How Low Can You Go

OLEH Adhie M Massardi

PREDIKSI Tim Ekonomi Indonesia Bangkit di hotel Gran Melia, Jakarta, 7 Januari 2008 itu, memang jadi kenyataan. Gelembung ekonomi nasional itu pecah. Sejumlah pengusaha yang banyak main di pasar bursa langsung terkapar. Ekonomi makro yang dibangga-banggakan pemerintah Yudhoyono pun tersungkur.

“Bukan salah kita,” kata orang pemerintah. “Ini krisis finansial global yang imbasnya menimpa bukan saja Indonesia, tapi semua negara di dunia!”

Soal ini bisa diperdebatkan. Sebab di banyak negara, krisis global yang dipicu di AS itu tidak menimbulkan kerusakkan sehebat di negeri kita. Maklum, sektor industri untuk konsumsi dalam negeri umumnya masih berjalan bagus, karena memang jauh sebelum gelembung ekonomi itu meledak, sudah diantisipasi. Sedangkan di sini, boro-boro diantisipasi, lha peringatan dari ekonom TIB malah diketawain. Dibilang itu gaya analisa cari popularitas. Weleh!

Karena tim ekonomi rezim Yudhoyono ini susah dibilangin karena merasa kalau sudah menjalankan nasihat IMF sudah paling yahud, ya kita tinggalkan. Kita lihat saja, “how low can you go!” Bagaimana cara pemerintah Yudhoyono berjalan dengan pertumbuhan ekonomi makin rendah.

Kini kita bicara soal politik saja. Tapi ini juga susah. Sebab politik kita juga dibiayai oleh hot money itu juga. Uang dari bursa yang kini kelimpungan itu. Ada juga yang diambil dari uang korupsi. Makanya partai atau politisi yang bisa korupsi saja yang bergaya di hadapan konstituennya. Bisa bagi-bagi kaos, nasi bungkus dan uang saku.

Sekarang korupsi mudah ketahuan. Apalagi koruptor pemula. Mudah disadap dan dijebak KPK. Koruptor canggih dan dekat kekuasaan, ya tetap nyantai. Tetap bisa bagi hasil dengan kekuatan politik yang mau pemilu. Cuma masalahnya, uang yang bisa dikorup sekarang ini kecil, padahal biaya kampanye pemilu lumayan banyak.

Sejak enam tahun terakhir, biaya politik memang lebih banyak disedot dari pasar bursa (saham). Makanya, begitu bursa efek tidak bergerak, dunia politik kita juga kena efeknya: tersedak. Partai Golkar malah terang-terangan mengaku merevisi habis anggaran kampanye pemilunya. Beberapa parpol pemimpinnya diprotes ketua cabang di kabupaten dan kota, karena janji mau kirim logistik tak jelas juntrungannya. Makanya, meskipun pemilu sudah digelar sejak setengah tahun lalu, tapi pentas politik nasional tetap sepi.

Lalu, apakah pemilu 2009 tetap akan berjalan? Walahualam. Hanya Tuhan yang tahu. Betul. Memang hanya Tuhan yang tahu. Sebab politik kita susah diprediksi. Seolah memang hanya Tuhan yang tahu.

Lihat saja, bagaimana presiden seumur hidup seperti Bung Karno ternyata bisa diganti sebelum umurnya habis. Pak Harto yang didukung organisasi bersenjata (ABRI-TNI) dan organisasi tak bersenjata (Golkar) yang kuat, bisa tumbang begitu mudah. Lalu muncul BJ Habibie orang Sulsel. Lalu Gus Dur yang tidak bisa melihat bisa jadi presiden. Mega yang ibu rumah tangga, dan Yudhoyono yang pembantunya, jadi presiden. Ini pasti campur tangan Tuhan yang Mahapengatur.

Makanya, ketika kiai di Jawa Barat bilang bahwa presiden RI yang akan datang pernah kuliah di Bandung, diam-diam saya percaya. Karena, katanya, presiden RI itu selang-seling harus pernah kuliah di Bandung. Soekarno pernah kuliah di Bandung, Soeharto tidak, Habibie pernah, Gus Dur tidak, Megawati pernah, Yudhoyono tidak!

Lalu ketika ditanya bagaimana mungkin yang pernah kuliah di Bandung bisa jadi presiden kalau tak punya uang?

Jawab sang kiai: “Tuhan tidak meridhoi politik kita terus dijalankan dengan uang. Makanya, Tuhan membangkrutkan para saudagar politik itu, agar politik nasional jadi lebih rasional!”

Sebagai politisi yang tidak punya uang, saya langsung bilang: “Amien!” ***

Leave a comment