Teguh Santosa Raih Gelar Doktor di Program Studi Hubungan Internasional

Laporan  Kusman Rusmana, Humas FISIP Unpad

[pps.fisip.unpad.ac.id, 06/07/2024] Bandung – Sabtu, 06 Juli 2024 (10.00), Program Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, kembali melaksanakan sidang Promosi Doktor via Zoom us (daring). Pada kesempatan ini Teguh Santosa, yang merupakan mahasiswa Doktoral Program Studi Hubungan Internasional resmi menyandang gelar Doktor di Universitas Padjadjaran, setelah menyelesaikan sidang promosi.

Menurut Teguh Santosa dalam disertasi yang diujikan, peluang perdamaian dan penyatuan Semenanjung Korea kembali terbuka pada periode 2018 dan 2019. Masyarakat dunia menyaksikan Presiden Republik Rakyat Demokratik Korea atau Korea Utara, Kim Jong Un, dan Presiden Republik Korea atau Korea Selatan, Moon Jaein, menjalin komunikasi intens untuk mengatasi semua hambatan yang dihadapi kedua negara. Dalam waktu yang singkat itu kedua negara menggelar dua KTT, di Panmunjom pada April 2018 dan di Pyongyang pada September 2018.

Selain itu, Presiden Moon juga menjembatani komunikasi antara Presiden Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Keduanya bertemu pada bulan Juni 2018 di Singapura dan pada bulan Februari 2019 di Hanoi. Namun, waktu tidak berpihak pada mereka. Perubahan rezim di Amerika Serikat pada 2020 dan di Korea Selatan pada 2022 membuat situasi politik di Semenanjung Korea kembali memanas hingga kini, dan berdampak besar pada kebijakan reunifikasi kedua negara.

Dalam kajian politik luar negeri, reunifikasi Semenanjung Korea merupakan kebijakan luar negeri yang seperti dikatakan banyak ilmuwan hubungan luar negeri didasarkan pada nilai, ide, gagasan, yang berkembang di tengah masyarakat dan dirumuskan kelompok elit yang memiliki otoritas di lingkungan domestik.

Putnam (1988) mendalilkan logika permainan dua tingkat (Two-Level Games) di mana kebijakan luar negeri merupakan resultan dari permainan di tingkat nasional dan di tingkat internasional. Di tingkat nasional, berbagai kelompok domestik memperjuangkan kepentingan dan menekan pemerintah untuk mengambil kebijakan luar negeri yang menguntungkan kelompok domestik. Sementara di tingkat internasional, pemerintah nasional dituntut meminimalkan dampak buruk dari tekanan lingkungan internasional.

Dengan menggunakan logika  permainan dua-tingkat yang didalilkan Putnam, Promovendus meneliti kebijakan luar negeri kedua Korea terkait reunifikasi Semenanjung Korea dengan menggunakan Game Theory khususnya varian Prisoners’ Dilemma sebagai pisau analisis. Korea Utara dan Korea Selatan memiliki dua pilihan yakni setuju dengan reunifikasi (yes) atau tidak setuju dengan reunifikasi (no). Saat penelitian ini dilakukan, reunifikasi Semenanjung Korea merupakan tugas konstitusional kedua Korea yang tercantum secara tegas di konstitusi Korea Utara maupun Korea Selatan. Di sisi lain, isu reunifikasi Semenanjung Korea tidak hanya milik kedua Korea, namun juga berkaitan erat dengan dinamika di lingkungan internasional.

Promovendus memaparkan variabel domestik dan variabel internasional yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam proses pembuatan kebijakan reunifikasi Semenanjung Korea. Variabel politik domestik dalam penelitian ini merujuk pada dinamika internal baik yang terjadi di Korea Utara maupun di Korea Selatan. Korea Utara yang menganut ideologi Juche mempraktikkan sistem politik yang terkontrol dengan baik. Pergantian rezim secara turun temurun dari Kim Il Sung kepada Kim Jong Il dan lalu kepada Kim Jong Un tidak diikuti perubahan kebijakan politik. Bahkan sesungguhnya yang terjadi adalah kesinambungan kebijakan politik dari satu masa kekuasaan ke masa kekuasaan berikutnya.

