MENURUT pandangan saya, penggunaan bahasa itu dipengaruhi oleh “lingkungan”.
Sebagai contoh, ayah saya dilahirkan dan dibesarkan di Menado jadi kalau teman-temannya berkunjung kerumah kami di Surabaya pada waktu saya masih kecil, saya harus dapat berbahasa Menado untuk menghindari kerancuan. Misalkan, kata-kata “nyandak” di bahasa Menado artinya tidak dan dibahasa Jawa artinya paham. Buang angin bahasa Menado-nya “Kontok”. Pertama kali mendengar kata-kata itu saya kira itu plesetan ternyata tidak.
Orang Menado sering menggunakan kata-kata Belanda atau Ingris disela-sela pembicaraan namun keluarnya cukup natural dan kesannya tidak dibikin-bikin. Sedangkan di daerah lain, kesannya tidak demikian… lain koki lain masakan.
Kembali ke Surabaya, kalau saya bicara Suroboyoan dengan konco-konco di Surabaya dan melontarkan kata-kata Inggris saya langsung diprotes ala Surabaya, langsung kemuka saya.
Pada waktu saya berkunjung ke keluarga paman-paman saya di Kartasura (Jawa Tengah) waktu liburan panjang, saya harus dapat berbahasa Jawa yang baik karena di lingkungan itu semuanya berbahasa Jawa meskipun bahasa ibu kami adalah Hok Kian dan Mandarin. Jadi di lingkungan tadi, saya dididik untuk bangga atas bahasa daerah tadi.
Sedangkan di lingkungan sekolah, kami dididik untuk berbahasa Indonesia yang benar oleh semua guru (dari SD sampai SMA) dan tidak diperbolehkan untuk menggunakan bahasa Suroboyoan maupun Jawa terkecuali pada waktu pelajaran bahasa daerah di kelas 6 SD. Untuk lulus SD, saya harus lulus ujian Honocoroko, tulisan dan percakapan.
Sampai detik ini pun, saya berkomunikasi dengan kawan-kawan alumni SMA Petra saya dengan bahasa Surabaya dicampur dengan Jawa Kasar tanpa merasa harus menggunakan bahasa Ingris. Sebab apa, alumni kami berada di seluruh dunia termasuk Jerman. Jadi kalau ada anggota yang main bahasa Ingris, teman dari Jerman akan mengeluarkan bahasa Jermannya dan kita jadi bengong dan bingung, dan sebaliknya.
Sedangkan dulu di rumah, kami harus menggunakan bahasa Hok Kian untuk berkomunikasi ke nenek kami dan Bahasa Mandarin ke orang tua kami. Selain itu, kami harus dapat berkomunikasi dalam bahasa Jawa ngoko dengan para teman-teman, pegawai, sopir dan pembantu rumah tangga. Dari situlah, saya merasa keakraban yang berbeda jika kita menggunakan bahasa-bahasa tersebut dengan benar.
Di pabrik (roti) kami di kota Lawang, saya ingat seorang Manajer Jawa bernama Pak Toemari. Beliau dapat berbahasa Belanda, Hokkian dan Mandarin fasih pada tahun tujuh puluhan. Hebat untuk jaman saat itu! Namun beliau selalu menggunakan bahasa yang benar tergantung dari siapa yang diajak bicara. Pak Toemari mempunyai seorang anak laki-laki bernama Soenarso yang sempat duduk di sekolah Tionghoa dari nol kecil sampai kelas enam. Mas Soenarso orangnya sederhana dan waktu itu bahasa Mandarin saya kalah dengan dia karena dia “Lao Ta” atau Senior saya.
Mas Narso tentunya fasih di dalam berbahasa Indonesia maupun Jawa Ngoko dan Kromo Inggil. Namun, dia pun tidak merancukan penggunaan bahasa-bahasa yang dikuasainya (He doesn’t need to impress anyone).
Maksud saya, lingkungan saya di Indonesia telah mendidik saya dengan baik selama 17 tahun untuk menggunakan bahasa yang benar. Sebagai seorang Indonesia, saya tentunya bangga untuk berbicara bahasa Indonesia yang benar dimana saja dan kapan saja. Sebagai warga dunia yang menguasai beberapa bahasa asing, saya pun gemar untuk menggunakan bahasa-bahasa tersebut di dalam lingkungan yang benar.
Mengutip peribahasa Jawa: “Dadi kacang ojok lali kulit-e”
Torang samua basodara,
Amin Leiman
“Emas asli tidak takut api”
Peribahasa Tionghoa
