Jalan Menurun Dua Serumpun

Love and hate relations, cinta dan benci. Itu istilah yang digunakan Ketua Komisi I DPR RI Theo L. Sambuaga untuk menggambarkan dinamika hubungan Indonesia dan negeri jiran Malaysia belakangan ini.

Memasuki paruh kedua 2009 hubungan masyarakat kedua negara kembali memanas. Entah mengapa, pemerintah Malaysia menggunakan footage tari Pendet dari Bali dalam promo pariwisata negara itu. Itu bukan kali pertama pihak Malaysia “mengklaim” seni budaya tradisional Indonesia sebagai bagian dari budaya mereka. Sebelum tari Pendet yang “diklaim” Malaysia adalah Reog Ponorogo dan Kuda Lumping dari Jawa Timur, tari Piring dari Sumatera Barat, lagu Rasa Sayange dari Maluku, lagu Soleram dari Riau, lagu Jali-jali dari Betawi, motif kain Batik Parang dari Jogjakarta, juga motif kain Ulos dan alat musik angklung.

Hubungan masyakarakat kedua negara yang gampang memburuk juga dipicu oleh perselisihan batas laut di Selat Malaka dan Blok Ambalat di Kalimantan Timur. Tentu saja, penyiksaan di luar peri kemanusiaan yang kerap dialami pekerja Indonesia di Malaysia ikut menghempaskan hubungan kedua negara serumpun ini ke titik nadir. Orang Malaysia pun hampir selalu menggunakan kata “Indon” yang bermakna derogatif untuk menyebut Indonesia. Bagi banyak orang Indonesia, kata itu mewakili penghinaan dan pelecehan yang luar biasa.

Saat buku ini disusun, sekelompok anak muda yang menamakan diri Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) bahkan mendirikan Posko Ganyang Malaysia di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat. Di bekas kantor PDI itu mereka membuka pos pendaftaran bagi anggota masyarakat yang ingin bergabung dengan Laskar Ganyang Malaysia. Mereka juga menerima sumbangan berbagai bentuk senjata, mulai dari bambu runcing sampai parang. Belakangan, eskalasi aktivitas mereka meningkat dengan menggelar aksi sweeping untuk mencari warga Malaysia.

“Ini adalah bentuk kekesalan kami atas pelecehan yang dilakukan Malaysia terhadap Indonesia,” kata Mustar Bonaventura, pentolan Bendera. Dia juga meyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang dinilai membiarkan dan menerima dengan pasrah pelecehan itu (Rakyat Merdeka Online, 9 September 2009).

Lantas, mengapa Malaysia kerap memandang Indonesia dengan sebelah mata?

Ketidakadilan dan kemiskinan dalam kadar akut yang semakin erat membelit rakyat Indonesia dipercaya menjadi salah satu faktor utama yang mendorong negara-negara lain, termasuk Malaysia, kerap memandang rendah Indonesia. Pemerintah Indonesia boleh saja bangga karena, misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diundang untuk menghadiri pertemuan kelompok G-20 bulan April 2009 di London, Inggris. Belum lagi, dalam sesi makan malam Presiden Yudhoyono diatur duduk bersebelahan dengan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama yang yang seakan menjadi bintang utama dalam pertemuan tersebut. Bagi pemerintah Indonesia, undangan itu semacam bentuk pengakuan dunia internasional atas proses pembangunan dan recovery economy Indonesia yang, katakanlah, luluh lantak sejak diterjang kriris satu dasawarsa lalu.

Namun pengakuan dari dunia internasional itu nyaris tak ada gunanya karena secara faktual kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan juga. Sebagai contoh, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum juga diterapkan meski payung hukumnya sudah diterbitkan lima tahun lalu. Sementara dari data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) diketahui bahwa masyarakat Indonesia terancam kekurangan gizi. Konsumsi susu di Indonesia hanya sebesar 7,3 liter per kapita per tahun, konsumsi daging hanya 11,9 kg per kapita per tahun, konsumsi sayur 32,4 kg per kapita per tahun, konsumsi telur 3,8 kg per kapita per tahun, dan konsumsi ikan 21,3 kg per kapita per tahun.

Persoalan gizi yang buruk inilah, menurut sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo, menjadi bahan yang digunakan negara lain, termasuk Malaysia, untuk melecehkan harga diri Indonesia. Padahal, di sisi lain, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam serta sumber protein hewani dan nabati yang begitu besar.

Imam Prasodjo mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia yang menurutnya kurang memperlihatkan keseriusan dalam mencegah dan menanggulangi kelaparan dan gizi buruk. Berbagai lembaga yang sebetulnya mampu untuk menopang kekurangan itu, seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan dan sejumlah instansi atau lembaga lain, pada praktiknya malah tersekat-sekat tanpa koordinasi yang baik (Inilah.com, 13 September 2009).

