INI adalah Ramadhan kedua saya di Honolulu, ibukota Hawaii.
Seperti Ramadhan tahun lalu, tak ada suara azan dan tadarus Al Quran yang mengalun dari masjid dan surau kampung. Tak ada deretan pedagang kaki lima yang menjajakan sajian buka puasa (takjil) yang jadi pemandangan biasa di banyak kota di Indonesia selama bulan Ramadhan. Tak ada anak-anak dan remaja yang berjalan keliling kampung usai shalat Subuh –di Medan aktivitas jalan pagi ini kami sebut “asmara Subuh”. Pun tak ada program Ramadhan di stasiun televisi lokal dan nasional.
Hawaii memang tak seperti Indonesia. Dari sekitar 1,2 juta penduduk negara bagian ke-50 Amerika Serikat yang terletak di tengah Samudera Pasifik ini, diperkirakan jumlah umat Islam antara 2.500 hingga 3.000 orang. Umumnya mereka adalah pendatang, baik pekerja maupun mahasiswa beserta keluarga. Hanya sedikit yang merupakan warga negara Amerika. Dan dari yang sedikit ini, beberapa diantaranya adalah tentara Amerika Serikat yang tinggal di Schofield Barracks
Sebagian besar umat Islam di Hawaii datang dari Timur Tengah, mulai Arab Saudi, Yaman, Palestina, sampai Irak dan Iran. Umat Islam lainnya berasal dari beberapa negara di Afrika; lalu Asia Selatan, seperti Pakistan, Bangladesh, dan Kashmir; Asia Tengah, terutama dari Uygur Xinjiang, salah satu provinsi Republik Rakyat China yang mayoritas penduduknya memang beragama Islam; dan Asia Tenggara terutama Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Tidak banyak native atau penduduk asli Hawaii yang memeluk agama Islam; jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Satu-satunya native Hawaiian beragama Islam yang saya kenal adalah Damien. Setelah memeluk agama Islam beberapa tahun lalu, ia mengubah namanya menjadi Abdul Shomad. Bekerja sebagai independent filmmaker, Abdul Shomad mengaku masih keturunan keluarga kerajaan Hawaii. Dari Abdul Shomad saya memperoleh informasi bahwa jumlah native Hawaiian yang memeluk agama Islam tak lebih dari lima orang.
Satu-satunya masjid di Hawaii terletak di Aleo Place, di kawasan Manoa, sekitar tiga kilometer dari kampus University of Hawaii at Manoa (UHM) tempat saya menuntut ilmu. Masjid yang juga menjadi kantor Islamic Center of Hawaii ini sumbangan seorang pengusaha Arab Saudi yang tak ingin jatidirinya diketahui orang. Dia membeli sebuah rumah berlantai dua di Manoa sekitar tahun 1979, dan kemudian mendermakannya kepada komunitas Islam di Hawaii.
Jangan membayangkan bentuknya seperti kebanyakan masjid yang dengan mudah kita jumpai di tanah air. Jelas tak ada kubah di atas rumah yang telah disulap jadi masjid itu. Hanya interiornya yang dipermak mirip interior masjid umumnya. Lantai ruang utama masjid ditutupi karpet-sajadah, dan keempat dinding putihnya dihiasi kaligrafi. Selain ruang utama yang digunakan untuk jamaah laki-laki, masih ada dua ruang lain; satu ruang untuk jamaah wanita dan sebuah perpustakaan.
Keterangan demografis ini penting untuk menggambarkan betapa kecil komunitas Islam di Hawaii. Itu sebabnya bulan Ramadhan di Hawaii yang di tanah air identik dengan Waikiki dan bikini berjalan begitu saja seperti hari biasa.
***
Saya dan sekitar 20 mahasiswa Indonesia yang hampir semuanya beragama Islam tinggal di Hale Manoa, asrama mahasiswa milik East West Center (EWC) yang juga berada di kompleks UHM. Selain Hale Manoa, ada satu lagi asrama milik EWC, yakni Hale Kuahini yang jauh lebih kecil, dan terletak sekitar tiga ratus mter dari Hale Manoa.
Hale Manoa yang berlantai 13 dihuni sekitar 600 mahasiswa dari berbagai bangsa dan negara. Saya perkirakan jumlah mahasiswa beragama Islam di Hale Manoa dan Hale Kuahini sekitar 50 orang.
Banyak mahasiswa non-Muslim di Hale Manoa yang sebelumnya tidak pernah mengetahui tentang kewajiban berpuasa sebulan penuh di siang hari bagi umat Islam. Bahkan, mereka memiliki sedikit informasi mengenai Islam. Ada juga diantara mereka, jumlahnya sedikit, yang percaya bahwa Islam semacam ideologi yang dianut kelompok teroris seperti yang dikampanyekan pemerintahan Amerika Serikat pasca 9/11.
