Mantan menteri sekretaris negara Moerdiono punya hubungan spesial dengan dramawan, penyair dan sastrawan kawakan WS Rendra yang meninggal dunia pekan lalu.
Penjelasan Moerdiono, salah satu tokoh penting dalam rezim Orde Baru, disampaikannya saat menghadiri peringatan Rendra yang digelar Rumah Perubahan dan Orang Merdeka di Jalan Panglima Polim V/52, Jakarta Selatan, Jumat malam (14/8). Mengenakan pakaian hitam-hitam, Moerdiono duduk di atas kursi di pojok ruangan. Pembicara dalam diskusi yang bertema “WS Rendra Tokoh Pergerakan Indonesia” itu, antara lain Yuddi Latief, Panda Nababan dan Daniel Dakhidae, duduk di atas lantai. Begitu juga dengan peserta diskusi lainnya.
Keterangan foto: Moerdiono (kacamata hitam) bersama tokoh pers Rosihan Anwar (peci hitam) dan aktivis Malari Hariman Siregar (tampak kepala) di pemakaman Rendra (8 Agustus 2009).
Penjelasan Moerdiono disampaikan setelah Panda Nababan mengatakan bahwa Rendra adalah salah satu orang besar yang bisa bertahan dari tekanan rezim Orde Baru yang fasis. Adhie Massardi yang menjadi moderator dalam acara itu kemudian mempersilakan Moerdiono memberikan, bukan hanya tanggapan atas pernyataan Panda, tapi juga kesaksian mengenai sosok Rendra.
Moerdiono memang sering memperlihatkan diri di depan publik setelah Rendra meninggal dunia. Moerdiono hadir di kediaman anak Rendra, di Pesona Khayangan, Depok, saat jenazah Rendra dimandikan Jumat dinihari pekan lalu (8/8). Dia juga hadir menyaksikan pemakaman Rendra pada Jumat siang.
Moerdiono memulai ceritanya dengan mengatakan bahwa dia bertemu Rendra di tahun 1985.
Berikut adalah testimony Moerdiono.
Mas Willy banyak mengkritik apa yang dilakukan pemerintah. Dan sebagai menteri sekretaris kabinet dan sekretaris negara yang baik, terus terang saya laporkan hal itu kepada Presiden. Saya katakan kurang lebih begini…
Bahkan sedikit catatan saya juga sering keluar masuk kampus Arief Budiman, Universitas Kristen Satya Wacana. Saya masuk, naik mimbar, saya katakan, “mana Arief Budiman.” Agak deg-degan juga saya. Ndilalah Arif Budiman tidak hadir. Saya bilang, syukur alhamdulillah. Sebab saya khawatir juga dimaki dia. (Cerita ini) sedikit menyimpang.
Ringkasnya, pembicaraan saya dengan Mas Willy selalu saya bicarakan dengan Presiden. Dan itu kewajiban sebab saya bertanggung jawab. Saya katakan, kurang lebih demikian, banyak kritik dilontarkan orang terhadap pemerintah waktu itu. Ada dua kemungkinan mengapa orang mengerti pemerintah. Satu, si pengkritik tidak tahu apa yang dipikirkan di masa itu (tentang) policy pemerintah. Mengapa dia tidak tahu, ada dua kemungkinan lagi. Pertama, dia memang betul-betul tidak tahu. Kedua, yang menjelaskan tidak jelas sehingga sesuatu yang gampang jadi rumit.
Itu salah satu penyakit pejabat-pejabat kita. Kalau bicara tidak pernah jelas. Sering mbulet, begitu.
Nah, saya juga katakan pada Presiden waktu itu. Sepanjang yang saya tahu tidak ada budayawan yang membikin pemberontakan. Yang memberontak pasti bukan budayawan. Itulah agaknya, dan seingat saya, Presiden Soeharto mendengarkan dan dia tidak melarang saya bertemu siapapun.
Pengkritik keras lainnya adalah Emha Ainun Najib.
Itulah sebabnya dengan tenang saya nonton, misalnya, “Mastodon dan Burung Kondor” di Senayan, kalau tidak salah. “Oedipus Rex” dan “Panembahan Reso”. Dan sedikit catatan, di rumah saya masih saya simpan salah satu topeng yang dipakai pemain-pemain Bengkel Teater tatkala mementaskan “Oedipus Rex”.
Ada kekaguman saya pribadi bagaimana mereka (Bengkel Teater) dengan topeng bisa mengekspresikan kesedihan, kemarahan, kebingungan. Belakangan saya tahu betapa orang-orang Bengkel Teater ini diajarkan mengendalikan diri, memahami alam, dan seterusnya.
Ringkasnya, sepanjang perkenalan saya dengan Mas Willy, dia selalu memikirkan apa yang terbaik buat banyak orang. Mungkin bahasa politiknya buat rakyat. Kira-kira begitu.
Tatkala dia sakit, empat-lima kali saya berkunjung. Itupun hampir semuanya atas permintaan dia. Yang terakhir waktu dia masih di RS Jantung Harapan Kita. Dia bicara berdua dengan saya selama dua jam. Yang dibicarakan adalah tentang pembangunan, kritik dia tentang konsep-konsep pembangunan. Kemudian di Mitra Keluarga Kelapa Gading saya bertemu dua kali.
Yang saya sedikit menyesal, hari Rabu saya mendapat SMS, (isinya) Mas Willy ingin bertemu saya. Kata-katanya selalu: saya rindu. Begitu. Cuma karena kesibukan saya, saya tidak bisa bertemu.
Terakhir, saya mendapat berita dari orang yang sangat dekat dengan Mas Willy pada tahun-tahun panjang sampai hari-hari terakhir, mungkin banyak orang tidak kenal yang namanya Arifin. Dia telepon saya, nangis berteriak-teriak. “Mas Willy telah mati.” Sorry, maafkan kata mati.
Saya datang ke rumah anaknya Clara Sinta. Jenazahnya dimandikan jam 3.00 pagi. Saya disana, saya pulang jam 4.30.
Saya tidak tahu, apakah saya bagian dari rezim yang, kawan saya tadi menyebut, apa tadi? (Hadirin menjawab, “Fasis.”) Yang pasti saya tidak pernah punya pikiran menjadi fasis.
Dan sedikit catatan dan untuk diketahui, banyak hal yang Pak Harto sebenarnya tidak tahu. Orang-orang di bawah yang kadang-kadang berbuat yang berlebihan, yang saya sendiri kaget.
Saya bertemu salah seorang aktivis. Dia bercerita kepada saya. Pak Moer, kaki saya ini diinjak dengan kaki meja. Kaki meja diduduki dan digenjot-genjot begitu. Tapi orang ini memafkan yang berbuat begitu. Luar biasa.
Terimakasih. Selamat malam.
