Mega dan Yudhoyono, Poco-poco dan Main Yoyo

MEGAWATI menuding Pemerintahan SBY main yoyo. Sementara SBY meminta agar sebelum mengkritik bercermin dulu. Apa makna main yoyo di depan cermin?

Dikutip dari Rakyat Merdeka, Minggu, 1 Februari 2009. Judul asli  “Jangan Kebakaran Jenggot Kalau Nggak Punya Jenggot”.

Budayawan Arswendo Atmowiloto meminta SBY tidak ke ba karan jeng­got menghadapi kritikan Mega.

“Omongan Mega itu terlalu bombastis. Sebaiknya nggak usah dianggap. Jadi nggak perlu debat kusir di depan publik. Sebagai Presiden lebih baik SBY melakukan pendekatan secara internal atau lewat simbol-simbol. SBY jangan sampai kebakaran jeng­got karena SBY kan nggak punya jenggot,” kelakar Arswendo.

Dia menanggapi sikap kedua tokoh yang berseteru itu sebagai hal yang tidak terlalu bermakna.

Dari pernyataannya, Arswendo menilai kedua calon presiden ini sangat Jawa, karena kritik mereka tidak langsung ke pokok permasalahan. Kedua pernyataan –tentang yoyo dan cermin–dinilai Arswendo tidak ada apa-apanya.

“Ketika Megawati bilang yoyo, Yudhoyono juga tidak menjawab tentang mana kebijakan yang dianggap mempermainkan rakyat itu,” ujarnya.

Menurut Arswendo, Yudhoyono dan Megawati selalu bicara hal yang umum, tidak pernah detail. Dia melihat tidak ada konflik antara Megawati dengan yoyo-nya dan Susilo dengan cerminnya.

“Nggak ada apa-apanya,” kata dia.

Pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris yang turut hadir dalam diskusi tersebut sependapat dengan Arswendo. Menurut Syamsuddin, saling kritik antara Megawati dengan SBY masih wajar. Materi kritik yang di­sampaikan tidak tergolong memojokkan pribadi-pribadi. Istilah bermain yoyo yang dikatakan Mega juga tidak ditujukan ke SBY secara personal, tapi keseluruh jajaran pemerintahan saat ini.

“Sementara tanggapan SBY bahwa se belum mengkritik harus bercermin dulu, juga tidak menyebut nama Megawati. Saya kira itu ditujukan ke PDIP sebagai sebuah institusi. Ini bagus karena kritik tidak bersifat personal,” ujarnya.

Yang berbahaya, lanjut dia, kalau ter jadi saling kritik yang bersifat personal. Pengalaman sejarah memberikan pelajaran menarik, dimana dulu Masyumi de ngan PNI selalu berkonflik.

“Tapi ketika usai sidang di parlemen para tokoh Masyumi dan PNI makan bersama, mereka bercengkerama,” ujarnya.

Untuk menghindari kesan bahwa konflik SBY-Mega bersifat pribadi, Syamsuddin berharap keduanya memperbaiki hubungan personal.

“Perlu ditunjukkan ke publik adanya hubungan yang lebih mesra secara personal,” sarannya.

Dia melihat, saling kritik justru pertanda perbaikan berdemokrasi. Ma­syarakat sebaiknya memberikan penilaian, siapa diantara tokoh politik yang lebih jujur.

“Termasuk publik yang akan menilai, apakah janji-janji Mega yang disampaikan itu realistis atau tidak,” ungkapnya.

Menurut Syamsuddin, kritik kadang dibutuhkan agar suasana politik tidak sepi.

“Kita butuh juga statement bermain yoyo agar politik nggak sepi. Sekarang buktinya setelah Mega ngomong begitu, politik kita jadi ramai kan. SBY jangan bersikap dengan menanggapi secara reaktif,” ujarnya sambil tertawa.

Masyarakat, sebutnya, hanya tahu lucu-lucunya dengan istilah Mega, seperti poco-poco dan bermain yoyo tapi tanpa tahu dengan detail apa maknanya.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman mengatakan, dalam berita-berita yang dilansir televisi dan koran, tidak ada pernyataan SBY yang mengkritik Mega.

“Beliau mengajak kita khususnya elite politik, boleh bersaing tapi jangan saling men jatuhkan. Tidak ada kesan SBY bersaing dan membalas krikitikan Mega. SBY sangat salut dengan kritikan Mega. Kalau pun SBY berpantun, itu tergantung bagaimana kita mnerimanya,” kata Hayono.

Bekas Menpora itu menyebut SBY sebagai tokoh yang santun.

Hayono mengaku senang dengan kritikan dari orang-orang PDIP.

“PDIP memang harus melakukan kritik kepada pemerintah karena secara tegas menyatakan sebagai partai oposisi. Sa ya lebih suka dikritik PDIP daripada di kri tik partai yang menyatakan men du kung pemerintahan tapi sikapnya tak konsisten,” ujar Hayono.

Menurutnya, tahun ini merupakan ta hun politik, dan saling kritik me rupakan hal lumrah di panggung politik. Yang penting, kritik tetap dilakukan secara beretika.

One Reply to “”

  1. OMONG KOSONG SBY vs BUALAN MEGA

    Dengan nama rakyat, Susilo Bambang Yudhoyono ataupun Megawati menjadikan rakyat sebagai barang dagangan kampanye politik 2009. Satu persatu rangkaian kata hingga terkumpul 41,1jutajiwa(21,92%) rakyat miskin merupakan nilai fantastis untuk dijadikan bahan kampanye.

    Lantas, “apakah yang sudah mereka lakukan untuk mengurangi kemiskinan??!!”

    “Apakah kebijakan mereka selama ini berpihak pada kemiskinan??!!”

    Dan sekarang, demi kekuasaan 2009, mereka menjual nama kita. Semua atas nama dan demi nama rakyat.

    “Apakah pantas rakyat dijadikan objek kampanye??!!”

    “Apakah rakyat hanyalah bahan pemanis indah peraih kekuasaan??!!”

    renungkanlah;

    “siapapun presidennya, rakyatlah yang akan menderita, karena rakyat hanyalah tumbal demokrasi”

Leave a comment