Wawancara dengan Prof. Miriam Budiardjo

Prof. Miriam Budiardjo lahir di Kediri, Jawa Timur, 20 November 1923, sebagai anak ketiga dari pasangan Saleh Mangundiningrat dan Isnadikin Citrokusumo. Ayahnya dikenal sebagai salah seorang dokter bedah pertama Indonesia di era kolonial yang mendapatkan gelar Doktor dari Universiteit Amsterdam tahun 1929.

Tradisi intelektual terasa kental di keluarga ini.

Anak pertama keluarga ini, Siti Wahyunah alias Poppy, menikah dengan Sutan Sjahrir yang merupakan Perdana Menteri pertama Indonesia (1945-1947) dan pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Soedjatmoko yang merupakan anak kedua, adalah anggota Badan Konstituante (1956-1959), Duta Besar RI untuk Amerika Serikat (1968-1971), dan Rektor Universitas PBB (1980-1987).

Sementara anak keempat, Nugroho Wisnumurti, pernah menjadi Duta Besar RI untuk PBB (1992-1997) dan Presiden Dewan Keamanan PBB (1995-1996).

Prof. Miriam Budiardjo mungkin lebih dikenal karena buku biru “Pengantar Ilmu Politik” yang ditulisnya dan merupakan bacaan wajib bagi mahasiswa jurusan politik, pemerintahan, dan hubungan internasional.

Namun lebih dari itu, Ibu Mir ikut mendirikan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial (FIS) Universitas Indonesia bersama sejumlah rekannya seperti Sujono Hadinoto, Selo Soemardjan, Sulaiman Sumardi, TO Ihromi, dan G Pringgodigdo. Pada periode 1974-1979 dia menjadi Dekan FISIP UI menggantikan Selo Soemardjan.

Di masa mudanya, Ibu Mir pernah bertugas di Sekretariat Delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville (1947-1948). Lalu sebagai diplomat RI di New Delhi, India, dan Washington DC, Amerika Serikat. Ibu Mir dicatat sebagai diplomat perempuan pertama di Indonesia.

Ibu Mir menyelesaikan pendidikan S-2 di Georgetown University, Washington DC, dan sempat mengikuti program S-3 di Harvard University, Cambridge, AS. Gelar doctor honoris causa didapatnya dari almamaternya, FISIP UI, pada tahun 1997.

Dari tahun 1993 sampai 1998, Ibu Mir menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Pada 16 Mei 1998, di tengah situasi politik yang tengah memanas, Ibu Mir bersama Rektor UI Prof Dr dr Asman Boedisantoso dan delegasi Rektorat UI menemui Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Menteng.

Delegasi Rektorat UI merasa berkewajiban menyampaikan hasil Simposium Kepedulian UI terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia yang digelar sebelumnya. Karena merupakan tokoh paling senior dalam delegasi, Ibu Mir ditunjuk untuk membacakan hasil simposium itu di hadapan Pak Harto.

Butir pertama yang dibacakan Ibu Mir berbunyi, “Menyambut baik kesediaan Bapak (Soeharto) untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden.”

Namun ia tidak membacakan bagian berikutnya yang berbunyi, “Mendesak agar dilaksanakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.”

Prof. Miriam Budiardjo menerima Bintang Jasa Utama Pengabdian tahun 1995 dan Bintang Mahaputra Utama tahun 1998.

Sejumlah buku yang ditulisnya adalah “Dasar-dasar Ilmu Politik” (1972), “Dasar-dasar Ilmu Politik Ekonomi” (2008), “Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun” (1992), “Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila” (1994), dan Menggapai Kedaulatan Rakyat” 75 Tahun Prof. Miriam Budiardjo” (1998).

Buku penting lain yang pernah ditulisnya pada 1956 berjudul “The Provisional Parliament in Indonesia”.

Ibu Mir menikah dengan Ali Budiardjo yang lahir di Karanganyar pada tahun 1913 dan meninggal dunia pada 1999. Ali Budiardjo merupakan orang Indonesia pertama yang menduduki posisi Direktur Utama Freeport Indonesia. Dia juga pernah bertugas di Departemen Penerangan (kini Kementerian Komunikasi dan Digital). Di masa mudanya, Ali Budiardjo juga pernah menjadi Sekretaris Delegasi Indonesia pada Perundingan Linggarjati dan anggota Delegasi Indonesia pada Perjanjian Reville.

Miriam dan Ali memiliki seorang anak perempuan, Gitayana, yang menikah dengan sosiolog Iman B. Prasodjo.

Prof. Miriam Budiardjo meninggal dunia pada 8 Januari 2007 dan dimakamkan di Pemakaman Giri Tama, Parung, Bogor.


Berikut ini adalah transkrip wawancara dengan Prof. Miriam Budiardjo pada suatu hari di tahun 1999 di kediamannya di Jalan Proklamasi No. 37.

Menurut Anda, dari kacamata ilmu politik, apa yang sedang terjadi di Indonesia?