Ideologi Juche yang dibangun Kim Il Sung menjadi pondasi bagi kebijakan politik Songun yang dikembangkan Kim Jong Il dan kebijakan politik Byungjin di era Kim Jong Un. Baik Songun dan Byungjin dapat dikatakan adalah turunan atau praktik dari ideologi Juche dengan penekanan pada sektor-sektor tertentu. Di era Kim Jong Il, kebijakan Songun menjadikan sektor pertahanan sebagai prioritas utama. Sementara di era Kim Jong Un, kebijakan Byungjin mencoba menciptakan keseimbangan antara pembangunan sektor pertahanan dan pembangunan sektor ekonomi.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, pembangunan sektor pertahanan dan sektor ekonomi di Korea Utara terlihat cukup signifikan. Sayangnya dunia Barat, termasuk kalangan media maupun pemerhati politik internasional, memberikan perhatian yang lebih besar pada berbagai ujicoba persenjataan yang dilakukan Korea Utara, yang mana membuat wajah Korea Utara terlihat lebih militeristik. Sementara berbagai perkembangan di sektor ekonomi yang dilakukan Korea Utara sebagai turunan dari kebijakan Byungjin di era Kim Jong Un, seperti kebijakan “Inmin Daejung” atau “Rakyat yang Utama” dan “Pembangunan Kawasan 20×10”, tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari masyarakat internasional.

Dalam situasi di mana pihak musuh selain membangun kapasitas dan kapabilitas militer juga memperkuat kerjasama militer dengan negara lain yang menggunakan skenario provokatif, tentu saja Korea Utara memiliki alasan yang sangat kuat untuk mempraktikkan sistem politik tertutup dan terkontrol yang didasarkan pada filosofi Juche, Songun, dan Byungjin. Akibat begitu besar tekanan yang dihadapi Korea Utara dari musuh-musuhnya, pembangunan sektor pertahanan dipandang sebagai sebuah keharusan dan berfungsi sebagai penjamin agar Korea Utara tidak menjadi “lame duck” dan “easy target” bagi musuh-musuh mereka. Korea Utara belajar dari begitu banyak kasus di mana negara yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas militer dapat dengan mudah dihancurkan negara lain.

Sementara di Korea Selatan dinamika politik yang terus berkembang dan dinamis memberikan pengaruh pada perubahan politik luar negeri terkait hubungan negara itu dengan Korea Utara. Di awal kemerdekaan, Korea Selatan dipimpin tokoh sipil Rhee Syngman yang mengembangkan praktik politik otoritarian dengan semangat antikomunis yang begitu besar. Di masa pemerintahannya, sama sekali tidak ada ruang dialog dengan Korea Utara.

Era otoritarianisme sipil Rhee dilanjutkan kediktatoran militer yang dipimpin tokoh-tokoh militer Park Chunghee, Chun Doohwan dan Roh Taewoo. Mereka memandang Korea Utara sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan kekuatan militer. Dialog dengan Korea Utara dilakukan pada skala terbatas dan akhirnya tidak memperlihatkan hasil yang berarti.

Perubahan politik yang signifikan baru terjadi di tahun 1998 di era Kim Daejung yang mewakili kelompok progresif-demokratis. Kim memandang Korea Utara sebagai rekan dialog untuk menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea. Kebijakan Sunshine Kim Daejung dilanjutkan rekannya Roh Moohyun. Di era selanjutnya, pemerintahan Korea Selatan kembali dikuasai oleh kelompok konservatif yang memandang Korea Utara sebagai sumber ancaman.

