Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung mantan Presiden Soeharto, menorehkan tanda tangan pada buku Incognito Pak Harto: Perjalanan Diam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya yang diberikan kepada Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online Teguh Santosa di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat (Jumat malam, 21/6). Buku yang disusun Mahpudi itu telah diluncurkan bersamaan dengan peresmian museum Soeharto di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Jogjakarta bertepatan dengan tanggal kelahiran Soeharto pada 8 Juni lalu.
Diterbitkan Yayasan Harapan Kita yang dipimpin Tutut Soeharto, buku itu memuat sejumlah foto yang merekam perjalan tidak formal yang dilakukan Pak Harto ke sejumlah daerah untuk bertemu dengan rakyat pada kurun 1970an.
Analis politik Sukardi Rinakit yang ikut menyumbangkan tulisan di dalam buku itu mencatat bahwa perjalanan diam-diam atau incognito yang dilakukan Soeharto ini tidak sama dengan istilah blusukan yang belakangan menjadi kata penting dalam kamus politik sehari-hari Indonesia. Terminologi terakhir lebih cocok untuk kepala desa dan perangkatnya, bukan untuk kepala negara dan elemen elit pemerintahan.
Sukardi Rinakit juga mengatakan, “Magnitude, kewibawaan, kerumitan dan daya jangkau persoalan yang dicakup kedua istilah tadi secara objektif memang berbeda.”
Mas Teguh, saya rasa ada satu hal mendasar yang perlu dilakukan oleh Keluarga Besar Soeharto, yaitu memprakarsai penulisan sebuah buku yang secara lengkap padat memuat rekam jejak pak Harto dalam melaksanakan tugas konstitusional Lembaga Kepresidenan berdasar alinea keempat Pembukaan UUD 1945, antara tahun 1967-1998. Setahu saya, belum pernah ada sebuah buku dari genre demikian.