Gagal ke Vila Huangshan

Saya tidak bisa memasuki kawasan itu. Suhu tinggi melanda Munisipalitas Chongqing dan daerah di sekitarnya beberapa waktu belakangan ini.

Awal Agustus lalu Layanan Meteorologi Chongqing mengeluarkan peringatan terkait suhu yang begitu tinggi dan sempat mencapai level merah. Artinya, dalam 24 jam suhu melebihi 40 derajat Celcius.

Sedemikian panasnya, China Daily sempat melaporkan Chongqing yang dibentuk pegunungan dan pebukitan serta dilalui aliran Sungai Yangtze dari dataran tinggi Tibet mendapatkan julukan baru, yakni “kota tungku”.

Tempat yang ingin saya kunjungi itu adalah “Situs Sejarah Museum Perang Anti-Jepang” di bukit Huangshan, Distrik Nan’an. Dibutuhkan waktu sekitar 40 menit untuk mencapai tempat itu dari hotel tempat saya menginap.

Halaman parkir museum yang berada persis di sebuah pengkolan tampak kosong melompong. Sama sekali tidak ada tanda-tanda pengunjung. Gerbang museum pun tertutup.

Seorang lelaki yang berada di semacam kantor di seberang jalan mencoba menggunakan bahasa Mandarin untuk menjelaskan kepada saya mengapa pintu museum tertutup rapat.

Saya tidak mengerti.

Di saat itu, seorang wanita turun dari bis yang berhenti di halte persis di sebelah kantor. Ia mengenakan celana gantung krem dan baju lengan panjang biru cerah, serta topi anyaman pandan yang dililit pita hitam besar sambil menenteng ransel. Ia juga membawa kamera mirrorless yang diselempangkan.

Melihat saya kesulitan memahami apa yang dimaksudkan petugas itu, wanita bertopi pandan menghampiri. Ia berbicara sebentar dengan sang petugas, lalu menjelaskan kepada saya bahwa museum terpaksa ditutup karena ada peringatan bahaya kebakaran hutan.

Dia yang katanya dosen bahasa Prancis di sebuah universitas di Taipei, Taiwan, pun kecewa karena seperti saya tidak bisa memasuki areal museum.

Penjelasan mengenai penutupan museum tertulis di sebuah kertas yang ditempelkan di depan gerbang. Tentu dalam karakter Mandarin. Dengan bantuan aplikasi, akhirnya bisa juga saya baca. Isinya:

Pengumuman Penutupan Museum Perang Anti-Jepang Chongqing, Bekas Kediaman Martir Wang Pu, dan Taman Peringatan Perang Anti-Jepang Angkatan Udara

Teman-teman turis yang terhormat,

Karena suhu tinggi dan kekeringan yang terus berlanjut, indeks pencegahan hutan kota mengeluarkan sinyal peringatan merah akan bahaya kebakaran hutan dan padang rumput. Dan Pemerintah Distrik Nan’an mengeluarkan perintah penutupan gunung untuk menjamin keamanan peninggalan budaya dan secara efektif mencegah kebakaran hutan, Museum Perang Anti-Jepang Chongqing (termasuk bekas kediaman Martir Wang Pu, Taman Peringatan Perang Anti-Jepang Angkatan Udara) akan ditutup mulai 27 Agustus 2024, dan pengunjung tidak diperbolehkan berkunjung. Jam buka akan diberitahukan kemudian.

Terima kasih atas perhatian dan kerjasama Anda!
Chongqing, 26 Agustus 2024

Museum ini menarik. Di dalamnya ada sebuah vila yang merupakan tempat tinggal Jenderal Chiang Kai-shek dari tahun 1943 sampai 1946. Namanya Vila Huangshan.

Jenderal Chiang adalah Kepala Pemerintah Nasional China selama dua periode, dari tahun 1928 sampai 1931 dan dari 1943 sampai 1946. Posisi penting lain yang didudukinya adalah Kepala Urusan Militer Pemerintah Nasional China dari 1931 sampai 1946. Setelah Kuomintang mundur ke Taiwan, ia menjadi presiden pertama Republik China dari 1950 sampai meninggal dunia di tahun 1975.

Di Kuomintang, dia menduduki posisi ketua dari 1936 sampai 1938. Lalu menjadi Direktur Jenderal Kuomintang dari 1938 sampai 1975.

Dalam sejumlah catatan Chiang Kai-shek dan istrinya Soong Meiling disebutkan tiba di Chongqing pada tanggal 8 Desember 1938.

Chiang dan Soong pertama kali tinggal di kediaman resmi Zengjiayan di Jalan Zhongshan di Semenanjung Yuzhong. Tempat ini juga sekaligus menjadi pusat kegiatan urusan luar negeri Chiang Kai-shek selama berada di Chongqing.

Menurut cerita, rumah itu dibangun seorang jenderal Kuomintang, Xu Shaozong. Sang jenderal memberikan nama Yao Qing untuk rumah ini. Dari nama itu, rumah ini pun dikenal sebagai “Pondok Yao”.

Di masa Chiang Kai-shek, istilah “Pondok Yao” digunakan untuk merujuk “Kantor Ketua Komisi Militer Kuomintang”. Selama perang melawan Jepang, kediaman ini dijaga ketat dan tempat perlindungan serangan udara dibangun untuk menghindari pemboman Jepang.

