Lampu ruang tamu di rumah itu sudah banyak yang dicopot. 4 Desember 2009 malam, pertemuan di rumah yang selama lima tahun ditempati mantan Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno di Jalan Denpasar No. 3, Kuningan, Jakarta Selatan, itu pun digelar di tengah keremangan. Keremangan dalam arti yang sebenarnya.
“Di ruang tengah lampu sudah dicopot-copoti. Remang-remang dan menyedihkan. Ada kesan, Mbah Tardjo dipaksa untuk segera meninggalkannya. Di tengah keremangan itu kami makan nasi goreng pakai kardus,” kata Ahmad Ridwan Dalimunthe.
Ia adalah panitia Majelis Denpasar, nama yang sering digunakan untuk merujuk pertemuan-pertemuan di rumah Mbah Tardjo. Belakangan, soal Majelis Denpasar ini menjadi menarik perhatian publik karena dikaitkan dengan kematian mantan presiden RI Abdurrahman Wahid pekan lalu (3 Desember 2009). Menurut sebuah SMS gelap yang sempat beredar, kematian Gus Dur memiliki hubungan dengan pertemuan di rumah itu. Gus Dur konon berbicara blak-blakan tentang sejumlah isu yang berkaitan dengan penguasa negeri hari ini.
Gus Dur memang hadir dalam pertemuan itu. Bahkan ia, sebut Ahmad Ridwan Dalimunthe, mendominasi pembicaraan selama pertemuan. Keadaan sang tuan rumah, Mbah Tardjo, pun sebetulnya jauh lebih teruk dari keadaan Gus Dur. Seperti Gus Dur, Mbah Tardjo yang politisi senior PDI Perjuangan itu pun duduk di kursi roda. Tubuhnya sudah jauh lebih renta dan kurus. Secara umum ia tampak lemah. Hanya sinar matanya yang memperlihatkan semangat menyala-nyala.
“Gus Dur masih bisa tertawa. Ngakaknya masih full. Tidak ada yang menyangka ia (Gus Dur) akan pergi tak lama setelah itu,” demikian Ahmad Ridwan Dalimunthe.
