Komandan Minurso

Pekan lalu di Venezuela saya bertandang ke KBRI Caracas dan kembali bertemu Dubes Mayjen (Purn) Imam Edy Mulyono.

Alumni Akabri 1984 ini menjadi orang nomor satu di KBRI Caracas sejak September 2020. Saya sudah tiga kali ke Venezuela selama Dubes Imam yang kelahiran Puworejo tahun 1961 bertugas di negara Nicolas Maduro.

Pertama di bulan November 2021 untuk menjadi pemantau mega-pemilu Venezuela yang dilanjutkan dengan peringatan 60 tahun hubungan Venezuela dan ASEAN di mana saya menjadi salah seorang pembicara.

Kedua, di bulan Februari 2022. Dalam peringatan kudeta 4 Februari 1992 yang dilakukan kelompok Hugo Chavez itu saya juga diminta berbicara tentang kaitan pers dan revolusi.

Lalu kunjungan ketiga, minggu lalu, saya menghadiri Kongres Dunia Melawan Fasisme, Neo-Fasisme, dan Ekspresi Sejenis yang dibuka Wapres Delcy Rodriguez dan ditutup Presiden Maduro.

Sebelum tiga kunjungan itu, saya juga pernah ke Venezuela di tahun 2018 untuk memantau pemilihan presiden. Ketika itu, posisi Dubes RI untuk Republik Bolivarian Venezuela ditempati Mayjen (Purn) M. Luthfie Witto’eng.

Sebelum bertugas di Caracas, Dubes Imam pernah menduduki jabatan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kaskostrad) tahun 2017.

Saya punya irisan kegiatan dengan Dubes Imam.

Antara tahun 2013 sampai 2015 Dubes Imam dipercaya Sekjen PBB Ban Ki-moon sebagai Komandan Misión de las Naciones Unidas para la Organización de un Referéndum en el Sáhara Occidental (MINURSO) atau Misi PBB untuk Referendum di Sahara Barat.

Pasukan Perdamaian PBB atau United Nations Peace Keeping Operations (UN PKOs) ini dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan 690 (1991), sejalan dengan kesepakatan antara Pemerintah Maroko dan kelompok separatis yang didukung Aljazair, Frente Popular para la Liberacin de Saguia el-Hamra y de Ro de Oro (Polisario), pada tanggal 30 Agustus 1988.

Sejumlah mandat MINURSO antara lain mengawasi gencatan senjata serta memastikan terselenggaranya referendum yang bebas dan adil dalam penentuan nasib rakyat di wilayah Sahara Barat.

Sampai kini sengketa antara Maroko dan kelompok separatis masih dibicarakan di Komisi IV PBB tentang Special Politics and Decolonizations di maja saya pernah tiga kali hadir sebagai petioner, tahun 2011, 2012, dan 2023.

Jadi, setiap kali bertemu Dubes Imam soal ini tak luput dari menu pembicaraan kami.

Leave a comment