Bush menuding Irak sebagai satu dari tiga anggota Poros Setan atau Axis of Evil bersama Iran dan Korea Utara.

Awalnya Saddam Hussein dituduh memiliki kaitan dengan Al Qaeda yang didirikan Osama bin Laden yang bertanggung jawab atas serangan yang menghancurkan menara kembar World Trade Centre di Lower Manhattan, New York, pada 11 September 2001. Kemudian Irak dituding melakukan pengayaan uranium untuk senjata nuklir. Konsentrat uranium yang telah diproses menjadi bubuk berwarna kuning, disebut Yellowcake, itu menurut laporan intelijen AS dibeli Irak dari Niger.

Tuduhan AS ini belakangan tidak terbukti. Powell dalam sebuah pernyataan di tahun 2008 mengakui bahwa informasi mengenai senjata pemusnah massal dan laboratorium bergerak yang disampaikannya di sidang Dewan Keamanan PBB lima tahun sebelumnya bersumber dari laporan yang keliru.

Buku yang berada di tangan pembaca ini adalah kumpulan reportase harian saya dari Suriah pada masa itu. Memang laporan-laporan ini terpisah 22 tahun dari peristiwa politik mutakhir di kawasan Timur Tengah, terutama Suriah.

Namun saya kira, catatan di masa lalu adalah salah satu elemen penting yang tidak dapat diabaikan dalam memahami dinamika di masa kini. Saya berharap, penerbitan buku ini menambah khasanah kita dalam membaca dinamika politik kawasan Timur Tengah.

โ€œDalam ketidakkonsistenan dan hingar bingar berbagai peristiwa, tidak ada yang pasti kecuali masa lalu,โ€ begitu kata Lucius Annaeus Seneca suatu kali.

Saneca adalah seorang filsuf, penulis drama pada abad pertama Romawi yang juga pernah menjadi penasihat Kaisar Nero yang berkuasa dari tahun 54 sampai 68 M. Kaisar Nero sendiri dikenal dan dicatat sejarah sebagai seorang tiran, penguasa zalim, yang paling kejam di antara yang kejam-kejam.

Salam hormat.

Istanbul, 8 Januari 2025

Leave a comment