Namun sebagian besar teman-teman non-Mulism di Hale Manoa yang saya kenal, walaupun tak memiliki informasi memadai mengenai Islam, mempunyai pandangan yang lebih terbuka dan toleran. Mereka tadinya merasa kasihan melihat saya dan teman-teman yang berpuasa tidak makan dan tidak minum sepanjang hari. Apakah tidak berat, begitu pertanyaan yang biasa mereka ajukan. Kalau sudah begini, saya yang punya pengetahuan agama pas-pasan pun harus menjelaskan nilai dan hikmah di balik puasa. Soal menahan lapar dan haus, kata saya, adalah soal kecil, apalagi bila sudah terbiasa melakukannya sejak kecil. Karena sesungguhnya, yang jauh lebih penting dari puasa adalah belajar mengendalikan diri.
“Hampir semua persoalan yang timbul di antara umat manusia, konflik dan kekerasan, terjadi karena ketidakmampuan dan ketidakmauan manusia mengendalikan diri,” kata saya mencoba bijak kepada seorang teman non-Muslim.
Seminggu sebelum Ramadhan, pihak EWC Housing yang mengelola Hale Manoa dan Hale Kuahini mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa selama bulan Ramadhan pihak Housing akan mengaktifkan sebuah dapur di lantai 12 Hale Manoa dan sebuah dapur di lantai dasar Hale Kuahini selama 24 jam. Ini untuk memberi kesempatan agar mahasiswa yang berpuasa dapat memasak makanan sahur mereka. Biasanya, kompor listrik di dapur di Hale Manoa dan Hale Kuahini berhenti beroperasi jam 23.00.
Namun begitu, tak semua mahasiswa Islam menghabiskan waktu sahurnya di lantai 12. Saya dan beberapa teman, misalnya, memilih menyantap hidangan sahur kami di lantai 9. Untuk menghilangkan ketergantungan pada kompor listrik di jam sahur, kami lebih dahulu memasak makanan sahur sebelum jam 23.00. Dan saat sahur yang kami lakukan adalah memanaskan kembali masakan di microwave yang tetap bisa digunakan selama 24 jam.
Makan sahur kami isi dengan berbagai diskusi. Berita-berita terakhir dari tanah air selalu dibahas di meja makan. Tiga teman Indonesia yang biasa menghabiskan waktu sahur dengan saya adalah alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ketiganya tengah menyelesaikan program pendidikan doktorat. Dua orang di jurusan sejarah, dan seorang lainnya di jurusan sosiologi. Saya sendiri menyelesaikan pendidikan master di jurusan ilmu politik. Kepada saya, mereka kerap bertanya tentang cerita di balik berita. Kata salah seorang di antara mereka suatu kali, apa yang diketahui seorang jurnalis biasanya lebih banyak dari apa yang diberitakan di koran, situs berita, juga televisi dan radio. Untuk ini, saya hanya mengangkat bahu; no comment.
Suhu politik yang mulai menghangat menjelang pemilihan umum tahun depan pun membuat pembicaraan utak atik gatuk mengenai partai mana yang akan leading dan siapa yang akan menjadi presiden selanjutnya, belakangan ini mendominasi. Selain, tentu saja berita mengenai persoalan lain seperti antrean zakat di Pasuruan yang beberapa hari lalu menewaskan 21 orang, juga kontroversi RUU Pornografi juga tak luput dari perhatian kami.
Karena tak ada pedagang yang berjualan takjil, saya dan teman-teman Indonesia “terpaksa” membuat takjil sendiri. Sejauh ini yang paling sering kami buat sebagai penganan pembuka puasa adalah kolak pisang dan bubur kacang hijau. Pisang kami beli di Farmer Market yang beroperasi di dekat Student Center setiap hari Jumat. Sementara gula merah kami beli di Asian Grocery, sebuah toko kecil yang menyediakan bumbu-bumbu khas Asia, termasuk Indonesia, sekitar tiga kilometer dari kampus UHM. Tak ada gula merah yang sungguh-sungguh merah. Yang ada hanyalah gula aren made in Vietnam. Tetapi seperti kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi, gula aren dari Vietnam yang berwarna putih ini pun terpaksa digunakan sebagai bahan dasar pemanis kolak pisang kami.
Berbeda dengan bulan Ramadhan tahun lalu, kali ini kami mendapat pasokan ikan dalam jumlah yang cukup banyak dari nelayan Indonesia yang sedang bersandar di Hawaii. Hampir setiap minggu sejak sebelum Ramadhan kami ke pelabuhan untuk bertemu dengan pelaut-pelaut Indonesia.
