
TIBA dari Kahala Mall saya disambut kabar duka: Ibrahim Gidrah Zakir meninggal dunia.
Saya tertunduk sedih, memanjatkan doa sambil mengingat terakhir kali saya bertemu dengannya di RS MMC Kuningan, Jakarta, 9 Januari 2009. Ditemani Adhie Massardi kami berangkat ke RS MMC setelah jumpa pers yang digelar Rizal Ramli di Rumah Perubahan untuk menyikapi status tersangka yang diberikan polisi, usai.
Saya tak banyak bicara. Hanya satu-dua kali bertanya bagaimana perasaannya, dan apa keluhannya. Tak sampai hati melihat Bram terbaring lemah ketika itu.
Dia sempat bertanya kapan study saya di Hawaii selesai.
“Bulan Mei, Mas,” jawab saya.
Bram memang lemah. Tapi ia berjuang keras melawan penyakitnya. Sore itu, susah payah ia menukar pakaiannya yang basah. Istrinya dan beberapa teman membantu Bram.
***
Baru dua hari lalu saya mengirimkan SMS kepada Adhie Massardi, bertanya bagaimana perkembangan kesehatan Bram.
“Masih tetap serius. Kemarin pagi dan siang muntah darah. Memang tampak mengenaskan. Kemarin minta cium pada semua orang,” jawab Adhie.
***
Cepat saya mengumpulkan informasi seadanya dari halaman faceebook beberapa teman, dan jadilah berita seperti yang dimuat di myRMonline berikut.
Ibrahim Gidrah Zakir yang biasa disapa Bram Zakir meninggal dunia, Sabtu dinihari (31/1) di RS MMC Kuningan, Jakarta Selatan.
Bram yang belakangan aktif sebagai salah seorang jurubicara Komite Bangkit Indonesia (KBI), organisasi think thank yang didirikan ekonom senior Rizal Ramli, mengalami komplikasi berbagai penyakit, mulai dari lever sampai asam urat.
Bram Zakir awalnya dikenal sebagai salah seorang aktivis gerakan 1970an. Bersama Ikatan Alumni Universitas Jakarta (Iluni) Jakarta, Bram aktif mempromosikan gagasan kemandirian bangsa. Ia juga dikenal sebagai peneliti senior di Research Institute for Democracy and Peace.
Pertengahan 2008 lalu, bersama Adhie Massardi yang jurubicara KBI, dan sejumlah aktivis, Bram menjadi anggota kelompok kerja Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPK Negara). Rizal Ramli, Amien Rais, Gus Dur dan Hidayat Nurwahid ikut mendeklarasikan lembaga itu.
Bram Zakir mulai dirawat di MMC Kuningan Jakarta Selatan pada bulan Desember 2008 lalu. Di pekan pertama Januari 2009 ia kembali dirawat sampai akhirnya meninggal dunia.
Menurut rencana Bram Zakir akan dimakamkan hari ini. Jenazah Bram Zakir saat ini disemayamkan di rumah duka Jalan Buana Pesanggrahan 1/20, Bukit Cinere Indah, sebelum akhirnya dimakamkan di Tanah Kusir.
Selamat jalan, Mas Bram.
***
Bram Zakir merupakan satu dari 50 penandatangan petisi yang mengkritik arogansi Soeharto dan pemerintahan Orde Baru di saat Soeharto sedang berada di puncak kekuasaanya yang berlumuran darah. Ditandatangani 5 Mei 1980, antara lain oleh mantan Pangab AH Nasution, mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin, dua mantan perdana menteri Baharuddin Harahap dan Mohammad Natsir, SK Trimurti dan AM Fawa, petisi itu dibacakan di depan anggota DPR pada 13 Mei 1980. Dokumen itu kemudian dikenal dengan nama Petisi 50 dan menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah perjalanan (kritik terhadap) Orde Baru.
Kelompok Petisi 50 juga mengecam keras pernyataan-pernyataan Soeharto khususnya yang disampaikan pada rapat ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980, dan pada peringatan HUT Koppasandha (Koppasus) di Cijantung, 16 April 1980.
Pernyataan-pernyataan Soeharto itu memberi kesan bahwa dirinya “adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila.”
Selain itu para penandatangan juga mengecam berbagai tuduhan yang dilemparkan Soeharto mengenai “usaha-usaha untuk mengangkat senjata, mensubversi, menginfiltrasi dan perbuatan-perubatan jahat ainnya dalam menghadapi pemilu yang akan datang.”
Petisi 50 ini jelas membuat Soeharto kesal. Dalam biografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Soeharto dengan tegas mengatakan, “Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot.”
