Yani Apri alias Rian, Sonny, Herman Hendarman, Dedy Umar Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Wiji Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhyidin, dan Abdun Naser.
Sampai kini keberadaan mereka masih belum jelas juga.
Ke-13 aktivis pro-demokrasi yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia itu hilang dalam kurun 1997-1998. Adapun pemerintah sampai sekarang belum memperlihatkan itikad untuk memulai kembali proses pencarian ke-13 orang yang telah hilang lebih dari 12 tahun itu.
Dalam program 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono pun sama sekali tidak tertulis agenda pencarian orang-orang yang dipercaya dihilangkan secara paksa ini. Padahal pada tanggal 28 September 2009, atau sebulan sebelum pelantikan SBY-Boediono, DPR RI telah merekomendasikan pencarian ke-13 orang itu.
Selain melakukan pencarian, DPR juga meminta pemerintah segera merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga mereka. Di sisi lain, pemerintah pun diminta membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili penghilangan secara paksa serta meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bukti komitmen dan dukungan menghentikan praktik penghilangan paksa.
Namun, sekali lagi, tidak satu pun dari keempat rekomendasi itu yang dipenuhi.
“Jangankan orang hilang, uang negara yang hilang saja pemerintah tidak tahu,” ujar aktivis gerakan anti-korupsi Adhie Massardi yang hadir dalam peringatan 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono yang digelar Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Bundaran HI, Minggu malam (31/1). Selain Ikohi dan Kontras, peringatan yang dihadiri sekitar 100 orang itu juga didukung oleh Keluarga Besar Rakyat Demokratik (KBRD).
Di dalam peringatan 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono itulah, Wiji Thukul dan kawan-kawan yang hilang dikenang.
Sebanyak 13 lampion merah dipasang dan puluhan lilin serta lampu teplok dinyalakan di pelataran Bundaran HI. Ke-13 lampion mewakili jiwa mereka yang hilang. Sementara lilin dan lampu teplok melambangkan semangat keluarga korban yang tak pernah padam untuk mendapatkan keadilan bagi anggota keluarga mereka yang dihilangkan secara paksa.
***
Uang negara yang hilang yang dimaksud Adhie Massardi adalah dana talangan yang dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada Bank Century setelah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani atas rekomendasi Gubernur BI Boediono menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Keputusan itu diambil dalam sebuah rapat yang digelar dinihari 21 November 2008 di lantai tiga Gedung Djuanda, Departemen Keuangan, Lapangan Banteng, Jakarta. Adalah Sri Mulyani dan Boediono, masing-masing ketua dan anggota KSSK, yang menandatangani keputusan itu.
Dalam Rapat Konsultasi dengan Pansus Centurygate hari Jumat lalu (29/1), Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo menegaskan bahwa uang yang disuntikkan LPS kepada Bank Century atas perintah KSSK itu adalah bagian dari uang negara.
Pernyataan Ketua BPK ini menjadi semacam acuan yang harus diperhatikan oleh semua pihak yang terkait dengan skandal dana talangan untuk Bank Century yang pada akhirnya membengkak hingga Rp 6,7 triliun.
Selama ini, status uang itu menjadi misteri yang dibuat-buat. Ada yang mengatakan uang itu adalah bagian dari uang negara, ada yang mengatakan sebaliknya. Adapun kubu Boediono dan Sri Mulyani tentulah berada di kelompok terakhir. Menurut mereka, dana LPS bukan merupakan bagian dari keuangan negara, dan dengan sendirinya sama sekali tidak potensi negara merugi.
Tetapi, Ketua BPK menjelaskan, dana yang dimiliki LPS berasal dari bank BUMN dan bank non-BUMN atau bank swasta. Sementara dana yang berada di BUMN, kata Hadi Purnomo mengutip Mahkamah Agung (MA), merupakan bagian dari uang negara. Modal awal LPS sebesar Rp 4 triliun pun berasal dari APBN yang penempatannya dilakukan atas persetujuan DPR. Dengan pertimbangan seperti itu, BPK menegaskan bahwa dana LPS yang disuntikkan untuk menolong Bank Century adalah uang negara.
Dus ini artinya, skandal dana talangan yang superheboh itu dan yang telah menyita perhatian masyarakat luas selama 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono ini, telah merugikan keuangan negara. Ini artinya, pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan mengucurkan dana talangan untuk Bank Century telah melakukan kesalahan fatal karena mengambil keputusan yang, sekali lagi, merugikan keuangan negara.
***
“Presiden kita ini memang aneh. Kalau orang yang hilang, uang negara yang hilang, masa depan rakyat yang hilang, kesempatan kita menjadi besar dan mandiri yang hilang, dan seterusnya, dia tidak peduli. Tetapi begitu nama baik dan harga dirinya yang katanya hilang, dia dengan cepat bereaksi,” ujar Adhie lagi, menyindir.