Saya kira apa yang kita lihat sekarang adalah satu gejala yang muncul sebagai refresh. Sebelumnya tidak dibenarkan bicara politik. Jadi, dengan kebebasan yang terjadi, sekarang meledak semua. Banyak partai, banyak pendapat yang kritis terhadap pemerintah. Ya, seperti tahun 1945 lah, setelah merdeka dari Jepang.

Wajarkah ephoria politik macam ini?

Saya kira wajar. Kita melihat suatu gejala partai berdiri, tapi lebih banyak yang didasarkan pada person saja. Dan banyak juga aliran-aliran yang sebenarnya sama, sekarang mendirikan banyak partai. Jadi ini merupakan satu gejala yang menarik, dalam arti perlu diperhatikan.

Apakah banyaknya partai itu menjadi ukuran tingkat partisipasi politik?

Dilihat dari sudut partisipasi politik sekarang ini, merupakan sesuatu yang meledak, boleh dikatakan. Tetapi memang yang diharapkan itu agar suatu ketika ada suatu kristalisasi. Jadi, barangkali beberapa partai kecil bergabung dengan partai besar, supaya ada lebih banyak partai besar, sedikit tapi partai besar memang ideal. tetapi mungkin ini karena keadaan yang begitulah.

Juga terpolarisasi ke dalam beberapa kekuatan?

Ya, mungkin nanti dengan pemilu itu merupakan satu cara dimana satu partai nanti berkoalisi dengan partai-partai lain. Sebab kalau terlalu kecil mereka tidak dapat masuk DPR, ya. Jadi tetap saja di luar. Mereka kan juga ingin berpartisipasi dalam proses untuk membuat keputusan

Lalu, seperti apa baiknya?

Ya, lebih baik jangan kecil-kecillah. Kita dalam masa parlementer yang ikut pemilu ada 20 partai. Memang waktu itu ternyata ada empat besar; Masyumi, PNI, NU, dan PKI, jadi yang lainnya kecil-kecil. Tapi saya kira lebih efisien kalau kita punya empat atau lima partai besar.

Tentu disesuaikan dengan sistem pemilunya, kan?

Ya, ini mengenai sistem pemilu memang belum fix. Dari Depdagri memang pemilu itu mau menggunakan sistem distrik 420 kursi, dan 75 dengan sistem proporsional. Jadi memang agak aneh sistem ini, mungkin unik di dunia ini. Tapi ini merupakan usaha untuk menggabungkan dua sistem.

Kalau saya sendiri dan beberapa teman, LIPI juga demikian, memandang untuk pemilu yang sekarang ini jangan banyak yang berubah, karena sistem distrik berbeda dengan proporsional.

Kita kan sudah biasa sistem proporsional, sudah tujuh kali. Jadi kan bulan Mei nanti sudah ada pemilu, itu kan kita perlu konsensus dulu, kemudian baru jadi UU, masih berapa lama itu.

Sekarang sudah Agustus. Kalau Oktober sudah bisa ya, barang kali baru November. Lantas maunya mengadakan SU (Sidang Umum MPRI RI) dulu, baru bulan Mei mendatang pemilu.

Tetapi partai kecil yang baru terbit itu sulit mendapat tempat di masyarakat, kalau pemilu itu kan yang paling perlu massa, bukan policy dari orang. Yang dilihat adalah massa

Cuma itu alasan tidak digunakannya sistem distrik?

Ya, saya berpendapat demikian

Bukan karena kemungkinan mengarah disintegrasi?

Saya tidak melihatnya begitu. Saya hanya takut, dengan sistem distrik, masyarakat akan kaget. Sebab dengan sistem proporsional kita sudah terbiasa, 70% suara dapat 70% kursi. Itu buat kita sudah otomatis kan, partai dengan 30% suara mendapat 30% kursi.

Nah ini tidak terjadi dengan pemilu distrik. Sebab dengan distrik partai besar menjadi semakin besar dan yang kecil menjadi kecil. Jadi misalnya partai yang tadinya mendapat 70% suara bisa dapat, 70% kursi bisa saja mendapat 80%, dan partai kecil yang mendapat 30% suara hanya dapat 20% kursi. Itu akibat sistem distrik murni.

Soal kebijakan-kebijakan Habiebie, apakah ini semacam strategi besar, atau…

Ndak. Ini kan spontan. Dia tidak buka kran dan tidak bilang apa-apa untuk partai, tapi kemudian tumbuh subur partai, itu pun belum ada peraturannya. Makanya, mungkin partai-partai kecil tidak diakui untuk masuk pemilu. Tapi sebagai presure group misalnya boleh saja. Jadi bukan dia punya policy, tapi secara spontan memang begitu.

Bagaimana Anda melihat ini sampai terjadi?

Saya kira trigger, pemicunya itu turunnya Suharto. Dia turun kan setelah aksi masyarakat.

