Perjuangan melawan korupsi bukan hanya perjuangan melawan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan perjuangan membongkar megaskandal dana talangan Bank Century yang membengkak hingga Rp 6,7 triliun.
Lebih jauh dari itu, segala bentuk korupsi harus dilawan. Ini adalah nilai yang terkandung di balik Hari Anti Korupsi Internasional yang diperingati tanggal 9 Desember setiap tahun.
Begitu ditegaskan International NGO Forum for Indonesia Development (INFID) dalam rilis yang diterima Rakyat Merdeka Online. Dalam rilis itu, INFID seakan membeberkan misteri di balik peringatan Hari Anti Korusi Internasional dengan menjelaskan bahwa perjuangan melawan korupsi memiliki spektrum yang jauh lebih luas.
Korupsi, tulis rilis yang ditandatangani dua aktivis INFID, Dian Kartikasari dan Wahyu Susilo itu, merupakan akar paling dasar yang menyebabkan proses pemiskinan terhadap kehidupan masyarakat, menimbulkan berbagai bentuk tindak pelanggaran HAM dan merintangi langkah reformasi di segala bidang.
Proses pemiskinan melalui korupsi terwujud dalam bentuk antara lain: pengurangan anggaran untuk pelayanan publik, penerbitan berbagai perizinan terkait izin usaha terutama usaha eksplorasi sumberdaya alam, pengusahaan hutan dan pemanfaatan ruang dan penerbitan berbagai kebijakan public yang menguntungkan pihak pemodal maupun memuluskan berlakunya kesepakatan ekonomi global di Indonesia.
Demikian juga dengan peningkatan jumlah utang luar negeri yang harus dibayar negara. Pejabat pengelola negara lebih memilih menyukai menggunakan dana utang ketimbang melaksanakan program yang telah dianggarkan dalam anggaran negara APBN/APBD, karena dana utang tersebut memberikan kesempatan lebih besar untuk melakukan korupsi, antara lain dalam bentuk suap untuk pembuatan dan persetujuan proposal proyek utang, pengadaan barang dan jasa–terutama jasa konsultasi, gaji ganda bagi pegawai negeri yang terlibat dalam Tim Pelaksana Proyek, suap saat pencairan dana utang dan saat melakukan pengawasan proyek yang didanai utang.
Sebagian besar utang luar negeri Indonesia, menurut INFID, sesungguhnya tergolong dalam kategori utang yang tidak sah atau Illegitimate Debt karena mengandung unsur korupsi di dalamnya.
INFID juga menyoroti reaksi negatif yang diberikan pemerintah berkaitan dengan pengungkapan kasus korupsi. Misalnya, korupsi dan rekayasa yang terkuak setelah Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman penyadapan yang dilakukan KPK terhadap sejumlah pihak justru dijawab dengan penerbitan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) yang membatasi tindakan penyadapan oleh KPK. RPP ini mengharuskan adanya ijin dalam penyadapan.
Padahal, hampir dapat dipastikan bahwa lembaga pemberi ijin tersebut tidak dapat dijamin kebersihannya dari parktek korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Prosedur perijinan ini pun memungkinkan koruptor untuk terhindar dari jerat hukum. Tindakan pemerintah menerbitkan RPP tentang Penyadapan ini menjadi bukti pelemahan terhadap KPK, sekaligus menimbulkan keraguan terhadap masyarakat, bahwa pemerintah yang tengah berkuasa benar-benar bersih dari praktek korupsi.