Sementara pengamat sosial Edi Suharto dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) menilai pelecehan yang kerap dilakukan Malaysia terhadap martabat Indonesia memang memiliki kaitan dengan perbedaan kemakmuran kedua bangsa. “Malaysia yang merdeka setelah Indonesia konsisten dengan sistem jaminan sosial untuk mensejahterakan masyarakat. Dari 1960-an hal itu sudah mereka lakukan, sehingga kuat sampai sekarang,” demikian Edi Suharto.

Ekonom senior DR. Rizal Ramli yang pernah menjadi Kepala Badan Urusabn Logistik (Bulog) dan Menteri Keuangan di era Presiden Abdurraham Wahid membenarkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia kini semakin tertinggal dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Timur. Padahal sekitar 40 tahun lalu Indonesia memiliki memiliki tingkat kemakmuran yang relatif sama dengan beberapa negara yang kini menjadi kampiun ekonomi.

Pada era 1960-an pendapatan per kapita Indonesia hampir sama dengan pendapatan per kapita Malaysia, Thailand, dan Taiwan, yaitu sekitar 100 dolar AS per tahun. Sementara Republik Rakyat China ketika itu hanya memiliki pendapatan per kapita setengah dari pendapatan per kapita Indonesia.

Pada tahun 2005, sebagai contoh, pendapatan per kapita Indonesia meningkat menjadi 1.260 dolar AS. Namun di saat yang sama, pendapatan per kapita Taiwan tak tanggung-tanggung kini 12 kali lebih besar dari pendapatan per kapita Indonesia. Begitu juga dengan pendapatan per kapita Malaysia yang 4 kali lebih besar, dan Thailand yang 2 kali lebih besar. Adapun China memiliki pendapatan per kapita 1,4 kali lebih besar dibandingkan pendapatan per kapita Indonesia. Dari sisi pendapatan per kapita, Indonesia saat ini bersaing dengan Vietnam, Filipina dan Pakistan.

Rizal Ramli menuturkan, ada tiga penyebab kondisi di atas terjadi. Tiga kondisi ini juga yang menjadi kata-kata kunci mengapa reformasi pada 1998 belum juga berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pertama, karena karakter feodal para pemimpin. Karakter seperti itu membuat pemimpin merasa tidak punya kewajiban untuk menyejahterakan rakyat.

Kedua karena praktik neokolonialisme dimana kebijakan ekonomi Indonesia hanya menjadi subordinasi dan alat kepentingan internasional. Uang pinjaman harus ditukar dengan undang-undang dan peraturan pemerintah yang sesuai dengan garis kaum neoliberal yang mendiktekan pendekatan ekonomi yang harus digunakan pemerintah.

Penyebab ketiga adalah kepemimpinan yang tidak efektif serta memiliki visi dan karakter yang lemah. Kepemimpinan seperti itu mudah berubah mengikuti pergeseran kepentingan taktis, opini, dan respon pencitraan yang sifatnya situasional dan tidak permanen.

Untuk keluar dari keterpurukan ini dan menciptakan kesejahteraan bagi mayoritas rakyat Indonesia, sebut Rizal lagi, Indonesia harus memperjuangkan jalan baru, yaitu jalan yang antineokolonialisme yang lebih mandiri. Jalan itu harus membuat rakyat lebih kreatif dan inovatif, bukan sekadar menjadi masyarakat terbuka yang hanya menjadi korban globalisasi seperti kita alami saat ini.

Terlepas dari persoalan di balik klaim yang dilakukan Malaysia terhadap sejumlah seni budaya tradisional Indonesia –yang sering dibaca sebagai salah satu bentuk pelecehan negara itu– Ketua Komisi I DPR RI Theo L. Sambuaga meminta agar berbagai aksi mengecam pemerintah Malaysia tidak menggunakan kekerasan dan cara lain yang malah kontraproduktif. Pernyataan ini disampaikan Theo Sambuaga dalam menyikapi aksi sweeping warga Malaysia yang dilakukan aktivis Bendera di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.

“Aksi sweeping terhadap warga Malaysia, membakar bendera atau tindakan anarkis lainnya, tidak dibenarkan secara hukum dan amat mengganggu hubungan antarbangsa yang bermartabat,” kata Theo.

Dia menambahkan, aksi protes terhadap sikap Malaysia tersebut boleh-boleh saja dilakukan. Tetapi yang harus diingat adalah, aksi tersebut tidak boleh menggunakan berbagai tindakan fisik yang melanggar hukum atau prinsip HAM. Aksi sweeping, sebutnya lagi, termasuk dalam golongan tindakan yang melanggar aturan hukum dan prinsip-prinsip dasar perlindungan HAM. Theo yang pernah menjadi wakil ketua umum Dewan Mahasiswa UI di tahun 1974 mengimbau agar aktivis yang memimpin sweeping dapat ikut mendinginkan suasana dan tidak mengambil langkah yang melanggar hukum (Suara Karya, 10 September 2009).