Walau bekerja untuk kapal pencari ikan berbendera Amerika, namun mereka tidak memiliki visa Amerika sehingga tidak boleh keluar dari area pelabuhan (pier). Biasanya setiap kapal ikan menghabiskan waktu satu hingga dua minggu bersandar di Hawaii sebelum kembali mengangkat sauh dan mencari ikan ke tengah Samudera Pasifik selama kurang lebih satu bulan.
Bila sedang bersandar, pelaut-pelaut ini sering mengundang saya dan beberapa teman ke pier mereka. Sebagai buah tangan kami membawakan beberapa bahan makanan, mulai dari mie instan, kecap, sampai sambal. Dan sebagai “barter” mereka memberikan ikan segar dalam jumlah yang cukup banyak. Mulai dari tuna, salmon, kakap hitam, tenggiri sampai barakuda.
Walau bekerja pada kapal ikan berbendera Amerika yang berpangkalan di Hawaii, namun pelaut-pelaut Indonesia ini tidak masuk dari Hawaii. PJTKI yang mengurus kontrak kerja mereka dengan kapal-kapal pencari ikan berbendera Amerika ini menerbangkan pelaut-pelaut Indonesia ini ke Australia, lalu ke Fiji di selatan Samudera Pasifik. Dari sana mereka melanjutkan perjalanan ke Christmas Island. Nah, di tempat inilah mereka akan dijemput oleh kapal-kapal yang mempekerjakan mereka.
***
Yang membuat hari-hari di bulan Ramadhan berbeda dibandingkan hari-hari di bulan lain adalah ibadah malam, mulai dari terawih, witir, sampai tadarus, dan i’tikaf di masjid. Di Hawaii, karena keterbatasan waktu kami hanya bisa melakukan terawih berjamaah setiap akhir pekan di salah satu lounge yang ada di lantai 6 Hale Manoa. Setelah terawih kami menyempatkan diri untuk membicarakan beberapa persoalan yang tengah terjadi di tanah air. Dan seperti saat makan sahur, saya pun lagi-lagi diminta berkisah tentang cerita di balik berita.
Akhir pekan lalu, usai terawih kami menonton dan membedah film dokumenter karya jurnalis Amerika Serikat William Nessen, The Black Road. Ini adalah memoir Nessen yang memiliki hubungan erat dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di masa Darurat Militer di Aceh. Setelah menghabiskan waktu hampir setahun ikut bergerilya dengan kelompok GAM di Aceh Barat, bulan Juni 2003 Nessen menyerahkan diri ke pihak TNI. 40 hari setelah penyerahan diri itu dia dideportasi. Nessen kembali ke Aceh setelah tsunami menghantam Aceh bulan Desember 2004. Dia juga menjadi salah seorang penasihat GAM dalam perundingan dengan pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia tahun 2005. Di bulan Februari yang lalu Nessen kembali ke Aceh. Tak lama, dia kembali dideportasi.
Dalam film itu Nessen menegaskan keberpihakannya pada GAM dan menyatakan bahwa kemerdekaan Aceh adalah jalan keluar terbaik. Kami sedang mencari waktu dan merancang forum yang tepat untuk menggelar diskusi mengenai isi film yang kontroversial itu. Di Indonesia film ini dilarang.
Di akhir pekan pertama bulan Ramadhan ini kami berbuka puasa bersama warga Indonesia di rumah Bu Roosman, salah seorang sesepuh warga Indonesia yang menetap di Hawaii sejak tahun 1960an. Buka puasa bersama ini selenggarakan oleh Lentera, kelompok pengajian Indonesia di Hawaii.
***
Seperti tahun lalu, saya dan teman-teman Islam dari Indonesia berencana mengikuti terawih di masjid beberapa hari sebelum Ramadhan berakhir. Sebenarnya sayang juga tidak bisa mengiktui semua kegiatan ibadah malam di masjid. Di samping karena hal itu sangat dianjurkan, juga karena selama bulan Ramadhan seperti tahun lalu pihak masjid mengundang Dr. Muhammad Abdullah, pendiri Griffith University Islamic Research Center di Australia, untuk menjadi imam selama bulan Ramadhan hingga Idul Fitri.