Ruang dialog dengan Korea Utara kembali mengecil, sementara di sisi lain kemitraan sektor pertahanan dengan dua sekutu utama, Amerika Serikat dan Jepang, ditingkatkan secara signifikan. Setelah dua periode berkuasa, era pemerintahan konservatif berakhir dan dilanjutkan Moon Jaein yang mewarisi pendekatan progresif-demokratis seperti Kim Daejung dan Roh Moohyun. Kebijakan Moonshine yang dikembangkan Moon membawa perubahan yang sangat signifikan. Dua KTT Inter Korea terjadi pada periode itu, ditambah dua KTT Amerika Serikat-Korea Utara yang sedikit banyak meredakan ketegangan dan membangkitkan harapan akan terciptanya perdamaian di Semenanjung Korea. Namun era Moonshine tidak bertahan lama. Setelahnya pemerintahan progresif-demokratis digantikan pemerintahan yang dikontrol kelompok konservatif.

Presiden Yoon Seokyeol seperti pemimpin-pemimpin konservatif Korea Selatan lainnya menempatkan Korea Utara sebagai ancaman dan di saat bersamaan meningkatkan kembali kerjasama militer dengan sekutu utama.

Variabel lingkungan internasional yang memberikan pengaruh pada kebijakan luar negeri kedua Korea terkait reunifikasi dalam penelitian ini merujuk pada peran negara-negara yang secara langsung memiliki kepentingan di Semenanjung Korea. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, pihak yang paling berkepentingan di Semenanjung Korea adalah dua negara yang sebelumnya bersekutu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bila Uni Soviet berpengaruh pada kelompok pembebasan Korea di belahan utara yang dimotori Kim Il Sung, maka Amerika Serikat memberikan dukungan yang tidak kecil pada tokoh anti-Jepang dan juga anti-komunis Rhee Syngman di belahan selatan. Setelah Perang Dingin berakhir, Korea Utara kehilangan patron dan mengalami turbulence yang cukup signifikan. Amerika Serikat memanfaatkan kekosongan pengaruh asing di Korea Utara dengan menawarkan bantuan ekonomi sekaligus berupaya meredam keinginan Korea Utara mengembangkan nuklir sebagai sumber energi alternatif.

Pendekatan ini terganggu setelah Kim Il Sung meninggal dunia di tahun 1994 dan pemimpin baru yang menggantikan, Kim Jong Il, merasa harus mengambil kebijakan baru untuk menangkal kemungkinan pendudukan Korea Utara oleh kekuatan lain dengan alasan apapun, termasuk bantuan ekonomi. Intensitas hubungan antara Amerika Serikat dengan pemimpin konservatif Korea Selatan yang meningkat pada masa itu menjadi faktor yang semakin menyakinkan Korea Utara bahwa memperkuat sektor pertahanan adalah cara terbaik mencegah pendudukan asing.

Isu reunifikasi Semenanjung Korea yang telah berlangsung selama tujuh dekade sejak akhir Perang Dunia Kedua dipengaruhi dinamika lingkungan domestik Korea Utara dan Korea Selatan serta tidak terlepas dari keterlibatan negara-negara besar yang memiliki kepentingan di kawasan. Hal ini sejalan dengan logika permainan dua tingkat (Two-Level Games) yang dikembangkan Putnam (1988) yang mengatakan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara memiliki keterkaitan (entanglement) dengan dinamika domestik dan lingkungan internasional yang sama-sama signifikan dan bahkan saling mempengaruhi.

Bila hanya melibatkan kedua Korea, reunifikasi Semenanjung Korea tampaknya lebih mudah untuk dilakukan. Tentu saja, walau disebut lebih mudah namun perbedaan ideologi dan sistem politik antara Korea Utara dan Korea Selatan bukan hal sederhana.

Isu reunifikasi Semenanjung Korea menjadi semakin kompleks ketika faktor dinamika lingkungan internasional dimasukkan dalam pertimbangan. Masyarakat internasional, baik Amerika Serikat dan Jepang serta negara-negara lain dalam circle Korea Selatan, maupun Republik Rakyat China dan Federasi Rusia dalam circle Korea Utara, mengaitkan isu reunifikasi sebagai salah satu wujud perdamaian kedua Korea dengan isu denuklirisasi Semenanjung Korea.