Maksudnya, kenapa setelah 30 tahun bisa seperti itu

Saya kira sudah lama terpendam ya. Cuma kan tidak diberi kesempatan untuk muncul. Dulu kan tidak boleh ada partai-partai, selain yang tiga itu. Keterbukaan kan baru akhir-akhir ini saja. Saya kira salah satunya masyarakat kita semakin maju. Ini mungkin juga karena keberhasilan pembangunan.

Bagaimana tentang dwifungsi ABRI?

Ya dikurangi lah.

Termasuk di DPR?

Kalau saya pribadi, saya pikir kita lihat saja realitas. Barangkali cita-cita kita adalah untuk tidak ada lagi, itu semua orang saya kira. Tetapi kalau kita lihat (sekarang) mereka itu kekuatan yang paling terorganisir, mempunyai pengaruh besar di dalam masyarakat. Jadi ada baiknya mereka diberi kesempatan juga, tapi jumlahnya jangan terlalu banyak, kalau menurut Depdagri kira-kira 50-55 (kursi).

Untuk FABRI, ya…

Ya. Nah itu terlalu banyak. Menurut saya, satu atau dua untuk tiap komisi. Kalau untuk sekarang ya, sekitar 22 kursi, tapi ndak tahu nanti perkembangannya, hanya supaya di tiap komisi itu ada. Tapi banyak yang hanya ingin di MPR, sebagai wakil golongan.

Tapi saya kira masih merupakan satu golongan yang sangat kuat. Meski pamornya sedang pudar, tapi toh mereka masih akan mengambil peranan untuk kesatuan kita, ya pulau di kepulauan kita. Kepulauan kita memerlukan satu factor yang kohesif yang mempersatukan, nah ini lewat ABRI.

Tapi kan ironi juga, Ketika sekarang kita melihat di Timor Timur ABRI ditarik karena kasus HAM, di Aceh juga, dan di banyak wilayah lain…

Ya, policy yang sekarang memang terlalu security aproach. Nah, dia harus belajar untuk tidak terlalu demikian. Ini pelajaran untuk ABRI. Mereka tercoreng mukanya. Apalagi di Aceh itu bukan main ganasnya, yang paling menderita itu Aceh, ya. Semua itu terungkap sekarang. Diharapkan mereka itu sekarang menyadari harus mengurangi dwi-fungsi.

Dari kacamata ilmu politik, sebaiknya militer itu berperon seperti apa?

Ya, mereka di DPR misalnya. Tapi misalnya sebagai gubernur, bupati, camat, sebaiknya dari sipil saja. Sampai sekarang kan mereka mempunyai struktur seperti pemerintah daerah, persis di sampingnya selalu ada militer. Itu saya kira harus berubah.

Ekstra konstitusional barangkali ya, seperti Bakorstanas dan segala itu…

Begini, untuk mengatakan ekstra konstitusional barangkali sukar, karena konstitusi kita itu pendek. Dia tidak mengatakan boleh-ndak boleh. Dia sama sekali tidak bicara mengenai ABRI.

Tapi kan, secara tertulis, formil…

Ya, itu ada undang-undangnya, tentu kita bikin. Tetapi kalau kita mau menyatakan sesuatu itu konstitusional, kita harus melihatnya dari Undang Undang Dasar. Misalnya pemilu saja tidak ada di dalam undang-undang kita. Tidak ada partai. Tapi tidak berarti itu tidak boleh ada partai atau pemilu. Jadi untuk mengatakan sesuatu itu konstitusional itu susah, karena UUD kita tidak menyatakan melarang atau membolehkan.

Sehingga itu bisa dibilang sebagai akar masalah bagi ketatanegaraan kita?

Kita jangan lupa kenapa kita kembali ke UUD 1945 pada 1959 karena kita tidak berhasil mencapai konsensus antara dua kelompok, nasionalis dan agama. Itu menyangkut dasar negara. Itu menyebabkan Konstituante tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian pemerintah waktu itu, di antaranya Pak Nasution, mengatakan, “kalau tidak bisa mencapai konsensus bagaimana kalau kita kembali ke UUD 1945”.

Ini yang menjadi masalah kita sendiri tidak berhasil untuk membikin satu UUD yang baru. Nah, karena menyangkut dasar negara lalu pemerintah mengusulkan kembali ke UUD 1945, diterima sebenarnya, tapi tidak sampai memenuhi dua per tiga.

One Reply to “”

  1. Terima kasih atas posting ini, Mas. Memang keluarga cendekia itu.

    Saat saya mewawacarai Asmara Nababan setelah dia tak di Komnas HAM, terkatakan bahwa saat Komisi membahas Freeport, Ibu Mir keluar, tak ikut rapat. Saat Komisi membahas HKBP, Asmara yang tidak ikut.

    Dosen pengantar ilmu politik saya pada semester pertama mengatakan dengan Ibu Mir selalu berbahasa Belanda karena mereka orang lama. Dia, yang bekas diplomat itu, bertutur untuk bercanda.

Leave a comment