***
Belakangan, Bram Zakir dan sejumlah kawan melihat tanda-tanda bahwa pemerintahan SBY juga sudah mulai bertingkah tak ubahnya Soeharto. Menganggap kritik yang disampaikan berbagai kelompok masyarakat sebagai serangan terhadap kewibawaan dan harga diri negara, sampai-sampai karena merasa terganggu Presiden SBY meminta agar polisi melarang penggunaan sound system dalam demonstrasi.
SBY juga sudah mulai main lempar tuduhan tidak jelas. Terakhir dia menyebutkan bahwa ada petinggi TNI AD yang sedang mengembangkan isu ABS yang dalam hal ini berarti: Asal Bukan capres berinisial S.
Nah, S yang dimaksud adalah Susilo, nama depan SBY.
Tuduhan yang dilemparkan serampangan itu membuat petinggi-petinggi TNI, termasuk Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo merasa perlu memberi penjelasan.
“Lha wong informasi itu saja saya tidak tahu,” kata Jenderal Djoko.
“Seberapa jauh isu itu dipastikan kebenarannya, apakah bersifat A1, A2 atau M10, isu itu dipastikan tidak benar,” kata Jenderal Agustadi.
Bersama aktivis pro-demokrasi lainnya, Bram juga menilai pemerintahan SBY tidak punya sikap jelas mengenai perlindungan terhadap sumber-sumber kekayaan negara. Pada pertengahan 2008, dia bersama Adhie Massardi dan sejumlah teman termasuk saya menggagas Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPK Negara). Tokoh nasional papan atas Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, juga Rizal Ramli dan Hidayat Nurwahid menjadi deklarator Komite ini. Adapun anggota DPD dari Jakarta Marwan Batubara menjadi koordinator pokja KPK Negara.
***
Saya mengenal Bram Zakir dari rapat-rapat kecil yang digelar di kediaman seorang teman yang telah lebih dahulu meninggal dunia, Irawanto, di Jalan Cipaku. Adalah Irawanto yang memperkenalkan saya kepada Bram dan anggota kelompok diskusi Cipaku lainnya, termasuk Letkol (purn) Djuanda, penasihat militer Gus Dur ketika itu. Djuanda meninggal dunia di Paris tak lama setelah Irawanto meninggal dunia.
Saya mengenang Bram sebagai sosok yang sederhana, senang tersenyum dan enak diajak bicara. Konsisten pada cita-cita. Tak mengenal kata menyerah.
Beberapa tahun lalu Bram menderita kanker getah bening. Untuk menyembuhkan penyakitnya, ia mengikuti kemoterapi. Rambut di kepalanya gugur akibat kemoterapi yang dilakukan berulang-ulang. Walau tampak lelah, tetapi Bram jalan terus. Saya kaget ketika bertemu dengan dirinya di saat-saat itu. Seperti teman- teman lain, saat itu saya menduga bila penyakitnya sembuh, Bram akan memilih istirahat panjang dan pensiun jadi aktivis.
Tetapi tidak. Bram tetap galak.
Sejak tahun lalu, Bram Zakir dan Adhie Massardi naik pangkat. Sebelumnya mereka hanya jurubicara KBI yang didirikan Rizal Ramli. Kini mereka menjadi jurubicara capres Rizal Ramli. Mereka membantu Rizal Ramli memperkenalkan konsep “Jalan Baru” yang lebih pro-rakyat.
Tetapi Bram belum sempat menikmati “Jalan Baru” yang sebenarnya adalah gagasan yang sejak lama, sejak negara ini dikuasai diktator bernama Soeharto, telah diperjuangkannya. Bram percaya “Jalan Baru” itu dapat mensejahterakan rakyat banyak — bukan hanya mensejahterakan segelintir elit — juga dapat mengembalikan harga diri bangsa.
“Jalan Baru” itu pun belum lagi terbentang.
Namun Bram, atas kehendak Khaliknya, memilih jalan yang lain. Jalan yang telah digariskan Tuhannya. Jalan keabadian.
Sekali lagi, selamat jalan Mas Bram.

nothing to say…
thanks tulisan-nya..
Agust Qbond Shalahuddin
selamat jalam mas Bram, mentorku.
Turut mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Putra sekaligus Pemimpin Bangsa Gus Dur. Semoga diterima di sisiNya. Amin.
Cari Uang Di Internet
Sudah hampir setahun Mas Bram wafat. Doa kami untuknya selalu.. semoga Allah SWT mengampuni dan memberinya Rahmat, menempatkannya ditempat yang terbaik disisiNya. Amiin Ya Rabb
we love you