Bagi Korea Utara yang merasa terancam oleh lingkungan internasional, khususnya aliansi Korea Selatan dan Amerika Serikat, mempersenjatai diri dengan nuklir menjadi semacam keharusan. Dengan pertahanan yang memadai, termasuk memiliki senjata nuklir, Korea Utara yakin negara itu tidak akan mengalami pendudukan oleh negara lain seperti yang dialami banyak negara yang tidak memiliki pertahanan nasional yang memadai.

Tetapi bahkan di masa-masa yang menegangkan sekali pun Korea Utara tetap bersedia membuka pintu dialog untuk mencapai perdamaian dan denuklirisasi Semenanjung Korea. Pada periode 2018 dan 2019 masyarakat internasional menyaksikan kesediaan Korea Utara melibatkan diri dalam pembicaraan damai dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Bagaimana pun ini cukup menjanjikan kendati belum dapat menghentika konflik yang berlangsung sejak Perang Korea berakhir.

Perubahan rezim di Korea Selatan dan Amerika Serikat membawa hubungan Korea Utara dengan Korea Selatan dan lingkungan internasional kembali memburuk, sampai akhirnya Korea Utara mengakhiri mimpi reunifikasi Semenanjung Korea pada Januari 2024. Situasi terbaru ini tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut terkait kemungkinan intensitas konflik ataupun sebaliknya, peredaan ketegangan di masa depan.

Menurut hemat Promovendus, keputusan Korea Utara ini untuk sementara dapat dianggap sebagai proposal yang konstruktif demi mengakhiri konflik di Semenanjung Korea. Dengan mengatakan tidak lagi menjadikan reunifikasi Semenanjung Korea sebagai agenda dan tujuan nasional, Korea Utara bisa jadi tengah menawarkan pendekatan baru, yakni two state solution atau solusi dua negara, untuk mengakhiri konflik secara permanen.

Selanjutnya Promovendus merekomendasikan kehidupan bertetangga yang harmonis dan damai antara Korea Utara dan Korea Selatan atau peaceful co-existence. Kondisi ini tentu tidak bisa dibangun dalam satu malam. Kerja politik dan diplomasi yang tidak hanya melibatkan kedua Korea namun juga masyarakat internasional sangat dibutuhkan.

Menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea bukan hanya kewajiban Korea Utara, melainkan ditanggung bersama kedua Korea dan masyarakat internasional. Dengan kata lain, denuklirisasi Semenanjung Korea pun bukan hanya kewajiban Korea Utara, melainkan kewajiban masyarakat internasional terlebih multipihak yang selama beberapa dekade belakangan berusaha menanamkan pengaruh secara signfikan di Semenanjung Korea. Menciptakan Semenanjung Korea yang damai dan bebas dari senjata nuklir dan pameran kekuatan yang gigantic dan provokatif harus menjadi agenda kerja bersama masyarakat internasional secara konsisten.

Sidang Promosi Doktor dipimpin oleh Ketua Sidang, Prof. Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata, Sekretaris Sidang Dr. Wawan Budi Darmawan, SIP.,M.Si , Ketua Promotor . Prof. Dr. Arry Bainus M.A.  Anggota Tim Promotor Prof. Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata, Dr. Wawan Budi Darmawan, SIP.,M.Si serta tim Oponen Ahli/Penguji yang terdiri dari Drs. Taufik Hidayat, M.S., Ph.D, Dr. Arfin Sudirman, S.IP., MIR. Dr. Akim, S.IP., M.Si. Representasi Guru Prof. Dr. Mohammad Benny Alexandri, S.E., M.M.

Disertasi yang disusun berjudul “REUNIFIKASI KOREA DENGAN KETERLIBATAN MULTIPIHAK: SUATU STUDI MELALUI GAME THEORY ” dinyatakan lulus dengan predikat “Sangat Memuaskan”. Selamat atas diraihnya gelar Doktor  kepada Dr. Teguh Santosa. Semoga gelar dan ilmu yang didapatkan dapat berguna bagi dunia pendidikan, dan Intansi tempat bekerja.

Leave a comment