Muhammad Abdullah adalah pria kelahiran Palestina yang pindah ke Australia belasan tahun lalu dan akhirnya menjadi warga negara di republik kanguru itu. Ceramahnya di masjid selalu enak untuk didengar. Dalam khutbahnya, dia tak sering berbicara tentang surga dan neraka. Sebaliknya, dia mengajarkan betapa Islam merupakan agama yang rasional dan realistis serta membumi. Tema-tema dalam setiap khutbah Jumat yang disampaikannya selalu mengenai realita kehidupan sehari-hari. Sayang, karena berbenturan waktu dengan kelas Politics of Regions, semester ini saya terpaksa tak bisa mengikuti shalat Jumat di masjid.
Saya masih ingat, dalam khutbah Idul Fitri tahun lalu, Muhammad Abdullah mengingatkan bahwa Islam melarang kekerasaan dan aksi terorisme yang dilakukan oleh individu, kelompok atau negara.
“Nyawa manusia adalah suci. Dan Allah telah mengatakan barang siapa yang membunuh seorang manusia, ia seperti membunuh seluruh kemanusiaan, dan barang siapa yang menyelamatkan satu nyawa manusia, ia seperti menyelamatkan seluruh kemanusiaan,” kata pria kelahiran Palestina itu mengutip firman Allah.
Dia juga mengingatkan pentingnya mempererat tali persaudaraan dengan umat agama lain di muka bumi. Untuk mempertegas bagian ini Abdullah mengulas surat terbuka yang disampaikan tak kurang dari 138 intelektual Islam dari berbagai negara, mulai dari kalangan Sunni, Syiah, Salafi, Sufi, maupun liberal dan konservatif, beberapa hari sebelumnya.
Surat berjudul A Common Word Between Us and You itu diperuntukkan kepada para pemimpin umat Kristen, termasuk pimpinan umat Katholik di Roma, Paus Benedict XVI dan pemimpin gereja Anglican di Inggris, Archbishop Canterbury Rowan Williams. Dalam surat itu, kelompok intelektual Islam ini menyampaikan bahwa Islam dan Kristen pada hakikatnya memiliki persamaan prinsip yakni cinta pada Tuhan dan cinta pada sesama umat manusia. Tak kurang dari 15 halaman surat itu digunakan untuk memaparkan persamaan-persamaan prinsip kemanusiaan yang terkandung dalam Al Quran dan Injil.
Shalat Idul Fitri tahun lalu digelar di Magic Island, sebuah tanjung buatan yang menjorok ke arah lautan. Shalat digelar di padang rumput, sementara tak jauh dari tempat itu pengunjung pantai asyik berjemur. Beberapa dari mereka menyempatkan diri menonton shalat Idul Fitri dan mendengarkan khutbah Dr. Muhammad Abdullah. Sebuah pemandangan yang kontras dan menarik. Namun tahun ini shalat Idul Fitri akan dilakukan di sebuah taman di kawasan pebukitan Manoa.
Di akhir pekan depan, insya Allah tanggal 4 Oktober, Permias Hawaii dan Lentera akan menggelar halal bi halal masyarakat Indonesia di Hawaii. Bila tak ada aral melintang halal bi halal itu akan digelar di Magic Islands.
***
Buat saya dan keluarga, bulan Ramadhan kali begitu istimewa karena di tanggal 18 Ramadhan yang bertepatan dengan tanggal 18 September anak ketiga saya lahir di RSI Pondok Islam, Jakarta Timur. Saya yang sedang berada jauh dari keluarga mengikuti proses persalinan dengan hati berdebar-debar.
17 September waktu Hawaii ketika itu. Saya keluar dari ruang kuliah Politics of the Future pukul 19.00, atau satu jam lebih awal. Operasi dijadwalkan berlangsung pukul 14.00 WIB (Kamis siang), atau 20.00 waktu Hawaii (Rabu malam).
Saya terus menerus menghubungi keluarga yang menunggui istri saya operasi di RSI Pondok Kopi menanyakan perkembangan proses persalinan dari menit ke menit. Hati ini mulai tenang, dan mulut ini berucap alhamdulillah setelah mertua saya di ujung telepon sana menyampaikan kabar bahwa anak ketiga saya sudah lahir. Kami menamakan anak ketiga kami Tafta Ali Ramadhan Santosa.
Kini, Ramadhan 1429 H tinggal beberapa hari lagi. Saya berharap, kalau masi diberi kesempatan bertemu Ramadhan tahun depan, biarlah saya menjalaninya di Jakarta, bersama keluarga, handai taulan dan sahabat. Sungguh, ketika saya jauh dari tanah air, ada kerinduan mendalam bersua Ramadhan.

Assalammu’alaikum
permisi mas, apakah mas punya film singkat tentang suasana ramadhan di Hawaii/negara selain Indonesia, karena akan saya tampilkan pd saat acara tarhib ramadhan yang bertujuan agar menambah semangat menyambut bulan Ramadhan.
Terimakasih mas,