Mega Diminta Membangun Oposisi yang Dewasa

rachmawati soekarnoputriBanyak pihak yang bertanya-tanya: akan matikah kekuatan oposisi di Indonesia setelah Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan Taufik Kiemas terpilih sebagai ketua MPR akhir pekan lalu.

Rachmawati Soekarnoputri, salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), termasuk pihak yang mengkhawatirkan hal itu. Berbicara usai menghadiri wisuda sarjana Universitas Bung Karno di Jakarta, kemarin, Rachmawati mengatakan dirinya khawatir kekuatan oposisi akan melemah dan mati pelan-pelan. Walau merupakan bagian dari pemerintah, namun dia berpendapat bahwa dalam sistem demokrasi yang sehat kehadiran kelompok oposisi dibutuhkan agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut. Rachmawati percaya sebagai seorang demokrat, Presiden SBY pun dapat menghargai pandangannya ini.

“Sejak awal Megawati (ketua umum PDIP) telah mengatakan akan tetap menjadi oposisi. Dalam negara demokrasi yang sehat, oposisi dibutuhkan dalam rangka check and balances di antara legislatif dan eksekutif,” ujar pendiri utama UBK ini.

Di sisi lain Rachmawati juga mengatakan bahwa SBY telah berhasil memperlihatkan sikap kenegarawanan dalam kadar yang tinggi dengan menghargai proses politik di parlemen yang memilih Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR. Di samping itu, SBY juga membuktikan bahwa dirinya tidak alergi berhadapan dengan kelompok yang selama ini disebut-sebut sebagai kekuatan oposisi nomor satu.

“Selama ini ada pihak-pihak yang tetap mengatakan bahwa Presiden SBY telah melakukan pengkhianatan (saat menjadi menteri Mega). Nah, saya kira SBY kini ingin memperlihatkan bahwa dirinya tidak punya persoalan. Buktinya, ia bisa menerima dengan kedua tangan terbuka hasil proses politik di parlemen,” kata Rachma.

Sikap SBY ini berbeda 180 derajat dengan sikap Megawati yang sampai kini masih alergi untuk mengakui kemenangan SBY dalam dua kali pemilihan di tahun ini. “Kita boleh beroposisi, namun dalam beroposisi kita harus dewasa,” ujarnya lagi.

Hal lain yang disampaikanna berkaitan dengan posisi dan fungsi MPR yang ada saat ini yang sudah berbeda dengan MPR sebelum UUD 1945 diamandemen. MPR pasca amandemen UUD 1945, sebutnya, tidak lagi merupakan lembaga tertinggi negara. Lembaga ini sepintas sederajat dengan DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kini tengah meminta agar haknya diperkuat. Sementara pimpinan MPR tidak bisa membuat ketetapan apapun. Ini membuat parlemen Indonesia tampak seperti menganut paham trikameral yang jarang digunakan dalam praktik politik di muka bumi.

Hal lain yang disoroti Rachma adalah sifat presidensial semu dalam sistem pemerintahan Indonesia. Menurutnya, kuasi-presidensial atau sistem yang seoralh-oralh presidensial padahal tidak ini membuat pemerintah sulit mengambil kebijakan karena selalu terganjal oleh parlemen. Kuasi-presidensial ini, sambungnya lagi, menimbulkan ketidakpastian aturan main dalam tata negara.

Leave a comment