Permintaan agar aksi sweeping warga Malaysia dihentikan juga disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin. Katanya, sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia tidak perlu melakukan tindakan emosional yang berlebihan atas tindakan negara lain yang menggunakan karya seni budaya Indonesia untuk kepentingan mereka

Din mengaku dirinya merasa terganggu dengan fakta bahwa beberapa karya seni budaya tradisional Indonesia dipakai oleh pihak Malaysia untuk kepentingan mereka. Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia harus bangga bila ada karya seni budaya Indonesia yang digunakan oleh negara lain karena hal itu justru memperlihatkan kehebatan sekaligus pengakuan pihak lain terhadap kekayaan dan kekuatan budaya Indonesia.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN), Azyumardi Azra, juga meminta masyarakat untuk menurunkan emosi dan menghentikan tindakan sweeping warga negara Malaysia yang jelas melanggar hukum. Klaim Malaysia tidak dapat diselesaikan dengan cara kekerasan, melainkan dengan dialog.

Di Kuala Lumpur, Malaysia, Menteri Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Rais Yatim dalam jumpa pers bersama Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachtiar menegaskan pihaknya tidak akan melakukan sweeping terhadap orang Indonesia.

“Walau pun bendera Malaysia dibakar, kedutaan kami dilempari telur dan batu, kami tidak akan membalas (melakukan hal serupa) terhadap kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur,” kata Rais Yatim. Ia juga membantah Malaysia telah mengklaim berbagai karya seni budaya tradisional Indonesia itu. “Tuduhan itu tidak benar. Akibat tuduhan itu menimbulkan kebencian rakyat Indonesia pada Malaysia dan menimbulkan berbagai demonstrasi, namun tidak akan dibalas di Malaysia,” katanya (Suara Karya, 10 September 2009).

Sehari setelah Theo Sambuaga dan beberapa tokoh masyarakat mengecam aksi sweeping itu, barulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono buka mulut. Seperti Theo, Presiden Yudhoyono juga meminta agar aksi sweeping segera dihentikan karena dapat merugikan hubungan dengan negara tetangga.

“Memang kerap ada masalah-masalah yang terjadi diantara kita dengan Malaysia. Kita setuju bahwa itu wajar terjadi, justru kalau kita lihat negara di Eropa Barat atau Amerika Latin atau Afrika bagian selatan, tidak pernah ada masalah yang mengganggu karena mereka jarang bertemu, jarang berinteraksi dan lain sebagainya. Tetapi interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa Malaysia sudah terjadi sejak dahulu kala, bahkan sebelum kedua negara ini menjadi negara yang merdeka dan berdaulat,” kata Presiden Yudhoyono.

Mantan Ketua MPR Amien Rais juga berpendapat seperti itu. Persoalan dengan Malaysia, sebut dia, tidak perlu dihadapi dengan otot, melainkan dengan dialog. Dia juga mengatakan tak pantas hanya karena soal tari Reog atau tari Pendet ditarikan pihak Malaysia, pihak Indonesia lantas menantang perang. Dia menyebut dialog dan pertukaran kebudayaan adalah hal yang wajar yang harus disikapi dengan arif. Amien Rais mencontohkan tari Barongsai dan sendratari Bharatayudha yang dipengaruhi budaya Tionghoa dan India.

“Saat kita menampilkan Barongsai tidak marah teman dari Tionghoa. Atau menampilkan sendratari Bharatayudha, teman dari India tidak komplain kepada kita,” ujarnya. Amien mengusulkan agar pemerintah kedua negara mendirikan semacam dewan persahabatan (Rakyat Merdeka Online, 6 September 2009).

Ketegangan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Malaysia ini belakangan melahirkan joke ringan yang tampaknya perlu direnungkan kedua belah pihak. Joke itu adalah sebagai berikut:

Konon pada suatu hari seorang anggota TNI dan seorang anggota Tentra Diraja Malaysia berpapasan di garis perbatasan Blok Ambalat yang sedang diributkan.

Berkatalah anggota Tentra Diraja Malaysia itu kepada “counter part-nya” di seberang garis sana. “Saya ini heran, mengapa Indonesia punya Kementerian Kesejahteraan padahal sebagian besar rakyatnya sama sekali tak sejahtera.”

Anggota TNI tidak langsung menjawab pertanyaan ini. Untuk beberapa saat lamanya ia berdiri terpekur dan merenung. Lalu berkata, “Saya pun heran mengapa Malaysia memiliki Menteri Kebudayaan, padahal tak ada karya seni budaya di negeri itu.”

Leave a comment