









Kemarin, sambil menunggu waktu pertemuan di Mega Kuningan, saya sempatkan shalat Zuhur di Masjid Jami Baitul Mughni di Jalan Peltu Rahmad Sidup yang tidak jauh dari simpang pertemuan dengan Jalan Jend. Gatot Subroto.
Masjid Jami Baitul Mughni ini salah satu landmark di tempat itu. Bangunannya yang didominasi warna putih cukup menonjol dengan kubah masjid bergaya Mughal atau Moghul dari India. Seperti mausoleum Taj Mahal di Agra yang dibangun Shah Jahan yang memerintah antara 1627 sampai 1658 untuk istrinya Arjumand Banu Begum alias Mumtaz ul Zamani alias Mumtaz Mahal dari Persia.
Selain kubah Baitul Mughni yang menonjol, sebuah menara juga berdiri kokoh di luar bangunan masjid. Saya amat-amati, sepintas mirip menara di Red Fort, Delhi, istana Shah Jahan.
Saya belum pernah ke Taj Mahal, tapi dua tahun lalu pernah ke Red Fort atau Lal Qila atau Benteng Merah yang tidak terlalu jauh dari Masjid Jama yang juga didirikan Shah Jahan dan juga berwarna merah.
Kembali ke Baitul Mughni di Jakarta.
Masjid ini dan lahan di sekitarnya adalah waqaf dari salah seorang ulama Betawi, Abdul Mughni bin Sanusi bin Ayyub bin Qais yang hidup di antara tahun 1860 sampai 1935.
Di usia 18 tahun, ayah Guru Mughni, yakni H. Sanusi bin Ayub yang masih keturunan Adipati Cangkuang atau Pangeran Kuningan mengirimnya untuk memperdalam ilmu agama di Mekah, dan menetap di kota itu selama sembilan tahun lamanya.
Lalu ia kembali ke Batavia untuk mengajarkan ilmu agama yang diperolehnya di Mekah. Tak lama, tak disebutkan berapa lama, Guru Mughni kembali ke Mekah, dan kali ini menetap di sana selama lima tahun.
Selain mendirikan masjid yang kini dikenal sebagai Jami Baitul Mughni di tahun 1901, Guru Mughni di tahun 1926 juga mendirikan madrasah Sa’adatud Dârain yang ketika itu adalah satu-satunya di kawasan Kuningan.
Di era Politik Etis, ketika kolonial Belanda memberi kesempatan kepada anak-anak pribumi untuk menuntut ilmu, Guru Mughni melarang kerabatnya menyekolahkan anak mereka di sekolah Belanda. Sebaliknya, dia berusaha sebisa mungkin menghadirkan pendidikan yang berguna bagi kaum pribumi untuk menyongsong era kebangsaan.
Dua buku karya Guru Mughni yang dikenal adalah “Taudhîh al-Dalâ’il fî Tarjamati Hadist al-Syâmil” dan “Naqlah Min ‘Ibârat al-Ulama Nasihat Mawâ’izah li Awlad al-Zamân Fî Adab Qirô’at al-Qur’ân wa Ta’limih.”
Sayangnya, tidak saya peroleh keterangan di mana bisa mendapatkan kedua buku itu.
Usai shalat Zuhur di Baitul Mughni, saya mengunjungi makam Guru Mughni di Jalan Mega Kuningan Barat Nomor 1, Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan, persis di depan Kedutaan Besar Pakistan.
Di pemakaman ini pun ada mushala kecil atau langgar yang indah, namanya Langgar Rawa Bunder yang aslinya didirikan tahun 1931, atau empat tahun sebelum Guru Mughni meninggal dunia. Al Fatihah.
