
“Arofah, saya mau menikah bulan Mei nanti. Saya mau kasih Al Quran sebagai mas kawin. Tapi saya tidak mau beli. Saya mau Quran hadiah dari ulama.”
Begitu kira-kira yang saya katakan kepada Arofah. Di dalam foto ini dia berdiri di kiri, pakai jaket hitam.
Waktu itu bulan Februari atau Maret 2003. Saya sudah beberapa hari berada di Damaskus, Suriah. Mengadu untung masuk ke Baghdad, Irak, lewat negara ini.
Saya bertemu Arofah bisa dibilang tak sengaja.
Di hari kedua saya di Damaskus terjadi demo besar-besaran mengecam rencana Amerika Serikat menyerang Irak yang oleh Presiden G.W. Bush beberapa waktu sebelumnya disebut sebagai satu dari tiga Poros Setan bersama Iran dan Korea Utara.
Saya ikuti gerakan massa dari stasiun kereta tua menuju gedung parlemen. Di depan gedung parlemen, untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas saya naik ke atas mobil damkar.
Setelah memotret lautan massa, saya berniat turun dari mobil damkar. Itulah saat saya bertemu Arofah.
Dia menyapa saya duluan. Dia semakin yakin saya dari Indonesia karena melihat pin UBK yang saya kenakan di kerah kiri.
Dari Arofa lah saya mengenal kawasan Sayyidah Zaynab, sekitar 10 kilometer dari pusat kota.
Nama kawasan ini diambil dari nama Sayyidah Zaynab. Dia adalah cucu dari Nabi Muhammad, anak dari Ali bin Abu Thalib, adik perempuan dari Hassan dan Hussein.
Zaynab diperlakukan sebagai tawaran perang setelah pasukan Yazid bin Muawiyyah menaklukkan dan menewaskan Hussein dalam serangan di Karbala pada 10 Muharram 61 H. Atau 10 Oktober 680 M.
Dua tahun setelah peristiwa Karbala, Zaynab meninggal dunia, dan dimakamkan di tempat yang kini menggunakan namanya.
Di Sayyidah Zaynab ini banyak madrasah atau hauzah tempat mahasiswa menuntut ilmu, seperti Arofah dan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya.
Setelah mendengar keinginan saya mendapatkan hadiah Quran dari ulama, dia mengajak saya ke Hauzah Ali Zaenal Abidin tempatnya belajar.
Dia kenalkan saya kepada gurunya, Syeh Munir. Di dalam foto, berdiri di tengah.
Setelah kami berfoto, kepada Syeh Munir, Arofah menyampaikan keinginan saya.
Syeh Munir mengangguk-angguk. Lalu dia mengambil satu Al Quran bersampul merah dan menyerahkannya pada saya.
“Serahkan ini kepada calon istrimu,” katanya kira-kira diterjemahkan Arofah.
Maka di hari pernikahan, 3 Mei 2003, saya serahkan Al Quran merah itu kepada Intansari Fitri. Lalu saya cium keningnya.
Tadi malam, saya kirimkan foto ini kepada Arofah.
Darinya saya dapat informasi, Syeh Munir telah meninggal dunia. Tujuh tahun lalu. Al Fatihah.
