
Foto ini diambil di Pulau Weno, Chuuk, Federasi Mikronesia, bulan Maret 2009. Saya berada di negara itu sekitar dua minggu memantau jalannya pemilu.
Pria yang bersama saya ini adalah John R. Haglelgam. Dia narasumber kami malam itu. Membagikan cerita mengenai perkembangan politik kontemporer Mikronesia yang unik.
Di tahun 2009, populasi Mikronesia diperkirakan 100 ribu jiwa. Setengahnya berada di negara bagian Chuuk. Sekitar 30 ribu berada di Pohnpei. Sisanya di Yap dan Kosrae.
Mikronesia punya sejarah panjang. Nenek moyang mereka dipercaya tiba di Mikronesia sekitar 4 ribu tahun lalu.
Kepulauan ini merupakan bagian dari Kepulauan Karolina yang lebih luas, terbentang lebih dari 3.000 kilometer di atas garis katulistiwa, dari Mikronesia di timur hingga Palau di barat. Persis di sisi timur Filipina, Karolina juga disebut Filipina Baru.
Penjelajah Portugis dan Spanyol tiba di Karolina pada abad ke-16. Berdasarkan Perjanjian Tordesillas (1494) kepulauan ini diberikan kepada Spanyol dan ditempatkan di bawah Manila.
Di tahun 1887 Spanyol mendirikan Santiago de la Ascensión di Pohnpei. Di masa itu juga, penjelajah Jerman tiba.
Spanyol yang tak ingin disaingi meminta “fatwa” Paus Leo XIII yang akhirnya memutuskan Mikronesia tetap dimiliki Spanyol, namun Jerman diberi izin memasukinya.
Situasi ini tidak berlangsung lama. Setelah kalah dalam perang melawan Amerika Serikat di tahun 1889, Spanyol menjual Mikronesia kepada Jerman.
Memasuki abad ke-20, di saat Jerman sibuk di arena Perang Dunia Pertama, Jepang menguasai Mikronesia dan Pulau Weno dijadikan pangkalan militer utama sampai Jepang bertekuk lutut di bulan Agustus 1945. Setelah Perang Dunia Kedua, Mikronesia masuk dalam Trust Territory of the Pacific Islands (TTPI) yang diamanahkan PBB kepada Amerika Serikat.
Di bulan Mei 1979 pemerintahan konstitusional Mikronesia berdiri, sementara status negara berdaulat baru diperoleh November 1989, setelah bersama Palau dan Marshal Island, Mikronesia menandatangani Compact of Free Association (CFA) dengan Amerika.
Lantas, siapa John R. Haglegam yang bersama saya di foto ini. Kita sambung nanti.
