Pernyataan Wapres Boediono bahwa democracy is noisy atau demokrasi berisik memperlihatkan dua hal sekaligus; pertama arogansi, dan kedua dendam terhadap demokrasi yang berhasil membuka kedoknya.
Pernyataan tentang democracy yang noisy itu disampaikan Boediono saat berbicara di dalam sebuah diskusi dengan kelompok pengusaha dan pejabat pemerintah dua hari lalu (Kamis, 25/3) di Jakarta.
Foto diambil dari Washington Post.
Dalam kesempatan itu Boediono juga mengatakan, “suara yang Anda dengar akhir-akhir ini tidak menyentuh problem mendasar yang harus kami atasi.”
Pengamat politik dan mantan aktivis mahasiswa 1977/78, Abdulrachim, termasuk pihak yang menggugat pernyataan Boediono. Di sisi lain, dia juga mengatakan bahwa arogansi Boediono itu dapat dipahami.
“Berarti dia menganggap opini yang berkembang dimasyarakat, media, bahkan berbagai demonstrasi hanya sebagai sesuatu yang berisik, bukan bagian dari aspirasi. Pernyataan ini memperlihatkan betapa ia arogan dan juga menunjukkan ia bersikap anti demokrasi,” ujar Abdulrachim kepada Rakyat Merdeka Online (Sabtu, 27/3).
Sikap Boediono itu bisa dipahami, lanjutnya, karena proses demokrasilah yang telah melucuti topeng kesantunan yang selama ini dikenakan Boediono.
Peranan mantan Gubernur Bank Indonesia itu dalam keputusan mem-bail out Bank Century terbongkar karena ada demokrasi. Begitu juga pembangkangannya terhadap (ketika itu) Wapres Jusuf Kalla yang memerintahkan agar Robert Tantular, pemilik Bank Century yang melakukan kejahatan perbankan, ditangkap juga dibongkar oleh proses demokrasi.
“Inilah yang membuat publik semakin yakin bahwa Boediono menyimpan dendam terhadap demokrasi. Dan sikap pejabat yang seperti ini harus dilawan,” demikian Abdulrachim.