Salah satu kegiatan urusan luar negeri terpenting yang pernah dilakukan di “Pondok Yao” adalah “Pertemuan Militer Gabungan Tiongkok, Amerika Serikat, dan Inggris” pada tanggal 23 Desember 1941. Pertemuan itu dipimpin Chiang Kai-shek untuk membahas pembentukan front persatuan anti-fasis dunia.

Sementara pada musim gugur 1938, Institut Pusat Ilmu Politik Kuomintang pindah dari Nanjing ke kota Nanquan, Distrik Banan, Chongqing. Chiang Kai-shek sering mengunjungi sekolah itu. Maka sebuah bungalow dibangun di dekatnya untuk tempat Jenderal Chiang beristirahat. Bungalow ini kemudian disebut sebagai “Kediaman Presiden Xiaoquan” dan terletak di tepi Sungai Huaxi dengan pemandangan indah dan tanaman hijau subur.

Menurut catatan, Auditorium “Zhongzheng” di sekolah kader itu merupakan yang terbesar dan termewah di Chongqing pada saat itu. Dengan luas 1.900 meter persegi auditorium itu dapat menampung 3.000 orang dan sering digunakan Chiang untuk menjamu tamu dan mengadakan kegiatan sosial.

Tempat tinggal ketiga Chiang di Chongqing adalah Vila Huangshan yang tadi gagal saya kunjungi. Ini merupakan tempat yang paling lama ditinggali Chiang Kai-shek selama berada di Chongqing.

Vila ini dibangun pada awal abad ke-20 oleh pengusaha kaya setempat, Huang Dexuan. Ia membeli sebidang gunung gundul yang tidak diketahui di tepi selatan sungai Yangtze. Tempat itu dinamakannya “Gunung Huangshan”. Setelah Huang Dexuan meninggal dunia, putra sulungnya Huang Yunjie mewarisi properti tersebut dan membangun sebuah rumah besar. Inilah asal mula bangunan itu diberi nama “Vila Huangshan”.

Pemerintah Kuomintang menyewakan tempat itu untuk Chiang dan istrinya. Vila ini dianggap aman karena berada di tengah hutan. Tapi itu pun dirasa belum cukup. Sebuah tempat perlindungan tambahan dibangun di bagian belakang vila.

Walau tersembunyi, tapi Vila Huangshan pernah dua kali dibom Jepang. Dalam serangan pertama, bom jatuh persis di parit perlindungan yang untungnya sangat kuat sehingga tidak rusak. Dalam serangan kedua, pesawat militer Jepang melepaskan tembakan ke arah Vila Huangshan dan menewaskan dua personel keamanan. Chiang Kai-shek dan sejumlah pejabat senior selamat dari serangan kedua karena sempat menghindar ke tempat perlindungan.

Tempat tinggal terakhir Chiang dan Soong di Chongqing adalah Linyuan yang berada di sisi selatan Gunung Gele, di dekat Sungai Jiliang. Sebelumnya rumah yang dibangun 1938 ini ditempati kediaman Ketua Kuomintang saat itu, Lin Sen.

Lin Sen menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Nasional China dari tahun 1931 sampai kematiannya di tahun 1943. Hubungan Lin dan Chiang cukup unik. Keduanya bersahabat walaupun kerap berseteru. Konon, Lin sering dianggap bukan pemimpin yang sebenarnya oleh sekutu China saat itu.

Setelah Lin meninggal pada 1 Agustus 1943, rumah di kaki Gunung Gele itu pun berubah nama menjadi “Pemakaman Linsen” atau disingkat “Linyuan”. Chiang Kai-shek dan Soong Meiling pindah ke rumah itu setelah musim panas tahun 1943.

Selama “Negosiasi Chongqing” antara Kuomintang dan Partai Komunis dari bulan Agustus sampai Oktober 1945, sejumlah pemimpin Partai Komunis, seperti Mao Zedong, Wang Ruofei, dan Zhou Enlai juga disebutkan sempat tinggal di rumah besar itu. Begitu juga Jenderal George C. Marshall yang merupakan utusan khusus Presiden AS. Dia tiba di Linyuan pada Desember 1945.

Adapun negosiasi dilakukan di sebuah tempat yang kini menjadi Museum Desa Batu Merah atau Museum Hongyancun di tepi Sungai Jialing di Distrik Yuzhong.

Di tempat ini pula Mao Zedong menandatangani perjanjian perdamian dengan Kuomintang pada 10 Oktober 1945. Karenanya dokumen ini disebut Perjanjian Double Tenth. Inti dari perjanjian itu, Partai Komunis mengakui Kuomintang sebagai partai penguasa, dan Kuomintang mengakui Partai Komunis sebagai oposisi. Kedua partai setuju untuk melaksanakan pemilihan umum yang tak disebutkan jelas kapan waktunya. Kedua partai juga sepakat menghapuskan dinas rahasia masing-masing. Dan sebagainya.

Tapi perjanjian itu tak bisa menyelamatkan Kuomintang, Chiang Kai-shek, dan Republik China. Setelah tujuh tahun berada di Chongqing, Pada 30 April 1946, Chiang Kai-shek dan istrinya angkat kaki Chongqing untuk selamanya. Dan pada setelah Partai Komunis memenangkan perang saudara pada 10 Desember 1949 Jenderal Chiang meninggalkan China daratan, juga untuk selamanya.

Leave a comment