Kejujuran Susno yang tak terbendung dalam kasus penggelapan pajak yang dilakukan Gayus HP Tambunan, karyawan golongan III A di Bagian Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak mau tidak mau ikut menghantam kredibilitas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Adalah Sri Mulyani yang kerap mengatakan bahwa birokrasi di kementerian yang dipimpinnya, terutama di Ditjen Pajak, telah direformasi, menjadi lebih baik dan profesional dan berorientasi pada pelayanan publik.
Reformasi birokrasi jilid II di Ditjen Pajak dicanangkan Sri Mulyani bulan Juni tahun lalu. Untuk mendukung program reformasi yang diberi nama PINTAR (Project For Indonesian Tax Administration Reform) ini, Sri Mulyani menggunakan dana pinjaman luar negeri, terutama dari International Monetary Fund (IMF), tempat ia bekerja sebelum direkrut SBY menjadi menteri tahun 2004 lalu. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Australia, Swedia dan Belanda juga ikut mendukung. Sampai tahun 2013, reformasi birokrasi ala Sri Mulyani ini mendapatkan bantuan sebesar Rp 250 miliar hingga Rp 300 miliar per tahun dari lembaga dan negara donor tersebut.
Bantuan luar negeri yang digunakan Sri Mulyani untuk keperluan reformasi birokrasi ini hanya 15 persen dari seluruh anggaran yang disiapkan untuk menciptakan birokrasi yang profesional.
Reformasi birokrasi Depkeu membutuhkan dana yang begitu besar, karena menurut Sri Mulyai, ia menggunakan standar kebutuhan birokrasi di negara-negara maju.
“Kita tidak mau membandingkan (kebutuhan birokrasi Depkeu) dengan negara yang belum berkembang,” katanya saat meluncurkan program reformasi birokrasi itu tanggal 22 Juni 2009.
Dengan PINTAR diharapkan mutu pelayanan pajak akan semakin meningkat, lebih mudah, cepat dan akurat karena didukung sistem Teknologi Informasi dan Komunikasi. Penegakan hukum juga diharapkan lebih efektif dan tepat sasaran karena didukung kuantitas dan kualitas data. Dan yang terakhir dan tak kalah penting adalah, tingkat kepatuhan dan kepercayaan wajib pajak pun diharapkan akan semakin baik karena proses yang semakin transparan dan administrasi perpajakan yang semakin akuntabel dan memberikan rasa kenyamanan sekaligus keadilan.
PINTAR merupakan kelanjutan dari reformasi birokrasi jilid I yang fokus pada tiga kegiatan utama, yakni modernisasi administrasi perpajakan, reformasi kebijakan serta intensifikasi dan ekstensifikasi.
Namun, begitulah. Kasus Gayus Tambunan yang terungkap ini membuka mata publik bahwa pat gulipat dan penggelapan masih merupakan permainan yang biasa di tubuh Kementerian Keuangan. Sebegitu parahnya, sampai mantan Dirjen Pajak dan mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier mengatakan bahwa petugas pajak di era reformasi ini lebih berani korupsi dibandingkan petugas pajak di era Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Apakah lebih parah atau tidak bila dibandingkan dengan keadaan di rezim Soeharto, tidak begitu masalah. Yang penting, faktanya adalah bahwa penggelapan dan korupsi masih ada.
Tidak seperti yang dialami Sri Mulyani, Komjen Susno Duadji justru panen pujian dan decak kagum.
Semakin banyak anggota masyarakat yang menganggap Susno sebagai figur yang jujur dan berani mengungkap kebenaran. Kasus Gayus ini adalah salah satu kasus yang dibongkar Susno. Mantan Kabareskrim Mabes Polri ini berjanji akan membongkar kasus lain yang lebih besar dan melibatkan penjabat-pejabat tinggi negara. Susno adalah fenomena yang menarik. Baru beberapa waktu lalu ia menjadi musuh bersama masyarakat karena dianggap mendiskreditkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adalah Susno yang memerintahkan penahanan dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah dengan tuduhan menerima suap dalam kasus pengadaan alat komunikasi Departemen Kehutanan yang melibatkan pemilik PT Radiokom Masaro.
Kini, setelah membeberkan sejumlah kasus di tubuh Mabes Polri yang melibatkan perwira tinggi, sentimen publik berubah, dari membenci kini memuji.
Dalam poling yang digelar Rakyat Merdeka Online sejak pekan lalu, anggapan bahwa Susno adalah sosok yang jujur seakan tak terbendung.
Sampai tulisan ini diturunkan, sebesar 57 persen responden yang menyatakan hal itu. Adapun 30 persen mengatakan Susno hanya sekadar sakit hati. Ada juga yang menganggap Susno tak memiliki pamrih (7 persen), cari sensasi (3,5 persen), dan mengincar jabatan (3,7 persen).
Bila sentimen publik terhadap Sri Mulyani dan Susno Duadji ini digrafikkan, maka akan terlihat bahwa sentimen untuk Sri Mulyani bergerak turun dari titik positif ke titik negatif, dan sebaliknya, sentimen publik untuk Susno Duadji bergerak naik, dari titik negatif ke titik positif.
